Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi Penuh Kejutan
Sesampainya di sekolah, seperti yang sudah kuduga, semua mata langsung tertuju padaku.
Entah karena aku datang berboncengan dengan Azzam atau karena aku baru muncul lagi setelah bolos tiga hari berturut-turut. Atau mungkin, karena seragam batik yang kupakai dengan santainya di hari Kamis ini.
Mata-mata penasaran itu menatapku dari balik pintu kelas, dari lorong, bahkan dari tangga. Aku pura-pura sibuk membetulkan tas, meskipun jujur saja jantungku kini deg-degan.
Karena setiap naik kelas murid-murid diacak, aku nggak lagi sekelas dengan Mira, Erina, atau Raka. Mereka semua ada di kelas sebelah. Tapi kini aku sekelas dengan Yumna, Khalif, dan Afiq.
Dan tentu saja, keberuntunganku hari ini belum habis. Karena tanpa aku tahu-menahu soal pembagian bangku, namaku tercantum di meja pojok kanan paling depan, dan lebih apesnya lagi, duduk sebelahan dengan Afiq.
Pas aku masuk kelas, Afiq udah duduk manis di bangku itu. Begitu aku datang, dia langsung nyengir lebar.
"Eh, Sya! Wah gila, akhirnya lo masuk juga! Gue kira lo pindah beneran. Gak sia-sia gue spam chat," sapanya ceria banget.
Aku hanya menatapnya datar. "Hm," gumamku pelan.
Tapi dia ketawa, padahal jelas-jelas kelihatan aku berusaha jutek.
Aku melirik ke arahnya dengan tajam. "Lo tuh bego beneran atau pura-pura bego sih, Fiq?"
Dia berkedip pelan, seolah nggak ngerti. "Hah? Maksud lo?"
Aku menarik napas panjang. Jadi dia beneran nggak ingat kejadian dua minggu lalu di pantai? Atau dia pura-pura bego biar bisa lewatin semuanya begitu aja?
Aku tidak menjawab. Tatapanku lurus ke papan tulis yang masih kosong, mencoba menenangkan hati yang dari tadi teraduk-aduk. Afiq di sebelahku masih sok asik, masih bicara soal hal-hal random, seolah kejadian minggu itu tidak pernah terjadi.
Dan mungkin, memang cuma aku yang masih mengingatnya.
Pukul tujuh lebih sepuluh menit, suara langkah kaki bersepatu hak terdengar mendekati kelas. Suara khas yang biasanya jadi sinyal untuk siap-siap duduk rapi.
Bu Sari masuk dengan wajah datar dan membawa binder besar. Suasana kelas mendadak hening. Bahkan Afiq yang tadi masih sibuk mengoceh, langsung duduk tegap.
Beliau berdiri di depan kelas, memandangi kami satu per satu. Lalu pandangannya berhenti padaku.
Hening sesaat.
Kemudian matanya menyipit, alisnya terangkat sedikit.
"Oh, akhirnya murid baru kita yang bolos tiga hari ini muncul juga," katanya sinis. Suaranya tidak keras, tapi cukup tajam untuk membuat semua kepala otomatis menoleh ke arahku.
Aku diam, hanya menunduk pelan.
"Dan lihat, datang dengan gaya sendiri. Hari Kamis pakai batik, bukan pramuka. Ini sekolah umum, Tisya, bukan sekolah ayah kamu."
Beberapa teman menahan tawa. Beberapa lainnya hanya pura-pura sibuk dengan bukunya.
Afiq sempat menoleh ke arahku, tapi tak berani berkata apa-apa.
Bu Sari melangkah mendekat, berdiri tepat di samping mejaku.
"Kalau kamu pikir karena nilai kamu bagus, kamu bisa seenaknya sendiri, kamu salah besar. Nilai itu bukan tameng untuk jadi murid yang semaunya sendiri," ujarnya, masih dengan nada tenang tapi menyindir.
Aku tetap diam. Tidak menatapnya. Tidak membalas.
"Jangan sok pintar, ya. Saya bisa saja turunkan nilai kamu. Bisa saya keluarkan dari peringkat kelas, bahkan sekolah, kalau kamu melanggar peraturan seenaknya."
Sakit. Bukan karena kata-katanya saja, tapi karena semua mata di kelas tertuju padaku. Lagi.
"Besok kalau kamu masih seperti ini, saya hukum kamu berdiri di lapangan."
Tanpa menunggu jawaban, Bu Sari berbalik ke papan tulis dan mulai menuliskan topik literasi pagi. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Aku menatap meja, menggenggam lolipop yang tadi belum sempat aku buka. Memang ini yang kuinginkan, membuat keributan dan berharap dikeluarkan dari sekolah.
Istirahat pertama, aku menyandarkan kepala ke meja, headset menyumpal telingaku. Lagu dari playlist yang kupilih acak terdengar sayup, entah judulnya apa. Aku cuma ingin sunyi.
Tanganku membuka kotak bekal pelan buatan Mama. Dari ujung mata, aku melihat seseorang masuk ke kelasku. Beberapa teman langsung memanggilnya.
Nizan.
Aku pura-pura tak peduli, tapi saat dia berhenti di samping mejaku, aku langsung mencopot satu sisi headset.
"Ayo ikut gue bentar. Mau ngomong."
Bingung, aku memandang wajahnya. Tatapannya biasa, tenang seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang tak bisa aku jelaskan.
Aku berdiri dan mengikutinya keluar kelas, menyusuri lorong, lalu belok ke arah belakang sekolah, tempat yang cukup sepi, hanya ada suara angin menyisir daun dan beberapa suara tawa samar dari lapangan.
Kami berdiri di bawah pohon jambu. Nizan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Ia menatap tanah sebentar, lalu menoleh ke arahku.
"Gue cuma mau bilang gue nggak akan ganggu lo lagi."
Aku mengerutkan dahi, belum paham maksudnya.
"Perasaan gue ke lo udah lama bikin semuanya ribet. Sekarang gue mau berhenti ngebebanin lo."
Aku tetap diam, hanya menatapnya. Kata-katanya seperti angin dingin yang menerpa dada.
"Gue sekarang mau lebih deket sama Ruby. Dia orang baik, dan dia juga mulai terbuka sama gue."
Aku mengangguk pelan. "Oh."
Nizan menunduk, sejenak. "Gue harap lo bisa jauhin gue. Maksudnya kita jangan deket lagi. Gue gak mau Ruby salah paham atau ngerasa aneh."
Kata-katanya datar, tapi menusuk.
Aku menelan ludah. Lah, kan lo yang deketin gue, kenapa jadi gue yang harus menjauh? Kata-kata itu tertahan di ujung mulutku. Namun akhirnya kata yang kukeluarkan hanya, "Okey."
Padahal jujur saja, aku nggak ngerti. Atau mungkin aku gak mau mengerti.
Nizan mengangguk pelan, seperti lega. Lalu tanpa banyak bicara lagi, dia berbalik dan berjalan pergi.
Meninggalkanku sendirian di bawah pohon jambu itu. Dengan angin yang kini rasanya jadi lebih dingin. Dan dengan dada yang tiba-tiba sesak.
Aku tak tahu kenapa, tapi air mataku mengalir begitu saja. Tanpa suara. Tanpa isak.
Mungkin karena aku terlalu diam. Terlalu menerima.
Atau mungkin karena sebenarnya aku ingin berteriak padanya untuk jangan pergi.
Aku tetap berjongkok di bawah pohon jambu itu, menyeka air mata yang sudah tak bisa kucegah sejak Nizan meninggalkanku begitu saja. Ucapan terakhirnya terus berulang di kepala, menyayat pelan-pelan. Bukan karena dia memilih Kak Ruby,mungkin memang itu yang pantas. Tapi cara dia pergi seolah semua kenangan kami hanya salah satu fase yang ingin dia lupakan.
Aku menyandarkan dahiku ke lutut, menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam isak.
Tanpa suara, langkah kaki mendekat. Tidak tergesa, tidak juga berat.
Aku tidak menoleh. Tapi dari sudut mataku, aku tahu siapa itu. Sosok yang mengirimiku pesan kemarin.
Ia tidak berkata apa-apa. Tidak menanyakan apapun. Tidak juga sok tahu mencoba menenangkan. Dia hanya duduk di sana, tak jauh dariku, bersandar pada batang pohon yang sama.