Jelita Sasongko putri satu satunya keluarga Dery Sasongko dipaksa menikah dengan Evan Nugraha pengawal pribadi ayahnya. Jelita harus menikahi Evan selama dua tahun atau seluruh harta ayahnya beralih ke panti asuhan. Demi ketidak relaan meninggalkan kehidupan mewah yang selama ini dia jalani dia setuju menikahi pengawal pribadi ayahnya. Ayahnya berharap selama kurun waktu dua tahun, putrinya akan mencintai Evan.
Akankah keinginan Dery Sasongko terwujud, bagaimana dengan cinta mati Jelita pada sosok Boy?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 20
Jelita sedang berada diperpustakaan saat ini. Ada beberapa makalah yang masih belum selesai dia kerjakan. Dan ada beberapa buku tentang penelitian ilmiah yang bisa dijadikan referensi makalahnya.
"Belum selesai juga." tedengar suara lembut dan dalam menyapa Jelita. Jelita yang sedang membaca, menengadahkan wajahnya menatap kesumber suara.
"Boy."
"Iya, teruskan pekerjaanmu. Aku cuma mau menumpang duduk didekat mu," ucap Boy sembari duduk di depan Jelita.
Boy benar-benar tak mengganggu Jelita, dia focus pada lembaran-lembaran buku yang di bacanya. Tapi tetap saja kehadiran Boy membuat Jelita merasa canggung.
"Baru beberapa hari kita putus, kau sudah menganggap aku seperti orang asing." ujar Boy tanpa mengalihkan perhatiannya dari lembar buku. Dia menyadari kegelisahan Jelita, membuat Boy merasa tak senang.
Satu tahun lebih mereka menjalin hubungan, dia mencintai Jelita dengan sepenuh hati. Mana mungkin dia bisa melupakan Jelita hanya dengan hitungan hari. Dia akui, sering datang rasa kesal saat Jelita selalu menolak sentuhan fisik dalam hubungan mereka . Tapi itu semua tak mengurangi rasa cintanya pada Jelita.
Jelita tak bergeming, dia memilih tak menanggapi ucapan Boy dan tetap focus pada lembaran buku didepannya.
Merasa diabaikan Boy kesal juga. Dengan gerakan sedikit kasar Boy membanting buku bersampul tebal yang ada ditangannya. Benturan permukaan meja dan sampul buku membuat suara gaduh di perpustakaan yang wajib mengecilkan suara.
Beberapa mata langsung tertuju kearah mereka. Sementara Boy menatap Jelita dengan intens.
Jelita balas menatap Boy, dia sedang tak ingin melayani tingkah Boy. "Boy, aku sedang tak ingin berdebat denganmu. Ada makalah yang harus kuselesaikan. Tolong jangan buang waktuku."
"Suamimu lelaki cerdas, kenapa tidak minta bantuan dia saja. Atau dia hanya perduli masalah ranjang saja, tapi tidak perduli urusan pribadimu." ujar Boy mengejek.
Jelita menarik napas panjang, dia bangkit sembari memunguti buku diatas meja, lalu berjalan ke rak menyusun satu persatu buku yang ada di tangannya. Sementara Boy mengekori langkahnya dari belakang.
Jelita berusaha terus mengabaikan Boy, setelah selesai menyusun semua buku, dia melangkah keluar dari perpustakaan. Sementara Boy masih terus mengekori langkakahnya dari belakang.
Merasa terus diabaikan, kesabaran Boy akhirnya habis juga. Dengan gerakan cepat dia meraih pergelangan tangan Jelita, menarik langkahnya menuju belakang kampus.
"Boy! lepas!" Pekik Jelita sembari menarik paksa tangannya dan berusaha menahan langkah kakainya. Tapi sia-sia tenaga Boy lebih kuat dari Jelita, dengan separuh terseret Jelita mengikuti langkah kaki lebar milik Boy.
Boy melepas cekalannya dengan kasar. Lalau mendekat berusaha melabuhkan ciu man di bibir Jelita. Tapi jelita berhasil menghindar dengan mendorong tubuh Boy dengan tenaga yang dia punya. Boy meradang netranya menatap Jelita dengan ekspresi campur aduk. Marah, benci, juga rindu yang menggebu. Sampai detik ini pun dia tak kan rela melepas Jelita untuk lelaki lain.
"Kau sudah gila, kita sudah tidak ada hubungan lagi Boy, sadarlah!"
"Sadar?! Kamu yang harusnya sadar Jelita. Kau harusnya sadar perbuatanmu itu menyakiti perasaanku. Kita lebih dari setahun berkencan saling mencintai. Tapi nyatanya apa? Kau memilih Evan. Memutuskan hubungan tanpa aku melakukan kesalahan padamu. Tidak adil Je!" Sentak Boy dengan raut wajah tegang.
Jelita menarik napas dalam, netranya menatap Boy lekat. "Maaf Boy. Aku minta maaf atas waktumu yang terbuang. Tapi aku sudah milik Evan sekarang. Aku juga tak menyangka hubungan kita akan jadi begini. Tapi semuanya sudah terjadi, waktu tak bisa diulang lagi. Diantara kita sudah tidak ada lagi hubungan yang tersisa. Semua hanya tinggal kenangan. Aku harap kau bisa memulai lembaran baru dan melupakan aku ." ucap Jelita memohon pada Boy agar melupakannya.
Boy tersenyum sinis mendengar ucapan Jelita. "Tidak mudah untuk melupakanmu Jelita. Andai bisa, aku tak akan merendahkan harga diriku seperti ini dihadapanmu. Kau tau bukan? seperti apa wanita mengeleliliku setiap hari. Tapi yang terlihat dimataku hanya dirimu seorang. Mungkin bagimu sebaliknya, kau bahkan mampu melupakan aku hanya hitungan hari. Ironis memang," ujar Boy sendu.
Jelita terdiam, apa yang diucapkan Boy semuanya benar. Tapi semua diluar kuasa Jelita, awalnya dia menikahi Evan demi harta papanya. Tapi kelembutan Evan dan semua sikap manisnya tanpa sadar membuat Jelita jatuh cinta pada Evan.
"Maaf." ujar Jelita sembari tertunduk dalam. Dia memang bersalah, tapi dia tak mampu merubah segala yang telah terjadi. Sementara Boy masih menatapnya lekat, memindai setiap jengkal tubuh Jelita tak tersisa.
Ponsel Jelita tiba-tiba berbunyi, dengan perasaan gugup Jelita menerima panggilan Evan.
"Sayang kamu dimana?" Terdengar suara Evan disebrang telpon. Jelita menatap Boy sekilas. "Masih di kampus, ada apa?"
"Aku didepan kampus sekarang, bisa temui aku."
"Baik," sahut Jelita lalu memutus panggilan. Lalu beralih menatap Boy yang juga sedang menatapnya.
"Boy, Evan menungguku di depan kampus." ujar Jelita sembari menatap Boy.
Boy menghela napas berat. "Pergilah," ucapnya dengan suara pelan. Sakit rasanya melepas Jelita untuk lelaki lain. Apa lagi dia tau, hubungan mereka terikat pernikahan.
Evan berdiri di samping mobilnya, manik hitamnya menatap ke halaman kampus mencari sosok Jelita yang belum terlihat.
Tak berapa lama terlihat Jelita berlari-lari kecil menghampiri Evan.
"Ada apa menemuiku? Aku belum waktunya pulang," Jelita berdiri dì depan Evan dengan napas tersenggal.
"Papa ada dirumah sakit sekarang, kamu izin pulang aja, kita jenguk papa." ujar Evan dengan ekspresi sangat tenang.
"Ada apa dengan papa Van?" Tanya Jelita dengan mata berkaca-kaca. Walau Evan tidak menunjukkkan sikap kawatir, tapi tetap saja kabar ini membuat tak tenang.
"Papa hanya kelelahan. Sudah kita izin dulu lalu jenguk papa." ujar Evan sembari menggengam jemari Jelita. Andai ini bukan kampus, ingin rasanya memberi Jelita pelukan hangat agar hatinya tenang.
Di sepanjang jalan Jelita hanya diam, walau berulang kali Evan meyakinkan Jelita bahwa papanya baik-baik saja. Itu tak membuat hati jelita tenang.
Sesampainya di rumah sakit, jelita langsung dibawa Evan menuju ruang rawat tuan Sasongko.
Jelita tertegun di samping tempat tidur pasien. Air matanya tumpah ruah membasahi pipinya. Tubuh pucat papa yang terbaring lemah diatas tempat tidur pasien membuat hatinya teriris sakit. Dia tak tau papanya tidur atau tidak sadarkan diri. Sementara di tubuhnya terpasang beberapa selang dan alat bantu pernapasan.
"Apa yang terjadi Van?" Tanyanya dengan suara lirih, sementara air matanya tak mau berhenti mengalir.
"Papa mengeluh sakit tadi pagi, sebelum dibawa kerumah sakit papa jatuh pingsan." jawab Evan memberi penjelasan.
"Bagaimana ini, aku bahkan tidak tau papa sakit separah ini," rintih Jelita ditengah isak tangisnya. Evan meraih tubuh Jelita, melabukanya dalam pelukan. Jemari kokohnya sesekali membelai punggung Jelita memberi kekuatan.
Cukup lama Jelita duduk disamping papanya sembari terus menangis. Lelaki tegas dan keras itu kini terbarik tak berdaya di depannya. Entah sejak kapan dia mengalami sakit, tapi tak pernah mau memberitahu Jelita.
"Jangan menagis. Papa pasti bisa melewati semua ini. Kamu juga harus kuat, tidak boleh lemah. Ingat papa cuma punya kamu." ujar Evan berusaha menghibur istrinya.
"Bener papa gak apa-apa?"
"Iya sayang, kamu makan siang dulu yuk. Ini sudah lewat jam makan siang loh. Jangan sampai kamu juga ikutan sakit." bujuk Evan.
"Aku lagi gak berselera Van, kamu aja deh pergi makan." tolak Jelita tak bersemangat.
"Ayolah sayang. Papa akan baik-baik saja kalau kamu juga dalam keadaan baik. Ayo sayang."
Dengan terpaksa Jelita mengikuti Evan menuju kafe yang ada di sekitar rumah sakit. Sementara Sasongko di temani oleh orangnya Evan.
Tiba di cafe Evan memesan satu porsi makan siang dan satu hidangan penutup.
"Kok cuma satu Van?" Tanya Jelita saat hidangan yang datang cuma satu porsi.
"Sementara satu dulu, kalau kurang kita bisa pesan lagi." sahut Evan sembari menyendok nasi lalu mengisinya dengan lauk.
"Aa buka mulutmu," ujar Evan sembari menyodorkan sendok berisi nasi ke mulut Jelita. Sembari mengunyah nasi di mulutnya Jelita menatap suaminya lekat. Bulir bening kembali mengalir disudut matanya.
"Ada apa?" Tanya Evan sembari mengusap air mata istrinya dengan tisu.
Jelita menggeleng pelan. "Terimakasih," ujarnya air mata semakin deras mengalir. Saat ini dia hanya bisa mengandalkan Evan seorang. Andai tidak ada Evan dia tidak tau apa jadinya nasibnya.
"Sudahlah makan tidak boleh sambil nangis. Nanti nasimu tidak menjadi daging. Aku tidak suka wanita yang terlalu kurus. Tidak enak." ujar Evan dengan nada bercanda.
"Apaan sih," cebik Jelita sembari memukul bahu Evan.
'Yah tersenyumlah Jelita, karena duniaku akan gelap tanpa senyum manismu' bisik Evan.
.
To be continuous