NovelToon NovelToon
TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Dokter Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Transmigrasi / Era Kolonial
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.

Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.

Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28. FITNAH

"Hentikan sandiwara ini! Perempuan itu bukan tabib, ia penipu!"

Keributan pun pecah. Orang-orang menoleh, beberapa mundur karena takut. Aruna keluar ke serambi, wajahnya tenang meski hatinya berdegup kencang.

"Siapa yang bicara begitu?" tanya Aruna.

Pria itu melangkah maju, membawa kertas di tangannya. "Aku mendapat laporan dari Tuan Cornelis de Vries! Kau menggunakan ramuan berbahaya yang bisa membunuh orang! Kau harus berhenti, atau kami akan melaporkanmu ke pengadilan."

Suasana mendadak tegang. Para pasien saling berbisik, sebagian menatap Aruna dengan cemas, sebagian dengan kebingungan.

Aruna menarik napas dalam, lalu menjawab dengan suara tenang tapi tegas.

"Jika ada yang merasa dirugikan oleh pengobatan saya, silakan maju dan katakan langsung. Saya tidak pernah memaksa siapa pun datang ke sini. Mereka datang dengan harapan sembuh, dan saya melakukan yang terbaik dengan ilmu yang saya miliki," ujar Aruna tegas.

Seorang perempuan tua tiba-tiba berdiri dari antrean, wajahnya keriput namun penuh keberanian.

"Jangan dengarkan mereka!" serunya lantang. "Anakku hampir mati karena batuk, dan Tabib Aruna yang menyelamatkannya! Kalau ada yang bilang dia berbahaya, berarti mereka berbohong!"

Riuh suara setuju terdengar dari kerumunan.

"Benar! Dia menolong anakku juga!"

"Luka suamiku sembuh berkat dia!"

"Kalau bukan dia, aku sudah kehilangan ibuku!"

Sorak-sorai itu menggema, mengalahkan suara pria yang membawa tuduhan tadi. Wajahnya memerah, lalu ia mundur dengan geram, berjanji akan kembali dengan cara lain.

Aruna berdiri di serambi, menatap semua pasien yang bersorak membelanya. Ada rasa hangat di dadanya, namun juga kegelisahan. Ia tahu, fitnah ini bukan main-main. Cornelis tidak akan berhenti hanya dengan teriakan.

Malamnya, ketika gedung kesehatan sudah sepi, Aruna duduk sendirian di ruang periksa. Lampu minyak menyala redup, menyoroti wajahnya yang letih. Jemarinya menyentuh meja, hatinya penuh pertanyaan.

"Apakah aku salah karena terlalu menonjol? Atau memang sudah waktunya menghadapi pertentangan ini?" gumamnya lirih.

Ia tahu bahwa di zaman ini soal kedokteran masilah hal tabu. Berbeda sedikit maka akan dianggap pengguna ilmu hitam, sama halnya dengan di dataran Eropa dahulu, dimana wanita yang memiliki intelektual lebih dalam dunia medis, sastra, filsafat, dan sebagainya justru di cap penyihir dan dibakar hingga habis.

Tidak memungkiri kalau Aruna takut, toh ia manusia. Terlebih ia tidak tega sampai Van der mendengar tentang fitnah dan keributan ini. Aruna takut kalau Van der akan kecewa bahkan memalingkan wajahnya dari Aruna. Karena jika bukan Van der, hidup Aruna entah akan seperti apa. Aruna menikmati hidup layak, makanan ada tiga kali sehari, tempat tinggal layak, dan pakaian bersih. Van der yang memberikan semua itu.

Di luar, suara jangkrik dan desau angin menemani keheningan. Namun jauh di lubuk hatinya, Aruna tahu: badai sedang mendekat. Dan ia harus siap menghadapinya.

Beberapa hari setelah keributan di depan gedung kesehatan itu, suasana Batavia seperti terbelah. Di satu sisi, suara dukungan terhadap Aruna semakin keras. Pasien-pasien yang pernah ia sembuhkan berdiri lantang membela, bahkan dengan berani menantang siapa pun yang mencoba meragukan sang tabib. Namun di sisi lain, fitnah yang disebarkan Cornelis de Vries semakin licik, merambat ke telinga para pejabat Belanda yang duduk di kursi kekuasaan.

Cornelis tidak hanya puas menyebar kabar angin di pasar. Ia melangkah lebih jauh, menggunakan kedudukannya untuk membicarakan Aruna dalam rapat resmi.

Di sebuah ruangan besar berlantai marmer, di dalam rumah dinas salah satu pejabat tinggi, beberapa pria Belanda duduk melingkar di meja panjang. Lilin-lilin tinggi menyala, asap rokok mengepul di udara, dan gelas-gelas anggur diletakkan di hadapan mereka.

Cornelis bangkit berdiri, menatap semua orang dengan tatapan penuh kemenangan.

"Saudara-saudara," suaranya berat, dipenuhi dramatisasi, "kita sedang menghadapi masalah serius. Ada seorang perempuan, bukan pejabat, bukan pula tabib resmi, yang kini menjadi pusat perhatian rakyat Batavia. Namanya Aruna. Dan ia, dengan dalih menyembuhkan, sesungguhnya sedang merusak tatanan kota ini."

Beberapa pejabat saling menoleh. Salah satunya mengangkat alis. $Apa maksudmu, Cornelis? Aku dengar perempuan itu hanya membuka tempat pengobatan untuk orang sakit."

Cornelis mengibaskan tangannya, seakan meremehkan. "Itu yang kalian lihat di permukaan. Tapi pikirkan lebih dalam: ia mengobati budak! Ia membuat orang-orang kecil itu merasa penting, merasa setara. Apa kalian tidak sadar betapa bahayanya hal ini? Kalau budak-budak mulai berpikir mereka punya hak yang sama dengan tuannya, apa yang akan terjadi? Pemberontakan!"

Suasana meja seketika tegang. Kata 'pemberontakan' adalah kata yang ditakuti setiap pejabat kolonial.

Cornelis melanjutkan, suaranya semakin meyakinkan. "Dan tidak hanya itu. Ada laporan yang sampai padaku, ramuan yang ia berikan tidak jelas asal-usulnya. Beberapa orang sakit justru semakin parah setelah berobat. Jika dibiarkan, kota ini akan dipenuhi racun yang ia sebar dengan kedok obat."

Bisik-bisik mulai terdengar di antara para pejabat. Beberapa mengangguk setuju, sebagian masih ragu.

Seorang pejabat lain, berperawakan kurus dengan wajah tajam, bertanya, "Apakah kau punya bukti, Cornelis?"

Cornelis tersenyum tipis. "Bukti? Tentu saja. Ada laporan tertulis dari beberapa orang yang merasa dirugikan. Dan jika itu belum cukup, lihat saja bagaimana rakyat mulai menyanjungnya. Mereka tidak lagi mencari tabib resmi kita. Mereka hanya tahu satu nama: Tabib Aruna. Apa kalian mau melihat pengaruh seorang gadis kecil meruntuhkan wibawa kita?"

Kata-kata itu, seperti racun, meresap ke benak mereka. Kecurigaan yang semula samar kini berubah menjadi ancaman nyata.

Salah satu pejabat yang duduk di ujung meja menepuk tangannya keras. "Ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus mengatur agar ia berhenti. Jika perlu, kita tarik ke pengadilan atas tuduhan penyalahgunaan obat."

Cornelis tersenyum lebar. Itulah yang ia inginkan.

Sementara itu, di gedung kesehatan, Aruna tidak tahu apa yang tengah direncanakan. Ia hanya tahu antrean pasien semakin panjang, dan waktunya semakin tersita. Tangan-tangannya tidak berhenti bekerja, mencampur ramuan, membalut luka, mendengarkan keluh kesah.

Namun diam-diam, ia mulai merasakan ada yang berubah. Beberapa pasien datang dengan wajah ragu, bertanya dengan hati-hati.

"Tabib, benar kah apa yang orang bilang? Ramuanmu berbahaya?"

"Benarkah kau ingin budak melawan tuannya?"

Pertanyaan itu menusuk seperti duri. Aruna menatap mereka dengan mata jernih, lalu menjawab dengan sabar.

"Aku hanya ingin menolong. Aku tidak peduli kau siapa, budak, pribumi, atau Belanda. Bagiku, sakit adalah sakit, dan siapa pun berhak mendapat pengobatan. Jika ada yang mengatakan aku punya maksud lain, itu tidak benar. Ramuan yang kubuat tidaklah berbahaya, kalian bahkan bisa menemukannya di pasar atau hutan sekitar. Meramunya dengan benar dan membuat sendiri di rumah," jawab Aruna tanpa merasa tersudut.

Tapi meski ia menjelaskan dengan jujur, bisikan fitnah tidak berhenti. Justru semakin lama semakin keras, seperti gelombang yang tak bisa ditahan.

Hingga pada suatu sore, ketika matahari condong ke barat, dua serdadu Belanda datang dengan kuda ke depan gedung kesehatan. Mereka turun dengan wajah kaku, menatap Aruna yang sedang menuntun seorang anak keluar.

"Tabib Aruna?" salah satu dari mereka bersuara dingin.

"Ya, saya sendiri," jawab Aruna hati-hati.

Serdadu itu mengeluarkan gulungan kertas, lalu membacakannya lantang.

"Atas perintah Dewan Pejabat Batavia, engkau dipanggil menghadiri sidang dengar pendapat besok pagi. Engkau dituduh menyebarkan ramuan berbahaya dan menghasut kaum budak. Engkau harus hadir, atau kami akan menjemputmu dengan paksa," kata sang serdadu.

Orang-orang yang sedang menunggu berobat terperangah. Suasana mendadak riuh, sebagian berteriak menolak, sebagian panik. Aruna sendiri terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan tenang.

"Sampaikan pada Dewan, aku akan hadir," jawabnya tegas.

Serdadu itu menatapnya sekilas, lalu kembali naik kuda dan pergi. Debu jalanan beterbangan, meninggalkan kesunyian mencekam di halaman.

Aruna berdiri mematung, dadanya sesak. Ia tahu, ini bukan sekadar panggilan biasa. Ini adalah awal dari ujian berat yang bisa mengguncang segalanya, bukan hanya dirinya, tapi juga orang-orang yang percaya padanya.

Malam itu, Batavia bergemuruh oleh kabar: Tabib Aruna akan diadili.

1
Jelita S
Kita yg ngontrak ini diam z lh,,,
Archiemorarty: Jomblo gigit jari aja pokoknya mah 🤣
total 1 replies
Jelita S
aku jdi senyum2 sendiri 😍😍
Jelita S
ada jga kompeni yg baik seperti Gubernur satu ini,,,pantesan sampe skg msih banyak orang kita yg menikah sama Belanda kompeni penjajah😄😄😄
Archiemorarty: Van der Capellen aslinya di dunia nyata memang baik, sayang sma pribumi, sampe buatin sekolah khusus buat pribumi agar lebih maju. Sampe dikatain sma pejabat Belanda zaman itu kalau Van der terlalu lemah untuk seorang pemimpin hindia belanda /Grimace/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
cie cie yang mau MP jadi senyum" sendiri 🤣🤭😄
Archiemorarty: Hahahaha.... astaga /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
menjadi melow deh dan jadi baper sama perkataan nya Van Der 😍😭❤❤
Archiemorarty: waktunya romance dulu kita...abis itu panik...abis itu melow...abis itu...ehh..apa lagi ya /Slight/
total 1 replies
Jelita S
gantung z si Concon itu
Archiemorarty: Astaga 🤣
total 1 replies
Jelita S
adakah ramuan pencabut nyawa yg Aruna buat biar tak kasihkan sama si Concon gila itu😂
Archiemorarty: Tinggal cekokin gerusan aer gerusan biji apel aja, sianida alami itu /Slight/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Van Der lucu banget
Archiemorarty: Hahaha /Facepalm/
total 3 replies
gaby
Tukang Fitnah niat mempermalukan tabib, harus di hukum yg mempermalukan jg. Dalam perang sekalipun, Dokter atau tenaga medis tdk boleh di serang.
Archiemorarty: Benar itu, aturan dari zaman dulu banget itu kalau tenaga medis nggak boleh diserang. emang dasar si buntelan itu aja yang dengki /Smug/
total 1 replies
Wulan Sari
semoga membela si Neng yah 🙂
Archiemorarty: Pastinya /Proud/
total 1 replies
gaby
Jeng jeng jeng, Kang Van der siap melawan badai demi membela Neng Aruna/Kiss//Kiss/
Archiemorarty: Sudah siap sedia /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Akhirnya sang pujaan hati datang plisss selamat Aruna 😭😭😭😭
gaby
Aduuh Kang Van der kmanain?? Neng geulisnya di fitnah abis2an ko diem aja, kalo di tinggal kabur Aruna tau rasa kamu jomblo lg. Maria & suaminya mana neh, mreka kan berhutang nyawa sm Aruna, mana gratis lg alias ga dipungut bayaran. Sbg org belanda yg berpendidikan harus tau bakas budi. Jadilah saksi hidup kebaikan Aruna. Kalo ga ada Aruna km dah jadi Duda & kamu Maria pasti skrg dah jadi kunti kolonial/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...sabar sabar /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
plisss up yang banyak
Archiemorarty: Hahaha...jari othor keriting nanti /Facepalm/
total 1 replies
Jelita S
dasar si bandot tua,,,tak kempesin perutnya baru tau rasa kamu kompeni Belanda
Archiemorarty: Hahaha...kempesin aja, rusuh dia soalnya /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
aduh bagaimana Aruna menangani fitnah tersebut
Archiemorarty: Hihihi...ditunggu besok ya /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
seru bangettt, ternyata Van deer romantis juga yaa kan jadi baperrr 😍😍😭😭😭
Archiemorarty: Bapak Gubernur kita diem diem bucin atuh /Chuckle/
total 1 replies
gaby
" Jangan panggil aq lagi dgn sebutan Tuan, tp panggilah dgn sebutan Akang". Asseeek/Facepalm//Facepalm/
Archiemorarty: Asyekkk
total 1 replies
gaby
Akhirnya rasà penasaranku terbayarkan. Smoga Maria & suaminya menyebarluaskan kehebatan & kebaikan Aruna, agar Aruna makin di hormati. Kalo Aruna dah pny alat medis, dia bisa jd dokter terkaya di Batavia, ga ada saingannya kalo urusan bedah. Kalo dah kaya Aruna bisa membeli para budak utk dia latih atau pekerjakan dgn upah layak. Ga sia2 Van der membujang sampe puluhan tahun, ternyata nunggu jodohnya lahir/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...membujang demi doi dateng ya/Proud/
total 1 replies
gaby
Babnya lompat atau gmn thor?? Kayanya kmrn babnya tentang Aruna yg menolong wanita belanda yg namanya Maria, apa kabarnya Maria?? Bagaimana reaksi publik ketika melihat Aruna menyelamatkan pasien sesak napas di tengah2 keramaian pasar. Dan bagaimana respon warga kolonial ketika mendengar kesaksian dr suami Maria yg jd saksi kehebatan Aruna. Ko seolah2 bab kmrn terpotong
Archiemorarty: owalah iya, salah update aku...astaga. maapkan othor... update lagi ngantuk ini. ku ubah ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!