Menjebak Jodoh

Selain wajah yang pucat pasi, Sani bisa merasakan tangan Ivy yang sampai berkeringat dingin saat ia menggandengnya. Ia sebenarnya juga kesal pada gadis itu, namun melihatnya seperti ini, rasanya kasihan. Ia meminta Ivy duduk di sisi ranjang, sementara dia membuka almari mencari pakaian yang sekiranya cocok untuknya. Namun... ia kembali menoleh pada Ivy. Kenapa rasanya semua pakaiannya tak ada yang cocok untuk gadis itu?

Sejak memutuskan memakai hijab, rata-rata pakaiannya adalah gamis dan daster. Satupun sudah tak ada celana di almari pakaiannya. Ada rok, tapi atasannya rata-rata juga tunik. Ia mengambil salah satu gamis yang modelnya dirasa cocok untuk anak muda, lalu membawanya pada Ivy.

"Pakai ini aja," Sani menyodorkan gamis abu-abu pada Ivy.

"Makasih, Tante." Ivy menerima pakaian tersebut, memaksakan diri tersenyum meski sesungguhnya tak ada hasrat untuk senyum. Bisa dibilang, ia kena mental gara-gara Papanya Yasa tadi. Sampai membayangkan, saat menikah dengan Yasa nanti, akan seperti apa hidupnya, di saat kedua mertuanya tak menyukainya.

"Yu udah kamu siap-siap, nanti kita berangkat ke rumah sakit jam 9, karena janji dengan dokter jam 10."

"Tante," Ivy yang duduk di tepi ranjang, mendongak menatap Sani. Ada satu hal yang membuat ia kepikiran sejak semalam. "Apa proses tes DNA nanti, tidak akan membahayakan bayiku?" sebelah tangannya reflek memegang perut.

Sebuah pertanyaan yang langsung membuat Sani tertegun. Jika biasanya wanita yang hamil di luar nikah ingin menggugurkan kandungan, Ivy justru beda, ia terlihat begitu menginginkan janin tersebut. Ia menghela nafas panjang, lalu duduk di samping gadis itu.

"Jika beresiko, bisakah ditunda? Setidaknya sampai kandunganku agak besar, atau sampai dia lahir," pinta Ivy.

"Apa kamu menyayanginya?"

Ivy mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca. Apa di mata semua orang, ia tak layak menjadi ibu, sehingga seperti tak percaya jika dia benar-benar tulus menyayangi calon anaknya.

"Sebenarnya, apa motif utama kamu menjebak Yasa, jika bukan karena uang atau untuk bisnis Papa kamu?"

Ivy menunduk, tersenyum getir. Namanya sudah terlanjur buruk, entah bagaimana caranya ia untuk memperbaiki. "Mungkin gak akan ada yang percaya jika saya bilang, sungguh-sungguh ingin punya anak. Saya..." ia menjeda sebentar kalimatnya untuk mengambil nafas. "Ingin menjadi gadis yang punya anak," tertawa pelan, menyadari seberapa konyol dan putus asanya dia.

Sani terperanjat. Sungguh, rasanya susah untuk diterima logika. Gadis beranak? koyol. "Disaat hampir 99 persen gadis tak ingin hamil di luar nikah, kenapa kamu berbeda. Apa yang mendorongmu?"

"Saya lelah, Tante," ujar Ivy dengan suara bergetar dan air mata yang mulai mengalir. "Saya lelah terus-terusan dijodohkan. Papa saya hanya menganggap saya adalah aset, yang akan ditukar dengan sesuatu yang membawa keuntungan. Perasaan saya, keingin saya, bahkan masa depan saya, tidak penting sama sekali baginya. Semuanya, kalah dengan harta dan kekuasann," ia menyeka air mata. "Saya ingin hamil, karena saya tak ingin menikah seumur hidup."

"Astaghfirullah," Sani sampai mengelus dada, keputusan macam apa itu. Dia juga berasal dari keluarga broken home, malah bukan keluarga mungkin, karena kedua orang tuanya tak pernah menikah. Namun sepahit apapun kehidupannya, tak pernah terbesit dalam fikirannya untuk tidak menikah.

"Saya memiliki trauma menikah, karena pengalaman orang-orang terdekat saya. Selain itu, bagaimana bisa saya percaya pada cinta, jika cinta pertama saya saja, telah menorehkan luka yang sangat dalam hingga menimbulkan trauma. Bukankah cinta pertama seorang anak perempuan, adalah ayahnya?" menatap nanar Sani dengan air mata bercucuran.

Tak tega, Sani memeluk Ivy. Sebagai seorang perempuan yang hatinya lembut, ia ikut sesak mendengarkan curahan hati Ivy. Anak perempuan yang kekurangan cinta dari ayahnya, akan mudah diperdaya laki-laki karena tangki cintanya kosong. Namun Ivy, jangankan kosong, tangki cintanya bahkan sudah dihancurkan oleh ayahnya, sehingga tak lagi bisa menampung cinta dari laki-laki manapun. Tangannya secara tidak sadar mengusap punggung Ivy.

"Gak usah khawatir tentang tes DNA," ujar Sani setelah melepaskan pelukannya. "Kami sudah konsul dengan dokter, kata mereka aman. Ada dua metode tes DNA prenatal, invasif dan non invasif. Kita pilih yang Tes DNA Prenatal Non-invasif, atau biasa disebut NIPT. Aman, hanya mengambil sample darah ibu. Kalau yang beresiko itu, invasif, karena harus mengambil cairan ketuban. InsyaAllah, semua aman."