Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 > Mereka Datang Tanpa Pintu
Lorong rumah sakit itu terasa lebih panjang dari biasanya. Lampu-lampu putih memantul dingin di lantai mengilap, menciptakan bayangan samar yang bergerak setiap kali seseorang melintas. Bau antiseptik menusuk hidung Serene, membuat perutnya kembali terasa tidak nyaman. Ia terbaring di ranjang, kedua tangannya mencengkeram seprai. Napasnya belum sepenuhnya stabil sejak dokter mengatakan satu kalimat yang masih menggema di kepalanya.
Kehamilan ini bukan kehamilan biasa. Raiden berjalan di sisi ranjangnya, langkahnya cepat namun terkendali. Bahunya yang terluka sudah diperban rapi, tetapi wajahnya tetap keras, mata tajam seolah siap menghancurkan siapa pun yang mendekat. “Raiden…” suara Serene lirih, hampir tenggelam oleh suara roda ranjang yang berdecit.
Raiden segera menoleh. “Aku di sini.”
“Katakan yang sebenarnya,” desaknya pelan. “Dokter tadi… apa maksudnya?”
Raiden tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras. Ia tahu momen ini tidak bisa dihindari lagi. Ranjang berhenti di depan sebuah ruangan khusus dengan pengamanan tambahan. Dua petugas medis berdiri di depan pintu, wajah mereka tegang.
“Ruang observasi VIP,” kata salah satu dari mereka.
“Hanya keluarga inti yang boleh masuk.”
Raiden mengangguk singkat. “Aku suaminya.”
Pintu terbuka. Begitu Serene masuk, pintu itu kembali tertutup dengan bunyi klik pelan—namun terasa seperti penguncian. Ruangannya sunyi, terlalu sunyi. Monitor detak jantung berdetak teratur, menjadi satu-satunya suara yang menemani kecemasan Serene.
Raiden membantu Serene duduk setengah bersandar. Selimut ditarik rapi menutupi tubuhnya. “Sekarang,” Serene menatap Raiden lurus, “Jelaskan!”
Raiden duduk di samping ranjang, menyandarkan siku di lututnya. Untuk pertama kalinya, ia terlihat ragu.
“Serene,” katanya, suaranya rendah, “Apa pun yang akan kau dengar… satu hal yang harus kau pegang-”
“Aku ibu mereka,” potong Serene. “Dan aku berhak tahu.”
Raiden menutup mata sejenak, lalu mengangguk pelan. “Proyek Varendra,” katanya. “Itu warisan ayahku.”
Serene membeku. “Warisan?”
“Dulu,” lanjut Raiden, “Keluargaku mendanai riset genetika tingkat tinggi. Mereka percaya manusia bisa ‘ditingkatkan’ secara biologis—bukan dengan rekayasa langsung, tapi melalui seleksi gen dan kondisi ekstrem.”
Serene menelan ludah. “Kondisi ekstrem seperti apa?”
“Tekanan emosional. Trauma. Ikatan biologis yang kuat.”
Serene teringat malam itu. Minuman. Kepalanya yang berat. Dan keputusan yang bukan sepenuhnya miliknya.
“Jadi… kami dijebak?” suaranya bergetar.
Raiden mengangguk. “Ya. Tapi mereka tidak tahu satu hal.”
“Apa?”
“Aku menghentikan proyek itu bertahun-tahun lalu,” jawab Raiden. “Setidaknya… aku pikir begitu.”
Serene menunduk, tangannya mengusap perutnya perlahan. “Lalu anak-anakku?”
Raiden mengangkat wajah Serene dengan lembut. “Mereka hasil dari cinta yang dipaksakan keadaan... bukan eksperimen.”
“Tapi dokter bilang-”
“Ada pihak yang masih mengawasi,” potong Raiden dingin. “Dan malam ini, mereka mulai bergerak.”
Seolah menjawab ucapannya, lampu ruangan berkedip sebentar. Serene menegang. “Raiden?”
Raiden langsung berdiri. “Tetap di sini.”
Tiba-tiba pintu ruangan diketuk. Arlo masuk dengan wajah pucat. “Tuan,” katanya cepat, “Kami punya masalah.”
Raiden menatapnya tajam. “Bicara.”
“Ada permintaan resmi masuk,” lanjut Arlo. “Dari lembaga kesehatan internasional.”
Serene menegakkan tubuhnya. “Permintaan apa?”
Arlo ragu, lalu menatap Serene. “Pemeriksaan prenatal lanjutan… dengan pengawasan eksternal.”
Raiden tertawa dingin. “Mereka tidak buang waktu.”
“Itu belum semuanya,” tambah Arlo. “Mereka membawa surat rekomendasi… dan surat perintah darurat.”
Serene membelalakkan matanya. “Surat perintah?”
Raiden memijat pelipisnya. “Atas dasar apa?”
“Keselamatan janin,” jawab Arlo lirih. “Dengan alasan risiko biologis.”
Ruangan seketika terasa menyempit. “Mereka ingin mengambil anak-anakku?” suara Serene bergetar.
Raiden menatapnya, matanya membara. “Tidak selama aku hidup.”
***
Di lantai bawah rumah sakit, beberapa pria dan wanita berjas resmi berjalan memasuki gedung. Wajah mereka tenang, bahkan terlalu tenang. “Tim medis siap?” tanya seorang wanita berambut pendek.
“Siap,” jawab pria di sampingnya. “Jika Varendra menolak, kita eskalasi.”
Wanita itu tersenyum tipis. “Dia akan menolak.”
“Dan itu yang kita inginkan.”
Sementara di ruang observasi, alarm monitor Serene berbunyi pelan. “Tenang,” kata Raiden lembut sambil menggenggam tangannya. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun membawamu pergi.”
Serene menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak takut untuk diriku. Aku takut untuk mereka.”
Raiden berlutut di samping ranjang. “Dengarkan aku. Anak-anak ini… adalah satu-satunya alasan aku masih berdiri.”
Serene terisak pelan. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka tanpa ketukan. Seorang dokter asing masuk, diikuti dua petugas keamanan rumah sakit. “Maaf,” kata dokter itu formal, “Kami perlu melakukan pemeriksaan tambahan.”
Raiden berdiri, tubuhnya menghalangi Serene. “Siapa yang mengizinkan kalian?”
Dokter itu mengangkat map. “Perintah darurat.”
Raiden menatap map itu, lalu menatap wajah dokter itu dengan dingin. “Keluar!” katanya.
Dokter itu ragu. “Tuan Varendra-”
“Saya bilang keluar!”
Petugas keamanan saling pandang. Detik itu terasa sangat panjang. Akhirnya, dokter itu melangkah mundur. “Kami akan kembali dengan otorisasi penuh.”
Pintu tertutup.
Serene terengah. “Raiden… mereka tidak akan berhenti.”
Raiden menunduk, menempelkan kening ke perut Serene. “Dan aku juga tidak.”
Tidak terasa malam semakin larut. Hujan mulai turun di luar jendela, membasahi kota dengan kilau kelabu. Di dalam ruangan, Serene akhirnya terlelap—lelah oleh ketegangan. Raiden berdiri di dekat jendela, menatap ke luar.
Arlo mendekat. “Tuan… kita harus bersiap. Mereka punya jalur hukum.”
Raiden menoleh. “Dan aku punya jalur lain.”
“Apakah Anda yakin?” tanya Arlo hati-hati.
Raiden menatap Serene yang sudah tertidur. “Aku tidak akan kehilangan mereka,” katanya pelan namun nadanya mematikan.
Arlo mengangguk. “Kami mendeteksi sesuatu.”
“Apa?”
“Sistem keamanan rumah sakit… sedang diretas.”
Raiden langsung berbalik. “Dari mana sumbernya?”
“Tidak diketahui dan benar-benar sangat rapi.”
Lampu ruangan kembali berkedip. Monitor Serene berbunyi lebih cepat. Raiden berlari ke ranjang. “Serene!”
Serene terbangun dengan napas tersengal. “Raiden… sakit…”
Dokter bergegas masuk. “Kontraksi meningkat!”
Raiden menggenggam tangan Serene. “Aku di sini.”
Tiba-tiba seluruh lampu padam. Ruangan menjadi gelap. Alarm berbunyi serempak. Dan di tengah kekacauan itu, layar monitor menyala kembali dengan menampilkan satu pesan besar berwarna merah: “PENGAMBILAN DIMULAI.”
Raiden membeku. Serene menjerit namun suaranya pelan. Sedangkan di luar ruangan, langkah kaki terdengar mendekat. Dan itu bukan langkah biasa... Melainkan langkah orang-orang yang datang tanpa izin.
***
Keadaan semakin rumit, akankah Raiden berhasil menangani masalah ini?
To be continued