🔥"Tanaya — Jiwa dari Zaman Purba”
Tanaya, gadis modern yang hidup biasa-biasa saja, tiba-tiba terbangun di tubuh asing—berkulit gelap, gemuk, dan berasal dari zaman purba yang tak pernah ia kenal.
Dunia ini bukan tempat yang ramah.
Di sini, roh leluhur disembah, hukum suku ditegakkan dengan darah, dan perempuan hanya dianggap pelengkap.
Namun anehnya, semua orang memanggilnya Naya, gadis manja dari keluarga pemburu terkuat di lembah itu.
>“Apa... ini bukan mimpi buruk, kan? Siapa gue sebenarnya?”
Tanaya tak tahu kenapa jiwanya dipindahkan.
Mampukah ia bertahan dalam tubuh yang bukan miliknya, di antara kepercayaan kuno dan hukum suku yang mengikat?
Di dalam tubuh baru dan dunia yang liar,
ia harus belajar bertahan hidup, mengenali siapa musuh dan siapa yang akan melindunginya.
Sebab, di balik setiap legenda purba...
selalu ada jiwa asing yang ditarik oleh waktu untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.
📚 Happy reading 📚
⚠️ DILARANG JIPLAK!! KARYA ASLI AUTHOR!!⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyx Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
|Persiapan Ke Suku Selakra...
“Makanan sudah siap!!”
Aroma masakan langsung memenuhi rumah gua Tanaya—hangat, gurih, dan asing sekaligus menggoda. Tanaya melangkah keluar dari dapur dengan hati-hati, kedua tangannya menopang mangkuk besar berisi hidangan yang masih mengepul.
Di belakangnya, Sira mengikuti sambil membawa beberapa piring, senyum lembut tak lepas dari wajahnya saat memandangi putrinya.
Yaren dan Liran yang baru saja kembali dari sungai setelah mencuci tangan dan kaki langsung duduk di sisi Tharen, bahkan duduk mereka terlalu dekat sampai membuat pria itu mendelik kaget.
“Hey!” Tharen mendelik. “Kenapa kalian menempel di dekatku begitu? Masih banyak tempat di sana. Yang di sampingku itu untuk istriku, menjauh kalian!”
Yaren mendesah pelan, ia segera bangkit tanpa protes lalu berpindah ke tempat biasa, diikuti Liran yang ikut duduk di sampingnya sambil terkekeh kecil.
“Ayo, Liran, duduk yang benar,” ucap Sira lembut sambil menata beberapa piring di atas lantai batu. “Kita makan bersama. Jangan sampai ada yang tersisa malam ini.”
Liran langsung tersenyum lebar. Tadi sore, Tanaya mengajaknya untuk makan bersama, dan itu membuatnya semangat 45 menyala karna ia memang suka dengan masakan Tanaya.
“Tentu saja, Bibi. Aku tidak akan menyia-nyiakannya,” katanya penuh antusias.“Terima kasih banyak.”
Matanya berbinar menatap hidangan di hadapannya—makanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya, asing bentuknya, namun aromanya hangat dan menggoda perutnya yang sejak tadi keroncongan.
'Sepertinya… malam ini akan jadi malam terbaik, pikirnya, tanpa sadar menelan ludahnya.
Di hadapan mereka kini tersaji berbagai hidangan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Ada sup daging rusa dengan tambahan potongan jagung dan wortel, aromanya kaya dengan sentuhan pedas dari cabai. Di sisi lain, daging bakar tersusun rapi, juga kepiting bakar—sisa hasil laut kemarin yang kini kembali diolah Tanaya dengan cara berbeda.
Tanaya mendekat, lalu duduk di samping Tharen. Dengan hati-hati, ia menyodorkan satu umbi rebus berwarna keunguan yang masih mengepul.
“Ini, Ayah… khusus untuk Ayah,” ucapnya lembut.“Coba makan. Hati-hati masih panas.”
Tharen yang semula tersenyum bangga melihat perhatian putrinya seketika meredup saat matanya menurun menangkap benda di depannya.
Alis Tharen berkerut. Ia menatap makanan berwarna ungu itu yang tampak gelap, keras dan asing, tidak seperti makanan yang biasa ia kenal. Tatapannya perlahan menoleh ke wajah Tanaya dengan ekspresi campur aduk antara ragu dan penasaran.
“Ehem…”tharen berdehem pelan.“Naya, sayangku… ini… makanan apa?”katanya dengan hati-hati.
Tanaya yang melihat reaksi itu terkekeh kecil. Ia sudah menduga ayahnya akan berekspresi seperti itu.
“Ini namanya ubi… ubi rebus,” jelas Tanaya sambil tersenyum. “Bagian dalamnya lembut. Begini cara makannya.”
Ia kemudian mengeluarkan pisau kecil barunya—pisau yang dibuatkan Yaren khusus untuknya. Dengan gerakan pelan, Tanaya membelah umbi itu, lalu mengambil sedikit kuah sup beserta daging dan jagung menaruhnya di atas potongan ubi.
“Wah…”Liran tanpa sadar maju sedikit. “Benda itu… tajam sekali.”
Ucapannya seketika membuat gerakan Tanaya terhenti sesaat.
“Naya, apa itu punyamu? Dari mana kau mendapatkan benda itu?” tanya Liran lagi, nada suaranya penuh kekaguman polos, bukan curiga.
Suasana seketika hening. Bahkan api kecil di tengah ruangan terasa seperti ikut meredup.
Seluruh keluarga menoleh bersamaan ke arah Tanaya. Gadis itu langsung meringis kecil—ia baru sadari jika masih ada Liran di sini.
Karana, Mereka sudah sepakat untuk menyembunyikan semua hal asing yang terlalu mencolok di suku ini atas perintah Tharen.
Tharen ingin, jika waktunya tiba, dialah yang akan menjelaskannya kepada suku—dengan caranya sendiri. Ia tak ingin kecerdikan putrinya di masa depan akan dimanfaatkan oleh orang lain nantinya.
Tharen menghela napasnya panjang. Ia meraih pisau itu dari tangan putrinya dengan gerakan tenang, seolah tak ingin membuat suasana semakin tegang. Pisau itu lenyap di balik pakaian kulitnya.
“Itu milikku,” ucapnya datar, nadanya tak memberi ruang untuk pertanyaan lanjutan.“Aku yang membuatnya.”
Mata Liran langsung berbinar, kekagumannya tak disembunyikan.
“Serius, Paman?” katanya antusias. “Kalau begitu… tombak yang dibawa Yaren tadi juga buatanmu? Warnanya mirip. Aku sempat melihatnya di bukit.”
Udara kembali menegang.
Tatapan Tharen langsung beralih ke arah Yaren—tajam, penuh peringatan.
Yaren menghela napasnya kecil, lalu menunduk, berpura-pura sibuk mengunyah makanannya. Ia tahu… satu kata saja bisa menimbulkan terlalu banyak tanya.
Sira yang menangkap ketegangan itu segera berdehem pelan, memecah suasana.
“Ah, ayo… cepat habiskan makanan kalian sebelum dingin,”ucapnya lembut. Ia lalu mengambil sebuah bungkusan kulit dan menyerahkannya pada Liran.“Ini bawa pulang nanti untuk ibumu, ya.”
Di dalamnya tampak beberapa buah mangga yang telah dibungkus rapi. Liran tertegun sejenak, lalu tersenyum hangat.
"Terima kasih banyak, Bibi.”
Perlahan, ketegangan di dalam ruangan mencair dengan sendirinya. Satu per satu mulai mencicipi masakan Tanaya, dan tak butuh waktu lama hingga wajah-wajah kaku itu berubah.
Pujian demi pujian pun mengalir, sederhana tapi tulus membuat Tanaya hanya bisa tersenyum kecil, dengan pipi memanas.
Padahal, jika di dunianya dahulu, makanan ini hanyalah hidangan biasa—bahkan mungkin dianggap terlalu sederhana. Namun di dunia ini, semangkuk kehangatan mampu menjadi hal yang sangat berarti.
Tanaya terdiam sejenak, sendoknya berhenti di udara.
Ia baru mengerti… inilah arti bersyukur.
Bukan tentang seberapa mewah yang disajikan, melainkan tentang bisa berbagi dan membuat orang-orang yang ia sayangi merasa kenyang dan aman.
Malam itu, mereka menikmati makanan bersama. Diiringi tawa kecil, obrolan ringan, dan kehangatan api yang berkerlip pelan—menyingkap sisa-sisa ketegangan, seolah tak pernah ada.
Untuk sesaat, dunia terasa damai.
...>>>>>...
Pagi itu lahir dengan sangat sunyi.
Kabut tipis masih menggantung di atas sungai ketika Tanaya dan keluarganya berjalan berdampingan menyusuri tepian air. Air sungai terasa dingin saat menyentuh kulit mereka.
Mereka membersihkan wajah dan tubuh, lalu menyikat gigi dengan akar pohon lembut—kebiasaan baru yang diajarkan Tanaya. Sejak saat itu pula, kebiasaan lama perlahan berubah. Tanaya juga membiasakan mereka meminum air yang sudah dimasak, tak lagi langsung meneguk air sungai mentah seperti sebelumnya.
Setelah kembali ke rumah gua, suasana pagi terasa seperti biasa—namun tidak sepenuhnya sama.
Sira sibuk di dapur, menyiapkan makanan dengan tenang. Sementara itu, Tanaya sejak pagi tak pernah jauh dari sisi Yaren. Ia terus mengikutinya ke mana pun kakaknya pergi, seakan takut kehilangan satu detik pun bersamanya.
Semalam, Tharen telah memberi tahu mereka dengan suara beratnya—bahwa Yaren akan berangkat ke suku Selakra bersama Chengbao hari ini, mendadak. Jaraknya cukup jauh, bahkan membutuhkan dua hari perjalanan tanpa kepastian. Dan siang nanti, Yaren akan pergi.
“Adik,” suara Yaren memecah keheningan.“Semua tanaman sudah kakak tanam dan siram. Sekarang… apa lagi yang kau mau?”
Ia menoleh ke belakang. Tangan dan lengannya kotor oleh tanah basah, napasnya masih tersisa peluh. Tatapannya jatuh pada Tanaya yang duduk di atas batu tak jauh darinya.
Gadis itu terlihat fokus, dengan alis berkerut kecil, dan matanya sesekali berbinar lalu kembali fokus. Tangannya sibuk merangkai sesuatu.
Yaren perlahan mendekat, lalu duduk di sampingnya dengan jarak sedikit. Ia hanya berhati-hati, tak ingin tubuhnya yang kotor mengotori Tanaya yang sudah bersih dan harum.
“Adik… kau sedang membuat apa?” tanyanya lembut.
Tanaya tiba-tiba mengangkat kepalanya.
“Selesai!” serunya kecil, penuh semangat.
Matanya berbinar saat menatap hasil karyanya sendiri. Ia lalu mengulurkan sebuah benda ke arah Yaren.
“Kakak, cobalah… Aku membuat ini supaya kakimu tidak terluka selama perjalanan nanti.”
Yaren terdiam.
Ia melihat sebuah benda asing ditangannya—sepasang alas kaki sederhana tapi bukan terbuat dari kulit melainkan yang dirangkai dari rotan, dianyam rapat dengan ikatan yang kuat.
Yaren yang melihat itu tersentak, matanya menelusuri setiap anyaman dengan bingung dan tak percaya.
“A-apa ini…?” suaranya terdengar pelan.
Tanaya tersenyum. Senyum yang hangat, namun menyimpan sesuatu di baliknya.“Ini namanya sandal,”katanya.“Benda ini bahkan lebih kuat dari punya kakak... Cara pakainya begini."
Ia perlahan berjongkok, dengan hati-hati ia melepas sandal kulit yang dipakai kakaknya lalu mengganti nya dengan sandal baru yang ia buat. Ukurannya pas. Tidak longgar, tidak sempit—seolah dibuat khusus untuknya.
Yaren terdiam. Dadanya terasa hangat dan sesak bersamaan.“Adik…” suaranya tertahan.
Ia menatap sandal baru itu binar. Sinar matahari mengkilat melalui cangkang kerang kecil yang sengaja Tanaya tempelkan di sisi sandal itu membuat benda itu terlihat lucu dan unik khas Tanaya. Dengan bantuan jarum dari pohon leranya semuanya terasa mudah.
“Ini indah sekali."lanjut Yaren membuat Tanaya tersenyum senang, ia mengangkat kepalanya "Kau membuatnya kapan?”
“Semalam,” jawab Tanaya ringan. “Aku mengukur kakimu diam-diam, jadi aku mencoba membuatnya kak.”
Ia terkekeh kecil, seolah itu hal biasa. Tanaya sebenarnya juga ingin membuat tas dengan bantuan jarum baru dari pohon Lera nya mungkin semuanya terasa mudah, tapi waktunya tidak cukup.
“Kalau kakak pergi jauh, setidaknya ini tidak membuat kakimu tidak terluka,” tambahnya pelan.
Yaren menunduk, ia kembali menatap sandalnya lama. Untuk pertama kalinya, perjalanan ke Selakra terasa benar-benar nyata—dan berat saat meninggalkan adiknya sendirian.
...>>>>...
“Ah—Tharen, akhirnya kau datang. Di mana Yaren?”
Ketua Sao segera melangkah mendekat begitu Tharen memasuki balai suku. Para tetuah lain ikut menoleh. Balai itu sudah dipenuhi penduduk Nahara yang kini tengah mempersiapkan sesuatu sebagai bawa-bawa ke suku Selakra.
Mendengar kabar keberangkatan Yaren dan Chengbao ke suku Selakra telah menyebar terlalu cepat membuat mereka berlapis kecemasan sekaligus senang karna masalah garam akan selesai.
“Dia ada,”Tharen menjawab singkat. Nada suaranya datar, khas dirinya—keras tanpa perlu ditinggikan.
“Ketua Sao, ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Tapi… aku ingin membicarakannya berdua.”
Ketua Sao mengangkat alis putihnya, ia menatap Tharen beberapa detik seolah menimbang bobot kata-kata itu. Lalu ia mengangguk pelan.
“Baik. Mari ke ruanganku. Masih ada waktu sebelum mereka berangkat.”
Keduanya pun melangkah masuk ke dalam rumah gua milik Ketua Sao, meninggalkan beberapa tetua yang saling pandang dan menatap mereka menjauh, tak sedikit juga yang berdecak pelan soal itu.
“Ck."
Hanle duduk kembali di kursi kulitnya dengan wajah masam.
“Apa maksudnya itu? Mengapa harus berdua?” katanya keras, seolah ingin didengar semua orang.
“Apakah Tharen tidak percaya pada kita—para tetuah suku?”
Beberapa tetuah terdiam mendengarnya. Sedangkan orang-orang yang berlalu lalang memilih berpura-pura sibuk. Karna mereka tahu betapa tempramen nya tetuah Hanle saat kesal.
Ganhe, tetua tertua di antara mereka, perlahan menurunkan tubuhnya ke tanah. Batuk kecil keluar dari dadanya sebelum ia bicara.
“Kau seharusnya sudah memahami watak Tharen, Hanle,” ucapnya tenang, hampir seperti menasihati anak kecil.
“Dia bukan orang yang bicara sembarangan.”
Ganhe menghela napasnya pendek, lalu melanjutkan dengan senyum samar yang justru menusuk.
“Lagipula… bukankah kau sendiri tahu? Posisi yang kau duduki sekarang—seharusnya milik Tharen, bukan?”
Wajah Hanle yang mendengar itu mengeras. Rahangnya mengatup.“Itu keputusan suku,”balasnya dingin.
“Bukan keinginan pribadi.”
Ganhe terkekeh pelan, batuknya menyertai.“Ya… tentu saja.”
Di sudut lain, Luseng yang sejak tadi diam hanya menyunggingkan senyum tipis—senyum licin yang sulit dibaca. Ia menikmati ketegangan itu. Terutama saat melihat harga diri Hanle sedikit demi sedikit tergores oleh nama Tharen.
Pandangan Luseng kemudian beralih, menyapu keramaian balai. Ia mengerutkan kening.
“Di mana Rua…” gumamnya lirih.
Putranya itu belum terlihat sejak tadi. Dan entah mengapa, firasat Luseng terasa tak enak terhadap putranya akhir-akhir ini—seolah pagi ini menyimpan lebih dari sekadar keberangkatan ke Selakra.
...>>>>...
Di sisi lain...
Tepatnya dibawah pohon beringin tua yang akarnya menjalar seperti urat bumi, para wanita dan gadis suku Nahara tangah berkumpul disana. Mereka duduk beralas kulit binatang, tangan-tangan mereka sibuk menyulam, merangkai, menganyam— keranjang untuk di bawa ke suku Selakra dan timur. Sementara tawa ringan sesekali menyela udara.
Tanaya ikut duduk di antara mereka, di sisi Sira. Jemarinya juga bergerak cekatan mengikuti anyaman keranjang—khas suku Nahara yang lebih rapi dari biasanya, tapi lebih kokoh dari buatan gadis seusianya.
“Wah, Naya…” bibi Daya berhenti menganyam, ia mencondongkan tubuhnya. “Anyaman keranjangmu bagus sekali, nak. Lihat ini, rapat dan kuat. Bahkan lebih baik dari buatanku.”
Tanaya terkejut kecil, matanya membesar sebelum pipinya perlahan memerah.
Di sebelahnya, Bibi Mina ikut menoleh.“Cantik sekali,”Gumamnya lembut.
“Tanganmu seperti diberkati para dewa, Nak.”Ia melirik ke arah Sira. “Sira, putrimu ini pintar sekali. Bagaimana bisa ia menganyam serapi ini?”
Pipi Tanaya seketika memerah. Ia menunduk, sedikit merapat ke sisi ibunya seperti anak kecil yang malu dipuji.
“Ah… tidak, Bibi. Aku hanya meniru ibu saja,” jawabnya pelan.
Bibi Daya tertawa kecil, ia menatap Tanaya dari ujung kepala sampai kaki.
“Kalau begitu, kau menirunya terlalu baik sayang. Aku lihat-lihat kau sekarang semakin kurus dan putih, Naya. Cantik sekali.”
Ia terkekeh kecil.“Tapi, sayang sekali semua putraku sudah punya pasangan. Kalau tidak, sudah kujodohkan dengan Linque.”lanjutnya menyebut nama putra bungsunya.
“Benar,”Sahut Bibi Mina sambil tetap menyulam.
“Keluarga Tharen belakangan ini terlihat berbeda. Kulit mereka seperti bercahaya, dan harum.”Ia ikut tersenyum geli. “Tadi aku sempat bertemu dengan Yaren, dia semakin gagah dan tinggi saja. Sayangnya aku tidak punya anak perempuan untuk bersanding dengannya.”
“Kalau begitu, bagaimana dengan putraku?”sela Bibi Duraya sambil menatap Sira penuh harap.“Ku dengar, Naya dulu menyukai Nieng, bukan? Bukankah mereka cocok?”
Sira hanya tersenyum kecil, ia menggeleng pelan tanpa mengangkat pandangan dari sulamannya. Ia tetap tenang, seolah sudah terbiasa menghadapi pembicaraan semacam ini.
“Hentikanlah,”Bibi Bunka akhirnya angkat suara sambil tertawa.“Apa kalian tidak lihat wajah gadis itu? Sudah merah sekali.”
Tawa pun seketika pecah di antara para wanita. Ada yang menutup mulut, ada yang menepuk paha sambil terkekeh saat melihat Tanaya yang semakin menggemaskan dengan wajah merah seperti itu.
Tanaya semakin menunduk, ia berharap tanah bisa menelannya saat itu juga. Demi apa pun—seseorang, siapa saja tolong keluarkan dia dari lingkaran ibu-ibu ini.
Sira ikut terkekeh, lalu menepuk lembut punggung putrinya.“Sudah, sudah… berhenti menggoda putriku.”
Ia menatap para wanita dengan senyum hangat namun tegas.“Naya belum ingin berpasangan. Putriku baru akan menikah setelah usianya tujuh belas.”
Mendengar itu, Tanaya menghela napasnya lega—meski pipinya masih terasa hangat. Pujian para wanita tadi perlahan mereda, tawa pun mulai bercampur dengan suara anyaman dan gesekan serat kulit.
Namun di balik kekaguman itu, tidak semua tatapan mengandung kehangatan. Beberapa pasang mata justru melirik ke arahnya dengan sinis.
“Kalian dengar tadi?” bisik Minde sambil terus menyulam, jemarinya bergerak cepat namun wajahnya mengeras.“Bukankah Nieng itu pasanganmu, Neera? Tapi bibi Duraya sekarang malah terlihat lebih menyukai Naya.”
Neera mendengus lirih, bibirnya mencebik.“Diamlah. Aku tidak ingin suasana hatiku lebih hancur membahas si hitam itu.” Ia menoleh pada gadis di sebelahnya, suaranya menajam. “Lani, kau hanya diam saja? Kalau begini terus, gadis itu bisa merebut Kak Rua juga.”
Lani yang sejak tadi terdiam hanya melirik mereka sekilas. Wajahnya—yang biasanya dihiasi senyum lembut dan tatapan menggoda kini tampak tegang, meski ia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang.
“Kalian tak perlu berbicara sembarangan,”ucapnya akhirnya pelan namun tegas.“Lebih baik selesaikan pekerjaan kalian. Bukankah kalian ingin melihat Kak Rua? Sebentar lagi dia akan berangkat ke benua timur lagi.”
Nada suaranya anggun, nyaris tanpa cela. Namun di balik ketenangan itu, telinganya terasa panas setiap kali mendengar pujian yang terus diarahkan pada Tanaya—gadis yang dulu kerap dijadikan bahan gunjingan, tapi kini justru dipuja.
Minde dan Neera saling pandang, lalu berdecak pelan. Mereka menunduk kembali, mengerjakan anyaman dengan gerakan lebih cepat, seakan ingin segera mengakhiri waktu itu.
Di dalam hati mereka, hanya satu keinginan yang sama mengendap yakni... Melihat pemuda yang paling dikagumi di seluruh lembah itu muncul—dan memastikan sorot matanya tidak tertuju pada Tanaya.
...>>>>To Be Continued......
tapi klo di pake trs Tanaya selamat ya ceritanya ga bakal sesuai sihh