NovelToon NovelToon
THE SECRETARY SCANDAL

THE SECRETARY SCANDAL

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Playboy / Obsesi / Kehidupan di Kantor / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."

Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.

Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.

Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.

Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1

Langkah-langkah Karmel Agata berderap mantap di atas karpet tebal berwarna abu-abu mutiara, peredam sempurna bagi segala kesibukan yang terjadi di lantai-lantai bawah. Koridor eksekutif lantai 40 ini selalu sepi, sunyi, dan berbau mahal—campuran antara aroma kayu mahoni yang dipoles sempurna dan harum lembut parfum udara berkelas. Di balik dinding kaca di ujung koridor, Jakarta terhampar seperti miniatur, sebuah kerajaan yang dari sini, terasa bisa diatur.

Dia mengenakan kardigan hitam tipis yang menempel sempurna di tubuhnya, membentuk lekuk bahu dan dada yang proposional. Di bawahnya, rok pensil berwarna abu tua yang panjangnya tepat di atas lutut, mendefinisikan setiap langkahnya yang anggun. Sepatu hak tingginya yang berwarna nude menambah kesan tegas namun feminin. Di tangan kirinya, ia membawa sebuah map berwarna coklat tua berisi laporan kuartal yang harus segera ditandatangani Vice President.

Wajahnya, dengan bone structure yang tajam dan alis yang terpencil rapi, tampak fokus. Matanya, yang berwarna coklat madu, biasanya memancarkan kecerdasan dan ketenangan yang menjadi senjatanya. Tapi hari ini, ada sedikit kegelisahan di balik tatapan itu. Sebuah harap yang ia coba kubur dalam-dalam.

Pintu kayu mahoni besar dengan plakat perunggu bertuliskan "Renzi Jayawardhana - Vice President" sudah di depan mata. Biasanya tertutup rapat, hari ini pintu itu terbuka sedikit, menyisakan celah sekitar sejengkal. Karmel mengatur napas, merapikan sedikit ujung roknya, dan bersiap mengetuk.

Namun, jari-jari panjangnya yang terpelihara itu berhenti di udara, menggantung hanya beberapa sentimeter dari kayu yang keras.

Suara dari dalam ruangan, meski tidak keras, memecah kesunyian koridor dan menusuk telinganya dengan jelas.

"Jadi kapan lo mau secara resmi kasih tau hubungan lo sama Karmel ke orang tua lo? Gue rasa mereka setuju sih. Gue liat bokap sama nyokap lo cukup deket sama Karmel."

Itu suara Herry, sahabat Renzi. Karmel diam. Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang. Pertanyaan yang selama ini ia simpan dalam-dalam, tapi tak pernah berani ia lontarkan.

Lalu, terdengar suara yang begitu ia kenal, suara yang sering membisikkan kata-kata manis di telinganya di saat-saat paling intim. Suara Renzi Jayawardhana. Namun, kali ini, nada itu berbeda. Dingin. Dan dihiasi oleh sebuah tawa kecil yang sinis.

"Hah? Hubungan resmi apa?" ujar Renzi terkekeh, suaranya seperti tetesan air es. "Lo kira gue serius sama Karmel? Dia cuma temen tidur gue aja."

Bruuk.

Seolah-olah seluruh dasar dunianya ambruk. Karmel berdiri kaku, bagai patung yang terpaku di depan pintu. Map di tangannya terasa tiba-tiba berbobot seribu ton. Udara di koridor yang sejuk itu tiba-tiba terasa pengap dan membakar paru-parunya.

"Astaga, gue kira lo serius sama Karmel." ujar Herry, terdengar sedikit tercengang. "Kalian udah 3 tahun lho."

"Sekertaris main sama atasan itu udah jadi hal lumrah. Jangan dibawa serius." jawab Renzi, santai, seolah sedang membicarakan cuaca. Seteguk kopi mungkin ia nikmati setelah mengucapkan kata-kata yang begitu menghancurkan.

Di balik pintu, wajah Karmel memucat. Darahnya yang tadinya hangat mendadak membeku, lalu dalam sekejap berubah menjadi lava yang mendidih. Hatinya remuk, diinjak-injak oleh kenyataan pahit yang baru saja ia dengar. Rasanya seperti ditampar, dipermalukan, dan dibuang, semua dalam sekali gebrak. Selama tiga tahun, segala ucapan manis, janji samar tentang masa depan, tatapan penuh arti—semuanya ternyata hanya sandiwara yang dipentaskan oleh seorang jenius yang licik. Otaknya, yang lulus dengan predikat cum laude dari manajemen bisnis, mendadak kosong melompong. Kecerdasannya tak berdaya melawan badai pengkhianatan yang begitu personal.

"Sial!" umpatnya dalam hati, suara itu tercekik di kerongkongannya. Tangannya yang tidak memegang map mengepal begitu keras hingga kukunya yang terawat itu meninggalkan bekas kemerahan di telapak tangannya. Matanya yang coklat madu itu berkilat, diliputi oleh lapisan air yang ia paksa untuk tidak jatuh. Ia menggigit bibir bawahnya hingga nyaris berdarah.

"Jadi buat kamu aku cuma teman tidur?!" bisiknya lirih, getir, hanya untuk dirinya sendiri.

Percakapan di dalam ruangan masih berlanjut, mengiris-iris sisa harga dirinya.

"Makan siang dimana kita?" tanya Herry, seolah topik sebelumnya sudah selesai.

"Dihotel Ozon. Ada cewek yang mau gue temui." Renzi terkekeh lagi, dan kali ini, kekehannya terdengar seperti cemochan bagi Karmel.

"Wow. Tau nggak tuh karmel kalo cowoknya hobi jajan." goda Herry.

"Aman. Fano pinter ngatur jadwal dan rahasia." jawab Renzi, percaya diri. Suara itu adalah suara seorang master strategi yang merasa dirinya tak terkalahkan, seorang pria yang hidupnya dibangun di atas menara kebohongan yang diatur oleh Fano, asisten pribadinya yang seperti hantu.

"Nggak percuma lo bayar mahal si Fano buat jadi asisten lo," sahut Herry.

Mendengar langkah kaki mendekat ke arah pintu, naluri Karmel terbangun. Otaknya yang cerdas, yang sempat lumpuh, kini bekerja keras untuk menyelamatkan sisa-sisa kehormatannya. Dengan gerakan cepat dan senyap, ia melesat meninggalkan pintu itu, bersembunyi di sudut koridor di dekat tanaman hias besar, persis sebelum pintu ruangan Vice President terbuka.

Dari balik persembunyiannya, ia melihat Renzi dan Herry keluar. Renzi tampak sempurna. Setelan jas abu-abu gelap yang dibuat khusus, duduk sempurna di tubuh atletisnya. Wajahnya yang tampan dan tajam itu menyimpan senyum tipis yang misterius. Matanya, yang sering memandangnya dengan "kehangatan", kini terlihat dingin dan kosong. Dia adalah sosok yang licik dan dingin, dan Karmel baru menyadari betapa dalamnya samaran itu.

Saat mereka berjalan menjauh, menuju lift eksekutif, Karmel baru berani menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya gemetar, tetapi bukan karena sedih lagi. Api amarah mulai menggantikan rasa sakit itu.

Dia, Karmel Agata, yang cantik, cerdas, dan pemberani, telah dipermainkan. Tapi dia bukanlah wanita yang akan diam dan meratapi nasib. Di balik air mata yang akhirnya menetes satu-satu, membasahi pipinya yang mulus, tekad baru mulai mengkristal.

Renzi Jayawardhana mungkin mengira dia hanya sekadar "teman tidur". Tapi dia salah. Dia telah membangunkan singa betina yang terluka di dalam dirinya.

Dia kini tahu segalanya. Dan bagi seorang wanita cerdas seperti Karmel, pengetahuan adalah senjata yang paling mematikan. Permainan baru saja dimulai.

***

Minggu-minggu berikutnya di lantai 40 Gedung Jaya Mining Group (JMG) diwarnai oleh perubahan yang halus namun tajam bagai silet. Karmel Agata berubah menjadi hantu yang elegan. Dia hadir tepat waktu, menyelesaikan tugasnya dengan presisi yang sempurna, namun aura hangat yang dulu pernah memancar darinya telah lenyap, digantikan oleh kabut dingin yang nyaris terlihat.

Di dalam ruang rapat, saat Renzi memimpin presentasi dengan kecerdikan dan kharismanya, Karmel duduk di sampingnya, mencatat setiap poin dengan akurat. Namun, tatapan matanya yang dulu penuh kekaguman kini hanya tertuju pada layar atau notebook-nya. Tidak ada lagi senyuman kecil atau anggukan penyemangat. Ketika tangan Renzi tidak sengaja menyentuhnya saat mengambil dokumen, Karmel menarik tangannya dengan refleks yang cepat, hampir seperti tersengat listrik. Sebuah kedipan keheranan dan kejanggalan melintas di mata Renzi, tetapi Karmel sudah kembali fokus, wajahnya adalah topeng profesionalisme yang sempurna.

Di luar kantor, saat acara jamuan makan malam dengan klien penting, Karmel tetap menjadi sekretaris yang memukau. Gaunnya elegan, percakapannya cerdas, tetapi dia selalu menjaga jarak fisik. Jika Renzi mendekat untuk berfoto atau sekadar berbisik, Karmel akan dengan halus beralih perhatian, mengalihkan pembicaraan kepada klien, atau berpura-pura menerima panggilan. Sikapnya bukanlah ofensif, melainkan defensif yang sangat terkontrol.

---

Matahari Jakarta menyinari ruangan kerja mewah itu melalui dinding kaca, memantulkan bayangan dua orang yang saling berhadapan dengan emosi yang bertolak belakang.

"Pak Renzi, siang nanti ada jadwal meeting dengan beberapa Vendor IT," ujar Karmel, suaranya datar dan tenang bagai permukaan danau yang membeku. Dia berdiri tepat di depan meja kerjanya yang besar, menjaga jarak sekitar tiga meter, seolah-olah ada garis tak kasat mata yang tidak boleh dia langkahi.

Renzi, yang awalnya menatap layar komputernya, mengalihkan pandangannya. Matanya yang tajam, yang biasa menganalisis grafik saham dan kontrak rumit, kini memindai setiap inci dari diri Karmel. Dia berdiri perlahan dari kursi kulitnya, langkahnya tenang namun penuh intensitas seperti macan yang mulai mengendus mangsanya.

"Kenapa pakai 'Pak'? Kita lagi berdua kan, sayang," ujarnya, suaranya sengaja dibuat rendah dan menggoda. Tangannya yang terpelihara dengan baik terulur, hendak menyentuh pipi Karmel yang mulus.

Namun, seperti daun yang dihembus angin, Karmel bergeser mundur selangkah. Sentuhannya hanya mengenai udara. Wajahnya tetap netral, tapi ada kilatan keberanian dan penolakan di balik mata coklatnya.

"Kenapa, sayang? Ada yang pengen kamu beli? Bilang aja," ujar Renzi, tetap lembut, masih berusaha mendekat. Senyum tipisnya misterius, mencoba memecah pertahanannya seperti dulu. Bagi Renzi, semua wanita punya harga, hanya tinggal bagaimana cara membayarnya.

"Kalau sudah tidak ada keperluan lagi, saya mau keluar dulu, Pak," ujar Karmel, berusaha mengakhiri percakapan. Dia berbalik untuk pergi.

Tapi langkahnya terhenti. Lengan Renzi bergerak cepat, tangannya menggenggam pergelangan tangan Karmel dengan erat. Cengkeramannya kuat, penuh tuntutan. Wajahnya yang biasanya santai, kini menunjukkan retakan kecil. Egosinya yang besar tersentuh.

"Aku nggak suka diabaikan!" serunya, nada suaranya tiba-tiba menjadi dingin dan tajam, mencerminkan pribadi aslinya yang dingin dan mengendalikan.

Karmel menoleh, matanya membalas tatapan dingin Renzi tanpa takut. "Pak Renzi. Ini area kerja. Ini jam kantor," sindirnya, suaranya tetap tenang namun penuh makna. Dia tidak menarik tangannya dengan kasar, tapi ketegangan di tubuhnya jelas terasa.

Renzi mendecak, mencoba menelan rasa jengkelnya. Dia adalah seorang jenius dalam membaca situasi bisnis, tapi teka-teki yang bernama Karmel ini membuatnya frustrasi. "Kalau kamu mau sesuatu, bilang saja, sayang. Bukan ngambek begini," ujarnya, kembali berusaha lembut, tapi ada nada manipulatif di baliknya.

"Terima kasih, Pak Renzi, atas perhatiannya. Bisa tolong lepas? Saya harus kembali bekerja," nada Karmel tetap membeku, tak tergoyahkan.

"Oke... Oke... Kita bahas nanti sepulang kantor? Kamu mau aku booking kamar?" goda Renzi, mencoba senjata lamanya yang biasanya selalu berhasil.

"Maaf, Pak Renzi. Saya sibuk."

Kali ini, dengan tenaga yang cukup untuk melepaskan diri dari cengkeramannya, Karmel menarik tangannya. Dia berbalik dan berjalan keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi, meninggalkan Renzi sendirian di tengah kemewahan kantornya.

Pintu tertutup dengan bunyi 'klik' yang lembut, tapi bagi Renzi, bunyi itu seperti tamparan.

Dia berdiri di sana selama beberapa saat, wajahnya keruh. Otak jeniusnya yang licik itu berputar, menganalisis setiap variabel, setiap kata, setiap gestur, tetapi tetap tidak menemukan jawaban. Kemandirian dan penolakan Karmel adalah sebuah persamaan yang tidak bisa dia pecahkan. Dan hal itu membuatnya sangat, sangat jengkel.

Dengan gerakan kasar, dia mengambil ponsel mahalnya dari saku jas. Jarinya menekan satu nomor dengan cepat. Begitu sambungan terjawab, suaranya kembali ke nada yang dingin dan penuh perintah, maskulinitasnya yang terluka mencari pelampiasan yang mudah.

"Fano," ujarnya singkat, "Atur jadwal malam ini sama Mira."

Di ujung telepon, Fano mengiyakan dengan patuh. Bukan hal sulit bagi Renzi untuk mendapatkan wanita lain. Tapi, saat dia menutup telepon dan menatap kembali pintu yang tadi ditutup Karmel, ada rasa hampa yang aneh. Untuk pertama kalinya, kekayaan dan pesonanya terasa tidak cukup. Dan perasaan itu, baginya, adalah kelemahan yang tidak boleh dibiarkan.

1
Forta Wahyuni
jd males bacanya, pemeran wanitanya walau cerdas tpi tetap harga dirinya bisa diinjak2 oleh lelaki jenius tapi murahan.
muna aprilia
lanjut 👍
Forta Wahyuni
hebat Renzi bilang karmel murahan n dia tak tau diri krn tunjuk satu lg menunjuk tepat ke mukanya bahwa dia juga sampah. lelaki jenius tapi burungnya murahan n bkn lelaki yg berkelas n cuma apa yg dipki branded tapi yg didalam murahan. 🤣🤣🤣🤣
Forta Wahyuni
knapa critanya terlalu merendahkan wanita, harga diri diinjak2 n lelakinya boleh masuk tong sampah sembarangan. wanitanya harus tetap nerima, sep gk punya harga diri n lelaki nya jenius tapi burungnya murahan. 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!