NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Sang CEO

Istri Rahasia Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Seiring Waktu / Romansa / CEO
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Rienss

“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Apapun, Selain Senyum Tenang Itu

“Hey... Tara, kemarilah sebentar.”

Tara yang barusaja melangkahkan kaki memasuki loby Zeal industries pagi itu dikejutkan oleh suara seorang pria yang memanggilnya dari arah meja resepsionis.

Rico Septian, asisten pribadi CEO perusahaan itu. Pria dengan setelan jas hitam dilegkapi kacamata bulat itu berdiri menatap Tara.

Tara buru-buru mendekat. Begitu tiba di hadapan Rico, ia pun menunduk hormat.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Tara santun.

“Pagi,” balas Rico mengulas senyum. Pria itu lalu menuliskan sesuatu di buku kecil yang di bawanya. “Kamu masih ingat saya?” tanyanya melirik ke arah Tara.

“Tentu saja, Pak. Anda asisten pribadi Tuan Alan,” jawab Tara cepat .

Rico mengangguk. Ia lalu menutup bukunya dan kembali menatap Tara. “Selain itu?”

“Mmm...” tara tampak berfikir sejenak. Sebenarnya ia ingat dengan jelas bahwa Rico adalah pria yang datang ke rumahnya waktu itu untuk mencari dan membawa pergi Alan. Tapi ia sudah berjanji pada Alan untuk tidak mengungkit apapun yang berkaitan dengan masa lalu mereka di desa itu. Demi keamanan bersama.

“Saya... tidak yakin, Pak.”

Rico terkekeh kecil. “Masa tidak ingat. Saya kan yang ke rumahmu waktu itu,” ujarnya santai. “Yang menjemput Tuan Alan waktu itu. Ingat, kan?”

Tara tersenyum canggung, lalu mengangguk pelan. “I_iya, Pak. Saya... baru ingat.”

Rico yang tidak tahu apa-apa tentang hubungan Alan dan Tara menanyakan beberapa hal pada gadis itu. Obrolan mereka tampak begitu santai. Bahkan beberapa kali Tara tampak tertawa kecil mendengar gurauan pria itu.

Tara sungguh tidak menyangka, pria yang kemarin hari terkesan kaku bak kanebo kering saat menemaninya di dalam lift itu bisa terlihat santai seperti sekarang.

Saking larutnya dalam percakapan, keduanya sampai tidak menyadari keberadaan seseorang yang sejak beberapa detik lalu menatap kebersamaan mereka.

Alandra Hardinata.

Pria dengan setelan jas abu-abu yang baru saja menginjakkan kaki di lobby itu sempat menghentikan langkah dan menatap sekilas ke arah meja resepsionis tempat Tara dan Rico berbincang sebelum akhirnya berpaling cepat dan melanjutkan langkahnya menuju lift.

“Pak Rico...” suara pelan resepsionis membuat Rico menoleh.

Pegawai itu memberi isyarat memberi isyarat dengan tatapan mata ke arah CEO mereka. “Pak Alan,” ujarnya berbisik.

Rico menoleh cepat. Dan benar saja, ia melihat bossnya itu sudah melangkah menuju ke arah lift pribadi.

“Ah, baiklah... Tara, nanti kita sambung lagi, ya,” ucap Rico buru-buru. Ia sempat menepuk bahu gadis itu sebelum bergegas menyusul atasannya.

Tara hanya mengangguk. Ia pun ikut berbalik, menatap punggung Rico yang kian menjauh. Hingga pria itu terlihat berjalan setengah langkah di belakang pria berjas abu-abu.

Alan. Pria yang semalam membuatnya tak bisa tidur karena keputusan sepihaknya.

Semantara itu, Rico yang telah berada setengah langkah di belakang Alan memberanikan diri membuka suara.

“Selamat pagi, Tuan,” sapanya hati-hati. “Apa ada hal penting sampai Tuan datang sepagi ini ke kantor?”

Alan tidak langsung menjawab. Hanya terdengar helaan nafasnya yang berat.

“Tidak ada yang istimewa,” jawabnya datar, tanpa ekspresi.

Namun sebagai orang yang selama ini selalu berada di dekatnya, Rico tahu ada sesuatu tersirat di balik sikap tenang Alan itu. Sesuatu yang mungkin belum mau pria itu ungkapkan kepadanya.

Setibanya di ruang kerja CEO, Alan menjatuhkan diri di kursi kulit hitam di balik meja kerjanya. Sementara Rico yang berdiri tak jauh dari meja bersiap membacakan beberapa jadwal rapat yang harus dihadiri Alan hari itu dari tablet yang dipegangnya.

Sembari mendengarkan apa yang disampaikan Rico, Alan menyandarkan punggung ke kursi, sementara jemarinya bergerak perlahan memijit pelipis.

Gerakan kecil itu tak luput dari perhatian Rico. Ia sempat melirik sekilas, ragu apakah harus menawarkan istirahat sejenak atau melanjutkan laporannya.

Beberapa saat kemudian, Rinda sekretaris Alan masuk ruangan dengan sebuah nampan di tangan.

“Selamat pagi, Tuan. Ini kopi pahit yang Anda minta,” ujar wanita dengan blazer biru itu sopan.

Alan hanya mengangguk kecil, “Letakkan saja di situ,” sahutnya datar tanpa menoleh sedikitpun pada sang sekretaris.

Rinda sempat menoleh pada Rico sebelum akhirnya undur diri meninggalkan ruangan tersebut.

“Apakah Anda ingin saya undur saja rapat pagi ini, Tuan?” tanya Rico hati-hati begitu Rinda menghilang di balik pintu.

Alan menggeleng pelan. “Tidak perlu. Lakukan sesuai jadwal,” jawabnya datar.

Rico menunduk hormat sebelum mundur meninggalkan ruangan.

Begitu pintu tertutup, Alan meraih cangkir di hadapannya. Ia menatap cairan hitam di dalamnya beberapa detik sebelum menyesapnya perlahan.

Pahit. Tepat seperti pikirannya pagi ini.

Bahkan aroma kopi yang biasanya bisa sedikit menenangkan, kali ini sama sekali tak mampu mengatasi hati Alan yang tengah gusar.

Dan hari itu terasa berjalan tanpa arah bagi Alandra Hardinata.

Setiap rapat yang ia hadiri, setiap laporan yang ia baca, semua seperti deretan angka tanpa makna. Fokusnya berantakan.

Bahkan ketika salah satu direktur bertanya pendapatnya tentang proyek baru dalam rapat tadi, Alan hanya menatap kosong beberapa detik sebelum memberikan jawaban sekenanya. Membuat beberapa direktur sempat salin pandang.

Entah kenapa, sejak ia pertemuannya kembali dengan Tara, wajah gadis desa itu terus saja muncul di benaknya. Kadang samar, kadang juga terlalu jelas hingga membuatnya menghela napas panjang tanpa sadar.

Bahkan semalam ia sama sekali tak bisa memejamkan mata hanya karena bayangan wajah gadis kecil itu terus saja mengganggunya. Ia benci efek itu, benci bagaimana satu nama itu, satu sosok yang setahun belakangan sama sekali sudah ia lupakan, kini bisa membuat pikirannya kacau sedemikian rupa.

Menjelang sore, setelah pertemuan penting dengan salah satu klien besar di hotel bintang lima di pusat kota, Alan sengaja kembali ke kantor terlebih dahulu untuk mengambil sesuatu. Langit sudah mulai merona jingga ketika kakinya melangkah masuk di pintu lobby utama.

Namun, langkah Alan seketika terhenti ketika pandangan matanya menangkap sesuatu dari arah pintu lift yang barusaja terbuka.

Dirga dan Tara.

Keduanya tampak berbicara ringan di selingi tawa kecil. Dirga menunduk sedikit, menunjukkan sesuatu di ponsel yang digenggamnya, sementara Tara terlihat mencondongkan tubuh, memperhatikan layar itu sebelum berkomentar sambil tersenyum kecil.

Tapi bukan percakapan mereka yang mengganggu Alan. Bukan juga fakta bahwa keduanya tampak begitu serasi dalam pandangannya.

Tapi... keakraban itu.

Cara Dirga, adik kandungnya itu menatap Tara dengan senyum hangat, juga cara Tara membalasnya, entah kenapa semuanya terasa menusuk di hati Alan.

Rahangnya menegang, kedua tangannya yang mengepal di sisi tubuh tanpa sadar.

“Kupikir Abang akan langsung pulang setelah pertemuan.” Suara Dirga memecah ketegangan, disertai langkahnya yang menghampiri Alan bersama Tara di sisinya.

Alan tak segera menjawab, matanya sempat menatap Tara beberapa detik lebih lama.

“Ada yang harus Abang ambil sebelum pulang,” jawabnya datar.

Dirga mengangguk ringan. “Oh iya, Bang. Tadi kak Lira nelpon aku, katanya ponsel Abang susah di hubungi,” ujarnya santai. “Dia titip dibelikan cheese cake di toko biasa.”

Alan tak segera menanggapi. Pandangannya justru kembali beralih pada Tara begitu nama Lira disebut oleh Dirga. Entah kenapa ia justru lebih tertarik dengan bagaimana reaksi gadis itu saat mendengar nama istrinya.

Namun yang ia dapati, Tara hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya menunduk. Dan bagi Alan, senyum itu justru terasa menampar.

Entah kenapa bagian dirinya yang paling dalam menolak ketenangan yang ditunjukkan oleh gadis itu. Ia ingin melihat sesuatu yang lain dari Tara.

Apapun, selain senyum tenang itu.

1
Rahmat
Dirga rebut tara dr pria pengecut seperti alan klau perlu bongkar dirga biar abang mu dlm masalah
Rahmat
Duh penasaran gimana y klau mrk bertemu dgn tdk sengaja apa yg terjadi
ida purwa
nice
tae Yeon
Kurang greget.
Rienss: makasih review nya kak. semoga kedepan bisa lebih greget ya
total 1 replies
minsook123
Ngakak terus!
Rienss: terima kasih dah mampir kak. Salam kenal dan semoga betah baca bukuku ya🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!