Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekecewaan Naya
Arjuna terdiam. Gerakan tangannya yang hendak menyuap terhenti begitu saja. Garpu itu membeku di tangannya, beberapa senti dari piring.
Keheningan yang tiba-tiba jatuh di meja makan itu terasa lebih dingin daripada AC di ruangan.
Dia menatap Naya. Bukan soal kontrasepsi itu sendiri yang membuatnya terkejut. Itu soal... konsekuensi. Fakta bahwa tindakannya semalam—tindakan impulsif yang didorong oleh gairah dan ego—kini memiliki potensi yang jauh lebih rumit daripada sekadar taruhan.
Amarah seketika menyelinap di benaknya. Dia menilainya. Apa wanita ini sengaja menjebaknya? Tapi saat dia melihat wajah Naya, dia tidak melihat kelicikan. Dia hanya melihat kegugupan yang jujur, sepasang mata yang menatapnya dengan takut-takut, seolah menunggu vonis.
Dia meletakkan garpunya dengan pelan. Suara denting perak di atas keramik terdengar memekakkan telinga.
"Kenapa kamu tidak bilang dari awal?" suaranya kembali dingin. Sedingin es. Jauh lebih dingin daripada sikapnya di kantor, atau bahkan sikapnya tadi malam sebelum mereka...
Naya tersentak mendengar nada bicara itu. "Aku... aku tidak terpikir..."
"Tidak terpikir?" Arjuna mendengus. Dia mendorong kursinya ke belakang dan berdiri. Nafsu makannya hilang sudah. "Hal seperti itu harusnya kamu pikirkan, Naya."
Hati Naya yang tadi sempat menghangat karena sarapan dan makan siang bersama, kini kembali mencelos. Tentu saja. Bodohnya dia sempat berharap.
"Maaf," cicitnya sambil menunduk.
Arjuna menatap puncak kepala wanita itu. Perasaan aneh yang muncul pagi tadi—perasaan ingin melindungi—kini bergejolak, berganti dengan frustrasi. Dia kesal pada Naya karena membuat ini jadi rumit. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia lebih kesal pada dirinya sendiri. Kenapa dia harus pulang? Kenapa dia tadi pagi memeluknya? Kenapa dia membuatkan sarapan?
Dia bertindak di luar karakter, dan itu membuatnya merasa lemah.
"Aku kembali ke kantor," katanya, memotong keheningan yang canggung. Dia meraih jasnya yang tersampir di kursi.
Naya mendongak, matanya sedikit basah. "Mas..."
"Aku akan pulang larut malam ini," lanjut Arjuna, mengabaikan tatapan Naya. Suaranya datar, seolah memberikan instruksi pada bawahan. "Ada urusan. Jangan tunggu aku. Makan malam duluan, lalu tidur."
Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan melangkah pergi. Suara pintu depan yang ditutup dengan tegas menyadarkan Naya bahwa dia kembali sendirian.
Naya duduk termangu di meja makan. Makanan yang dibawa Arjuna nyaris tak tersentuh. Dia bingung. Sangat bingung. Pria itu berubah-ubah seperti cuaca. Pagi tadi dia hangat, penuh perhatian, bahkan lembut. Siang ini, dia pulang untuk makan siang. Tapi begitu Naya menyebut soal kontrasepsi, dia kembali menjadi gunung es.
Naya menghela napas panjang. Anehnya, dia tidak merasa takut. Dia hanya merasa lelah. Tapi dia teringat pada janjinya sendiri. Baginya, selama Arjuna tidak menyakitinya, dia akan baik-baik saja. Dia bisa menahan sikap dingin ini.
***
Di kantor, lift berdenting membuka di lantai eksekutif. Arjuna melangkah keluar dengan aura membunuh. Wajahnya kaku, langkahnya cepat.
"Pak Arjuna," sapa sekretarisnya, sedikit kaget melihat atasannya kembali secepat ini.
Arjuna hanya mengangguk singkat dan langsung masuk ke ruangannya. Dan di sanalah mereka.
Bram dan Ferdi, dua sahabat sekaligus rekan bisnisnya, sedang duduk santai di sofanya.
"Nah, ini dia pengantin baru!" seru Ferdi, menyeringai lebar. "Kami tunggu dari tadi. Ayo makan siang, kita sudah pesan tempat di—"
"Aku sudah makan," potong Arjuna dingin, melempar tas kerjanya ke meja.
Bram mengangkat alis. "Sudah makan? Di mana? Jam segini? Sendirian?"
"Di luar," jawab Arjuna singkat. Dia membuka kancing jasnya dan duduk di kursi kerjanya, pura-pura sibuk memeriksa tumpukan dokumen. Dia berbohong, dan dia tahu itu adalah kebohongan yang payah.
Ferdi dan Bram saling pandang. Mereka sudah berteman puluhan tahun. Mereka tahu kapan Arjuna berbohong.
"Di luar mana?" desak Bram, kini berdiri dan berjalan ke meja Arjuna. "Sejak kapan seorang Arjuna makan siang sendirian jam dua belas tepat, padahal kita ada janji?"
"Aku ada urusan," ketus Arjuna.
"Urusan apa?" Ferdi ikut mendekat. "Jangan bilang... urusan rumah tangga?" Dia menaikkan nada suaranya di dua kata terakhir, seolah menggoda.
Arjuna memijat pelipisnya. Sial. Dia sedang tidak ingin diganggu. Pikirannya sudah penuh oleh Naya dan 'masalah' baru yang mungkin ditimbulkannya.
"Diamlah kalian," geramnya.
"Wah, wah, sepertinya ada yang salah tingkah," tawa Bram. "Ayolah, Juna. Jujur saja. Kamu makan di mana?"
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin