 
                            Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 TIDAK SEDERHANA
Sore harinya, Max mengajak Ansel untuk berendam di kolam air hangat yang ada di penginapan Bugenvil. Max juga mengajak Bannesa. Namun, anak itu menolak dan mengatakan bahwa dia ingin segera pulang. Max tidak
memaksa. Akan tetapi, wajah Ansel kembali muram ketika Bannesa pergi. Kolam air hangat yang Max pilih berada di ruang pribadi. Jadi tidak ada siapapun di sana. Setelah menaruh Ansel di kolam dengan air mengeluarkan asap itu, Max segera menanggalkan pakaian dan ikut masuk ke sana.
Max menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya pada tepian kolam. Ansel sesekali menyelam
dan timbul di permukaan dengan mulut terbuka lebar. Max hanya menyaksikan dengan diam. Sudah lama Max tidak merasa sesantai ini. Semua beban di pikiran Max sebelumnya juga perlahan terangkat. Rasa lelahnya pun
berangsur menjadi rasa nyaman karena kehangatan air di kolam ini. Cukup lama Ansel menyelam dan timbul, dia pun merasa bosan. Secara perlahan dia mendekat dan duduk di
pangkuan sang ayah. Max yang sudah memejamkan mata sedikit terkejut dengan gerakan bocah itu. Namun, dia tidak mengusirnya. Max membiarkan bocah itu berbaring di dadanya.
"Ayah ... kamu adalah Ayahku," ucap Ansel dengan nada lirih. Max yang tadinya memejam, kembali membuka mata dan menurunkan pandangan menatap Ansel dengan tatapan rumit.
"Tapi kamu tahu aku bukan ayah kandungmu," kata Max menanggapi. Namun, reaksi Ansel membuat Max semakin bingung. Bocah itu menggeleng di dadanya.
"Tidak. Ayah adalah ayahku. Mungkin Ayah melupakanku karena telah banyak mengalami berbagai hal sulit. Aku berjanji akan berusaha membuat Ayah mengingatku." Ucapan Ansel semakin terdengar lirih. Bahkan Max dapat menangkap salah satu sudut mata bocah itu mengeluarkan cairan bening yang mengalir di pipinya. Perkataan Ansel membuat Max semakin bingung. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Max juga tidak mengerti mengapa Ansel bersikeras bahwa dia adalah ayah kandungnya.
Max ingin memikirkan hal sederhana seperti mungkin Ansel menganggapnya sebagai ayah kandung karena dialah orang pertama yang dilihat bocah itu ketika menetas dari telur emas. Namun, Max merasa ada janggal dari ucapan bocah itu.
"Ansel apa maksudnya aku melupakanmu? Apa kita pernah
bertemu sebelumnya?" tanya Max sembari mengusap punggung bocah kecil itu dengan lembut. Ansel tidak menjawab. Namun, air mata semakin deras mengaliri kedua
belah wajahnya. Akan tetapi, dia tidak terisak-isak seperti biasa. Kali ini, bocah itu menangis dalam diam. Dia berdiri dengan kaki menginjak paha sang ayah, lalu dengan cepat memeluk dan membenamkan wajah di leher ayahnya. Max terkejut dengan tindakan Ansel. Belum sempat dia berkata, Ansel sudah mengatakan sesuatu yang membuat Max terdiam dengan napas tercekat di tenggorokan.
"Ayah, kelahiran kembalimu tidak sesederhana yang kamu pikirkan. Ini adalah kesempatan terakhir. Maka dari itu, kamu harus
•...
Setelah mengatakan hal itu, Ansel tertidur masih dalam posisi memeluk erat leher sang ayah. Max sendiri bungkam seribu bahasa. Otalk pemuda itu tak henti-hentinya bekerja.
Mencoba berpikir dan mencerna keras mengenai apa yang baru saja Ansel katakan padanya.
Masih diliputi kebingungan, Max dengan linglung keluar dari kolam air hangat dengan Ansel di dalam gendongan. Dia ingin bertanya lebih lanjut kepada bocah kecil itu. Namun,
Ansel tertidur lelap bahkan tanpa menimbulkan gerak.
Berusaha mengubur kebingungan di dalamn hati, Max akhirnya kembali ke akal sehatnya. Dia segera menyeka tubuh Ansel dengan handuk, membungkus bocah itu dengan kain lembut hingga menyisakan kepala, lalu max meletakkannya di atas kursi kayu panjang. Tak lupa Max melipat handuk untuk menjadi bantalan yang dia selipkan di bawah kepala Ansel. Setelah memastikan bocah itu aman dan masih bernapas dengan baik, Max membersihkan tubuhnya lalu kembali mengenakan pakaian. Sekali
lagi dia menatap Ansel dengan tatapan dalam. Ucapan bocah itu terus terngiang di benaknya. Max tidak menyangka Ansel tahu mengenai kelahiran kembalinya.
Terlebih dari itu, dia semakin penasaran dan dibuat bingung karena Ansel mengatakan bahwa dia adalah ayah kandung anak itu. Max tidak mengerti. Jelas, di kehidupan sebelumnya Max tidak pernah menikah, apalagi mempunyai seorang anak.
"Ansel, siapa kamu sebenarnya?" tanya Max secara retoris. Nadanya lirih dan dalam. Selain mirip dengan wajahnya, Max menemukan fakta bahwa wajah Ansel juga terlihat mirip dengan seorang yang hanya pernah ia lihat sekali di kehidupan sebelumnya. Namun, Max tidak berani menyimpulkan secepat itu. Semua yang dikatakan Ansel masih menjadi sebuah misteri besar. Max akan menguaknya
secara perlahan. Setelah pikirannya tenang, Max menggendong Ansel dengan hati-hati dan menmbawanya ke kamar. Malam harinya ketika Ansel bangun dari tidur,
Max mencoba bertanya pada anak itu tentang apa yang dia bicarakan ketika berada di kolam air hangat. Namun, reaksi Ansel hanya mengerutkan kening, tampak kebingungan dengan pertanyaan sang ayah.
"Ayah, apa yang kamu tanyakan? Aku tidak mengerti," ucap bocah itu ketika Max bertanya. Max hanya menghela napas singkat dan tidak lagi bertanya. Max tidak tahu, apakah Ansel pura-pura tidak mengingat pembicaraan itu atau dia
memang telah melupakannya dengan begitu mudah.
***
Tiga hari kemudian, Max dan Tuan Alfons telah menyelesaikan transaksi pembelian mension bekas kediaman keluarga Marquees Rozan. Surat-surat pengalihan properti sudah diserahkan kepada Max dan Tuan Alfons pun telah menerima empat kotak kayu besar berisi koin emas. Proses berlangsung dengan cepat. Kini mension besar itu
telah menjadi milik Max dan keluarganya.
Kaki Riana bahkan nyaris melunak ketika Max menghentikan kereta kuda di depan Mension mewah. Max mengatakan bahwa ini adalah rumah baru mereka. Riana sekali lagi tak tahu harus berkata apa. Ini jauh di luar perkiraan. Dia pikir Max akan membeli rumah sederhana yang sedikit lebih
bagus daripada rumah mereka sebelumnya, tapi ini sebuah mension. Kediaman besar yang tidak pernah Riana impikan sebelumnya.
"Max, berhenti membuat Ibumu jantungan dengan hal-hal tak terduga seperti ini," ujar Riana sembari menggeleng tak habis pikir. Entah dari mana putranya mendapatkan banyak
uang hingga mampu membeli mension sebesar ini. Riana nyaris gila ketika memikirkannya. Max hanya tersenyum kecil ketika mendengar keluhan ibunya. "Ibu harus terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Di masa depan, kehidupan kita akan jauh lebih baik daripada sebelumnya." Riana hanya bisa menghela napas lelah. Sampai detik ini, entah mengapa
dia mulai meragukan sang putra. Max saat ini jelas berbeda dengan Max yang sebelumnya. Sebagai ibu yang melahirkan dan merawat Max, Riana tahu sifat dan sikapnya. Namun, kini, semua sifat dan sikap yang Riana
ketahui itu telah menghilang, tergantikan oleh Max dengan
kepribadian baru seperti ini. Merasa sang ibu menatapnya
dengan semakin intens, Max menoleh menatap ibunya. "Bu, jangan menatapku seperti itu. Jangan juga berpikir terlalu banyak. Sudah sepantasnya kita tinggal di tempat mewah seperti ini. Aku tidak akan membiarkanmu kembali menderita." Riana tertegun untuk beberapa saat. Namun, dia tidak lagi berkata apa-apa. Wajah Max saat ini benar-benar
mengingatkannya akan seseorang di masa lalu. Perawakan dan wataknya nyaris sama. Tegas dan juga berwibawa.
Riana curiga putranya sudah mengetahui identitasnya yang
sebenarnya, maka dari itu Max mengatakan bahwa mereka pantas tinggal di tempat mewah seperti mension ini. Namun, Riana tidak mau memikirkannya. Dia hanya berharap
semoga Max tidak pernah tahu mengenai kebenaran itu.
Setelah berdiri cukup lama di depan gerbang mension, Max pun mengajalk ibunya untuk segera masuk. Riana mengikuti tanpa mengatakan apapun. Dia hanya mengambil Ansel dari gendongan sang putra. Max sendiri menuntun kereta kudanya dengan perlahan. "William, lihatlah. Semakin
dewasa, dia semakin terlihat mirip sepertimu," ujar Riana di dalam hati, sembari menatap sendu punggung lebar sang putra yang berjalan di depannya.
