Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penjelasan rasa yang harus nya gak ada
Langkah Rafka terhenti di lorong sempit menuju tangga darurat. Dinding bata ekspos di sisi kanan terasa dingin, tapi dadanya justru terasa panas. Napasnya berat, bergetar, penuh amarah yang bahkan ia sendiri tak tahu harus diarahkan ke siapa.
Bayangan tadi tak mau hilang dari kepalanya.
Viora. Di pelukan cowok lain.
Dan bukan sekadar pelukan biasa—dari jarak itu, dari sorot mata mereka, dari posisi tubuh yang terlalu dekat... Terlalu intim. Terlalu menyakitkan.
Rafka mengepalkan tangan, lalu meninju dinding sekuat tenaga. Suara benturan menggema, meninggalkan retakan kecil di kulit jarinya. Tapi rasa sakit itu tak cukup untuk menghapus sesak di dadanya.
“Kenapa, Vio…” bisiknya parau. “Kenapa rasanya sesakit ini waktu liat lo di pelukan orang lain, bukan gue. Padahal gue sendiri yang bikin semuanya serumit ini.”
Ia menunduk, menatap lantai yang kini ditetesi darah dari buku jarinya.
Suara langkah sepatu hak terdengar dari belakang.
“Raf…”
Rafka menoleh setengah hati. Sosok tinggi bergaun merah maroon berdiri di ujung lorong—Friska Anatasya, gadis yang belakangan sering terlihat bersamanya. Cantik, modis, dengan tatapan lembut yang kali ini diselimuti kekhawatiran.
“Gue nyari lo dari tadi,” ucap Friska pelan sambil melangkah mendekat. “Gue liat lo keluar dari lounge kayak dikejar setan. Lo kenapa?”
Rafka tak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, lalu bersandar ke dinding, menatap kosong ke lantai. “Gue cuma…” ucapannya menggantung di udara.
“Vio, ya?” suara Friska lembut tapi penuh penekanan.
Tatapan singkat dari Rafka sudah cukup untuk menjawab tanpa kata.
Friska menatapnya lama. “Dia udah move on, Raf. Dan lo juga harusnya begitu. Jangan terus nyiksa diri lo sama bayangan yang udah gak nyata.”
“Gue gak nyiksa diri,” sahut Rafka cepat. “Gue cuma—”
Ia terdiam di tengah kalimatnya. Napasnya tercekat.
“Gue cuma gak nyangka, Frisk. Dia segampang itu bisa sama orang lain. Padahal belum lama hubungan kita berakhir.”
Friska menatapnya dalam. “Bukannya itu yang lo mau? Atau mungkin… itu cara dia buat berhenti jadi korban.”
Ucapan itu menancap dalam.
Hening. Kata-kata Friska menggema di kepalanya—perih, tapi benar.
Friska melangkah lebih dekat, menyentuh pelan pergelangan tangannya yang berdarah. “Udah. Jangan bikin drama di tempat kayak gini. Gue bawa plester di mobil. Yuk, turun dulu.”
Rafka menatap wajah Friska—mata gadis itu jernih, tulus, tanpa sisa luka masa lalu. Berbeda dari Vio.
Tapi entah kenapa, justru itu yang membuat dadanya semakin sesak.
Akhirnya, ia mengangguk pelan.
Mereka berjalan beriringan menuju lift, meninggalkan lorong sempit itu—meninggalkan jejak darah kecil di dinding yang perlahan mengering.
°°°
Sisi Lain — Toilet Area
Beberapa menit kemudian, Zea berdiri mematung di depan cermin. Bukan karena menangis, tapi karena menahan gelombang emosi yang campur aduk di dada.
“Goblok,” gumamnya lirih. “Lo bener-bener goblok, Zea.”
Ia menatap pantulan dirinya yang berantakan. Lip gloss-nya pudar, mata sedikit bengkak. Tapi bukan itu yang mengusiknya—melainkan perasaan bersalah yang aneh.
Kenapa dia peduli?
Kenapa hatinya bergetar waktu melihat Rafka di sana, mematung dengan tatapan hancur?
Padahal, seharusnya dia yang paling berhak marah.
Dia yang dulu dikhianati. Dia yang disakiti.
Tapi sekarang…
Justru rasa bersalah itu yang menyeretnya turun lagi, ke masa lalu yang seharusnya sudah mati.
Langkahnya sempat hendak mengejar punggung Rafka yang menjauh—niatnya hanya satu: menjelaskan semuanya, agar kesalahpahaman tadi tak memperpanjang luka yang tak perlu.
Namun sebelum ia sempat mendekat, matanya menangkap Rafka di lorong sepi dekat tangga—bersama Friska.
Langkah Zea otomatis terhenti.
Senyum getir muncul di bibirnya, lebih seperti menertawakan kebodohannya sendiri. Ia berbalik cepat sebelum kehadirannya disadari mereka.
Kali ini, ia melangkah masuk ke toilet yang benar—toilet wanita. Ia menatap refleksi dirinya di cermin.
“Ngapain, Zea? Lo mau ngejelasin apa?” katanya lirih, pada dirinya sendiri. “Dia udah punya hidupnya. Dan lo juga. Lo gak utang apa-apa sama dia.”
Hening.
Zea menunduk, menutup matanya rapat-rapat. Air mata yang sempat reda menetes lagi.
“Lo harusnya udah selesai sama semua ini…” suaranya pecah pelan. “Tapi kenapa lo masih kalah sama hati lo sendiri?”
Ia tertawa kecil—getir, lelah, seolah mengejek dirinya sendiri.
“Viora udah mati. Jadi jangan terus ngidupin dia, Zea.”
Dengan langkah berat, Zea meninggalkan toilet itu.
Koridor lounge sudah mulai lengang, musik pelan mengiringi langkahnya menuju lift.
Begitu pintu lift terbuka, pantulan dirinya di dinding metal menatap balik—dingin, kosong, tapi kali ini tanpa air mata. Ia menarik napas panjang.
“Udah cukup.”
Pintu lift tertutup. Gemerlap lampu rooftop perlahan menghilang, meninggalkan bayangan seorang gadis yang berusaha menenangkan badai di dalam dirinya sendiri.
Langit Jakarta malam itu kelabu. Kelap-kelip lampu kota memantul di kaca mobil yang melaju tenang di jalanan Sudirman. Dari balik jendela, Zea menatap kosong keluar—pikirannya melayang jauh, jauh dari hiruk-pikuk malam dan alunan musik lembut di dalam kabin.
Tangannya dingin. Napasnya berat.
Setiap kali memejamkan mata, potongan adegan di toilet tadi kembali menghantam kepalanya—tatapan Rafka, wajahnya yang terkejut, lalu suara lirih itu.
“Vio…?”
Zea menggeleng cepat, seolah ingin menghapus semuanya. “Bodoh… kenapa gue harus peduli?” gumamnya pelan. Tapi suaranya nyaris tenggelam di antara deru mesin mobil.
Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Zea menatap bangunan bergaya modern di depannya. Rumah yang selalu tampak hangat dari luar, tapi malam ini terasa asing—seperti tempat yang hanya ingin ia masuki untuk bersembunyi.
Lampu ruang tengah menyala lembut saat ia membuka pintu. Aroma vanilla bercampur wangi masakan rumahan menyambutnya.
“Zee?” suara lembut datang dari arah dapur. Claretta, ibunya, berjalan keluar sambil membawa secangkir teh. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya penuh kehangatan yang selalu menenangkan.
“Kamu baru pulang, Sayang? Tumben malam banget,” ucapnya lembut, ada nada khawatir di dalamnya.
Zea tersenyum kecil, berusaha tampak biasa. “Tadi nongkrong bentar sama anak-anak, Ma.”
Claretta mengangguk, menatap wajah putrinya lebih lama. “Capek, ya?”
“Sedikit,” jawab Zea pelan.
Dari arah tangga, suara langkah cepat terdengar.
“Zee! Mau nonton? Drama favorit lo udah tayang!”
Zevan muncul dengan ekspresi antusias, rambutnya sedikit berantakan.
Zea tersenyum samar. “Besok aja, Zev. Gue capek.”
Ekspresi Zevan langsung berubah. Ia menatap ibunya sebentar, lalu mengangguk pasrah.
“Oke. Good night, Zee,” katanya pelan.
“Night too,” balas Zea singkat sambil menaiki tangga.
Tatapan Zevan masih mengiringinya.
Gadis itu benar-benar bukan Viora yang dulu mereka kenal.
Claretta hanya menghela napas pelan.
°°°
Di lantai dua, Zea memasuki kamarnya. Suasana hening menyambut—cahaya redup dari lampu meja, udara dingin, dan dirinya yang masih duduk di tepi ranjang dengan jaket kulit yang belum sempat dilepas.
Ia membuka topi, meletakkannya di meja rias. Bayangan di cermin memperlihatkan wajah lelah, mata memerah, dan senyum yang bahkan tak bisa lagi ia paksakan.
“Udah cukup, Zee,” katanya pelan pada diri sendiri. “Jangan biarin masa lalu ngatur lo lagi.”
Namun begitu ia menutup mata, bayangan Rafka kembali muncul—suara tawanya, tatapannya yang dulu penuh cinta, genggaman tangannya saat hujan pertama kali mereka lalui bersama.
Dan akhirnya—malam itu, saat semuanya runtuh.
“Viora cuma formalitas, biar gak ada yang curiga sama hubungan kita.”
Kalimat itu terngiang jelas, begitu menyakitkan.
Zea membuka mata cepat, menahan napas. Dadanya sesak, tangan kanannya mengepal kuat.
Ia berdiri, berjalan ke arah jendela besar kamarnya, menatap keluar ke kota yang masih menyala. Lampu-lampu itu tampak jauh—seolah tak peduli pada kekacauan kecil di dalam dadanya.
“Kenapa gue harus ngerasa bersalah, padahal gue gak salah apa-apa?” suaranya serak, nyaris seperti bisikan. “Dia yang berkhianat. Dia yang nyakitin. Tapi kenapa gue yang terus merasa kalah?”
Hening.
Satu tetes air mata jatuh di punggung tangannya. Zea tersenyum getir, menghapusnya dengan kasar.
“Apa karena cinta gue yang terlalu dalam?”
Ia menatap langit malam—gelap, tanpa bintang.
Namun di balik suaranya yang bergetar, ada tekad yang pelan-pelan tumbuh kembali.
“Mulai malam ini, gak ada lagi air mata buat Rafka. Gak ada lagi penyesalan. Kalau dia bisa hidup tenang, gue juga bisa. Dan gue bakal buktiin itu.”
Zea memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu berbaring perlahan di ranjang. Lampu kamar tetap menyala, seolah ia takut kegelapan membawa mimpi buruk masa lalu kembali menghampiri.
Sebelum tertidur, pikirannya masih sempat berbisik lirih.
“Gue bukan Viora lagi. Gue Zea. Dan gue bakal belajar buat gak jatuh lagi—sama siapa pun.”
****
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶