NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 Melukai Hatinya

Alex belum menemukan guru yang cocok untuk Daisy. Hari ini, ia meminta putrinya tetap pergi ke sekolah sementara, sampai guru pribadi yang ia inginkan benar-benar tersedia.

Karena pagi itu Alex harus berangkat lebih awal untuk urusan perusahaan, ia menitipkan Daisy pada Edgar.

Namun, Daisy menolak. Ia tidak ingin ke sekolah.

Bukan karena malas, tapi karena takut — takut jika teman-temannya akan membicarakan hal buruk tentang Ayahnya.

“Ayah sudah mengizinkanku berhenti sekolah,” katanya lembut pada Edgar, menatap dengan wajah polos seperti biasanya. “Ayah bilang aku bisa mulai lagi nanti, setelah dia menemukan guru untukku.”

Selama ini Daisy tak pernah berbohong. Karena itu, Edgar percaya dan tak menaruh curiga sedikit pun.

Dan karena ia tetap ingin melakukan sesuatu yang baik hari itu, Daisy meminta Edgar mengantarnya ke panti milik Ibunya.

Di sanalah, di antara anak-anak panti, Daisy merasa aman. Tidak ada yang menatapnya dengan tatapan iba atau berbisik-bisik tentang keluarganya. Di sana, semua orang mengenalnya sebagai Daisy, teman mereka.

Saat ia tiba, anak-anak lain sedang belajar di aula. Daisy bergabung dengan cepat, membuka buku catatan kecilnya, dan ikut duduk di barisan depan. Tawa dan canda di ruangan itu perlahan menghapus resah di dadanya.

Tak lama, Irish datang berkunjung. Ia baru saja selesai di toko dan memutuskan mampir karena rindu. Sudah lama sekali Eve tak datang ke panti, dan kunjungan terakhirnya pun tanpa membawa anak-anak.

Begitu melihat Daisy, Irish langsung memeluknya erat.

“Daisy … aku rindu sekali padamu!” serunya dengan senyum lebar.

“Irish,” jawab Daisy pelan, ikut tersenyum. “Aku juga senang bertemu denganmu.”

Irish melepaskan pelukan itu, lalu duduk di samping Daisy sambil menatap sekitar. “Di mana Damien?” tanyanya antusias, menoleh ke sekeliling seolah mencari sosok itu.

Daisy menunduk, jari-jarinya menggenggam ujung buku. “Dia tidak di sini lagi. Ibu dan Damien tinggal di Regalsen sekarang.”

“Regalsen?” Irish terperangah. “Kenapa jauh sekali? Lalu kamu?”

“Damien sakit,” jawab Daisy lirih. “Dia harus dirawat di sana dalam waktu lama.”

Irish terdiam sejenak, wajahnya melunak. “Jadi kalian berpisah sekarang? Kau tinggal di sini dengan Ayahmu saja?”

Daisy mengangguk pelan, bibirnya mengerucut kecil.

“Oh, maaf,” ujar Irish lembut sambil merangkul bahunya. “Aku tidak bermaksud membuatmu sedih. Tapi aku yakin Damien pasti juga rindu padamu. Setelah dia sembuh nanti, kalian pasti akan bersama lagi.”

“En.” Daisy hanya menggumam, menatap ke bawah.

“Kakakmu itu anak yang hebat,” lanjut Irish dengan nada lembut tapi penuh semangat. “Dia sudah berjuang sejauh ini, dan aku yakin dia akan segera sembuh. Dulu, ada adik dari teman Ibumu yang sakit seperti Damien … tapi sayang sekali, dia tak tertolong karena tak mendapatkan donor jantung. Tapi Damien mendapatkannya, Daisy. Dia pasti akan segera sembuh.”

Daisy terdiam. Kata-kata itu menusuk halus tapi dalam.

Adik teman Ibu … tak tertolong karena tidak mendapat donor jantung?

Apakah yang dimaksud Irish itu … Shania?

“Irish,” tanyanya pelan, menahan degup jantung. “Siapa nama teman Ibu yang kau maksud?”

“Oh,” Irish tersenyum samar, seolah sedang mengenang masa lalu. “Dia bernama Shania. Dulu kami bekerja bersama, jauh sebelum toko Ibumu sebesar sekarang. Aku, Ibumu, dan Shania sering membuat kue bersama. Dia orang yang baik. Tapi setelah adiknya—Sella, meninggal, Shania tak pernah muncul lagi. Kami kehilangan kontak.”

Dunia Daisy seperti berhenti berputar sesaat.

Ternyata … Diana tidak berbohong.

Ternyata benar Ayahnya pernah menolak membantu Shania.

Dan jika semua itu benar—apakah sakit Damien … benar-benar karma seperti yang dikatakan Diana?

“Daisy, kenapa kau bengong?” Irish menatap gadis kecil itu yang tampak memandangi jauh ke arah taman panti.

“Irish, apa kamu tahu di mana rumah Shania?” tanya Daisy pelan.

Irish mengerutkan dahi. “Kenapa?”

“Tidak apa-apa … hanya saja, mungkin dia masih tinggal di rumahnya.”

Irish menggeleng lembut. “Tidak, dia sudah tidak tinggal di kota ini lagi. Aku sempat mencari tahu beberapa waktu lalu.”

Daisy terdiam. Jika saja dia tahu di mana Shania berada sekarang, mungkin dia bisa meminta maaf atas nama Ayahnya. Barangkali, dengan itu, Damien akan sembuh lebih cepat.

“Oh iya.” Irish memecah keheningan, “Kenapa kau tiba-tiba ada di sini? Bukannya kau seharusnya di sekolah?”

“Ayah akan mengatur homeschooling untukku,” jawab Daisy sopan. “Jadi untuk sementara, aku tidak bersekolah dulu.”

“Itu bagus.” Irish tersenyum, mencoba menenangkan hatinya yang entah kenapa ikut sedih. “Belajar privat akan membuatmu lebih tenang dan fokus. Mau ikut aku ke toko? Aku punya banyak kue untukmu di sana.”

“Aku akan mampir nanti, setelah pulang,” sahut Daisy.

Irish terkekeh kecil. “Kau anak yang manis.” Ia memeluk Daisy hangat, merasa ada sesuatu yang rapuh di balik ketenangan gadis itu. Kadang, Irish berpikir hidup Eve begitu sempurna—terlalu sempurna sampai sulit ia bayangkan beban yang disembunyikannya.

…..

Beberapa jam kemudian, wali kelas Daisy menghubungi Alex. “Pak, apakah Anda tahu kalau Daisy tidak hadir di sekolah hari ini?”

Alex tertegun. “Apa maksud Anda? Saya sudah memintanya tetap bersekolah sementara waktu.”

“Maaf, Pak. Kemarin Daisy sempat izin pulang lebih awal karena sakit perut. Tapi hari ini ia juga tidak masuk dan tidak memberi keterangan. Kami hanya khawatir sesuatu terjadi.”

Alex menghela napas berat. “Baik, terima kasih. Saya sedang di luar kota, tapi akan saya pastikan keadaannya.”

Begitu panggilan terputus, Alex menatap layar ponselnya lama. Dadanya terasa sesak—bukan karena kemarahan, tapi kecewa karena Daisy membohonginya sejauh ini.

“Tuan, ada masalah dengan Daisy?” tanya Rayyan, yang berdiri di sisi meja kerja.

Alex mengangguk kecil. “Dia tidak pergi ke sekolah. Padahal aku sudah bilang, tetaplah berangkat sampai aku menemukan guru untuk homeschooling. Tapi rupanya dia tidak sabar menunggu.”

Alis Rayyan berkerut. “Mungkin dia menghadapi sesuatu di sekolah, Tuan. Melihat sifat Daisy … saya rasa dia bukan tipe yang menikmati belajar sendirian.”

Alex terdiam sejenak. “Aku juga sempat berpikir begitu,” ujarnya perlahan. “Dan sekarang aku yakin. Ada sesuatu yang dia sembunyikan.”

Ia membuka ponselnya lagi, menekan nama Edgar.

Setelah mendapat kepastian bahwa Daisy berada di panti, Alex merasa sedikit lega. Setidaknya anak itu aman.

Namun, ada satu hal yang tidak memberinya ketenangan — alasan mengapa Daisy sampai berbohong.

Itu bukan sifat putrinya.

Dan jika ia memaksa Daisy bicara, gadis kecil itu hanya akan menutup diri dan berbohong lebih jauh lagi.

Malam itu Alex pulang sangat larut. Rumah sudah sunyi, hanya cahaya lembut dari lampu lorong yang menyambutnya.

Ia sempat membuka pintu kamar Daisy — gadis kecil itu sudah tertidur, wajahnya tenang di bawah selimut putih.

Alex berdiri lama di ambang pintu sebelum akhirnya menutupnya perlahan.

“Kita perlu bicara,” katanya dingin begitu melihat Edgar menunggu di ruang tamu.

Nada suaranya tenang, tapi mengandung ketegangan yang membuat udara di ruangan terasa berat.

Mereka masuk ke ruang kerja. Alex menatap Edgar lama, mata gelapnya memantulkan amarah yang tertahan.

“Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kemarin Daisy juga tidak mengikuti pelajaran di sekolah?”

Edgar menelan ludah sebelum menjawab, “Saya pikir Daisy sudah mengatakannya sendiri pada Anda, Tuan. Dia bilang akan membicarakannya dengan Anda malam itu.”

Alex menutup mata sejenak, berusaha menahan diri.

Daisy benar-benar sudah membohongi semua orang — dan pasti ada sesuatu yang berat hingga ia memilih melakukannya.

“Baiklah,” ucap Alex pelan tapi tegas. “Sekarang katakan apa yang tidak aku ketahui.”

Edgar menarik napas. “Sebenarnya … saat Daisy pergi ke rumah Noah waktu itu, saya menemukannya berlari keluar sambil menangis. Dia memohon agar saya tidak memberitahukan hal itu pada Anda, karena dia tak ingin membuat Anda khawatir. Katanya … dia hanya merindukan Ibunya.”

Alex terdiam, rahangnya menegang.

“Lalu,” lanjut Edgar hati-hati, “Kemarin di sekolah dia juga menangis lagi. Dia meminta izin pulang lebih awal. Saya sempat menawari untuk mengantarnya ke kantor Anda, tapi dia menolak. Katanya … akan bicara sendiri dengan Anda nanti.”

Alex mengangkat pandangan tajamnya. “Dia menangis keluar dari rumah Noah, dan kau tidak memberitahuku satu kata pun tentang itu?”

Nada suaranya merendah, tapi penuh tekanan. “Lalu untuk apa aku membayarmu menjaganya?”

Edgar menunduk dalam. “Itu kesalahan saya, Tuan. Tapi saat itu saya juga sudah menanyakan pada Noah. Katanya, ibunya tidak sengaja menyinggung soal Damien … dan Daisy menjadi sangat sedih karenanya.”

Alex terkekeh pelan, getir. “Tidak sengaja? Sampai membuat anakku takut dan berlari keluar rumah seperti itu?”

Ia mencondongkan tubuh, menatap tajam. “Itu bukan sekedar terbawa perasaan, Ed. Itu melukai hatinya. Kalau tidak, Celline tidak akan pergi dari rumah itu di hari yang sama saat Daisy pulang menangis.”

Suasana membeku. Hanya suara napas berat Alex yang terdengar di antara mereka.

Tiba-tiba, pintu ruang kerja terbuka.

“Alex ….” Darren muncul tanpa mengetuk. Wajahnya tampak tegang dan tergesa. “Alex, kau tahu kalau Shania tidak ada di rumah sakit jiwa?”

Alex mendengus. “Dia tidak waras. Bahkan jika keluar pun, dia tak akan bisa pergi jauh.”

Darren menggeleng cepat. “Aku rasa tidak begitu. Ada seorang wanita yang mengaku keluarganya sendiri membawa Shania keluar. Dan aku curiga … itu Laura. Kau harus menyelidikinya lagi. Aku tidak yakin Laura sudah pergi dari kota ini.”

Ia menatap Alex dalam-dalam. “Atau mungkin, dia sudah ada di Regalsen.”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!