Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Di ruang tamu yang remang, Ratna duduk sambil menggenggam secangkir teh hangat, matanya menatap kosong ke arah Annisa yang baru saja masuk ke kamarnya. Asih duduk di kursi berhadapan, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran saat mulai bercerita,
"Mungkin tadi Annisa tidak sempat melihat saat menyeberang jalan. Dia terburu-buru mencari tempat baru. Panti asuhan kita akan segera disita negara."
"Kenapa bisa seperti itu Bu asih?."
"Karena tanah yang dibangun untuk panti asuhan ini milik PJKA nyonya."
Ratna menghela napas panjang, dadanya terasa sesak mendengar kenyataan itu. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak muram, alisnya berkerut saat ia membayangkan perjuangan Annisa yang tak kenal lelah.
"Dia memang selalu berusaha keras, meski dia hanya anak angkat di sini, tapi saya sangat menyayanginya seperti putri kandung saya sendiri." gumam Asih pelan, seolah menyadari betapa besar pengorbanan Annisa selama ini.
Asih menatap Ratna dengan mata penuh haru, "Annisa itu anak yang luar biasa. Dia rela melakukan apa saja demi panti ini, demi anak-anak yang dia anggap keluarganya sendiri."
Ratna menunduk, bibirnya bergetar menahan air mata yang hampir jatuh. Hatinya tersentuh oleh kesetiaan dan ketulusan Annisa, yang meski bukan darah daging, memperlakukan panti dan anak-anak di dalamnya seperti miliknya sendiri. Ia merasakan beban berat yang selama ini dipikul Annisa, dan rasa kasihan yang dalam tumbuh perlahan dalam hatinya.
"kalau saya boleh tahu berapa hari waktu yang diberikan untuk kalian mencari tempat baru?."tanya Ratna kepada Asih
"kami harus pindah dalam waktu 3 hari ini nyonya, dan kami sama sekali belum memiliki gambaran mau pindah ke mana. Kalaupun kami harus mencari tempat baru itu haruslah yang cukup besar karena anak-anak di sini cukup banyak sekitar 30 orang."
"Hem..begitu ya." ucap Ratna kemudian ia tersenyum seperti terlintas sesuatu di pikirannya namun ia tidak mengatakannya kepada Asih.
Keduanya terdiam sejenak, membiarkan keheningan mengisi ruang tamu, sementara bayang-bayang masa depan yang suram semakin nyata menghimpit di balik pintu.
setelah mengobrol cukup lama Ratna pun pamit kepada Asih karena ia harus pulang takut suaminya akan khawatir karena hari sudah cukup malam. Sekali lagi Asih pun mengucapkan terima kasih kepada Ratna karena sudah menyelamatkan nyawa Anisa.
Selama perjalanan pulang di atas mobil Ratna terus tersenyum akan rencananya, Iya sangat menyukai Anisa dan sangat ingin jika gadis itu menjadi menantunya apalagi setelah ia ketahui Anisa adalah gadis yang baik dan solehah.
Dan yang membuat Ratna tersentuh adalah Anisa rela berkorban demi orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya dan itu sangatlah langka di zaman sekarang.
sesampainya di rumah Ratna langsung menemui Amar di ruang kerjanya. Sang suami yang melihat istrinya sudah pulang pun nampak lega karena saya dari tadi Ratna tidak mengangkat panggilan darinya.
"Kamu ke mana aja sih mah kenapa telepon aku nggak diangkat?."
"maaf Mas tadi ponsel Aku ada di dalam tas dan aku belum sempat ngecek."
"tadi papa hubungi damar katanya Mama tadi ke rumah sakit mengantarkan seorang gadis yang kena sarempet mobil. Apa Mama nggak takut jika itu adalah penipuan bukannya zaman sekarang itu sudah banyak terjadi ya?."
"memangnya papa pikir Mama bodoh ya nggak bisa bedain mana yang penipuan mana yang asli?."ucap Ratna dengan tatapan mendelik tidak suka ke arah Amar membuat pria paruh baya yang masih gagah itu seketika tersenyum kaku.
"maaf sayang bukan begitu maksudnya, aku hanya nggak mau ajak kamu terkena masalah."
"Bima mana Mas?."
"Di mana lagi kalau bukan di kamarnya,?."
"Tumben dia nggak ke club malam ini?."
"Gimana mau ke klub, bukannya semua kartunya udah kamu beku kan?."
Ratna menatap Ammar dengan mata berbinar penuh keyakinan.
"Aku sudah berpikir panjang, Mas. Sepanjang perjalanan dari panti kasih bunda sampai ke sini. Gadis yang aku tolong tadi, nama nya Anisa. Aku yakin dia bukan hanya baik, tapi juga bisa menjadi cahaya bagi Bima. Dia bisa menuntun Bima ke jalan yang benar. Aku tadi juga bicara sama pengurus panti dan Bu Asih mengatakan bahwa Anisa adalah anak yang sholehah dan baik." Suaranya lembut tapi tegas, seperti ibu yang sudah melihat benih harapan tumbuh di depan matanya.
Ammar mengangguk pelan, raut wajahnya serius namun ada secercah harapan yang mulai menyelinap. "Kalau begitu, apa kamu akan bicara dengan Bima?" tanyanya, mencoba mengukur kesiapan anaknya.
Ratna tersenyum tipis. "Belum, tapi aku ingin kamu setuju dengan usul aku, Mas. Aku juga punya rencana lain. Villa tua yang selama ini tidak kita gunakan, aku ingin sulap jadi panti asuhan. Tempat itu bisa menjadi rumah bagi anak-anak yang Panti. Karena panti Asuhan nya saat ini akan di sita PT.PJKA. Tapi itu semua harus ada satu syarat: Anisa harus bersedia menjadi menantu kita."
Ammar menatap Ratna dengan penuh pertimbangan. Ada beban di matanya, campuran antara harapan dan kekhawatiran. Setelah beberapa detik hening, akhirnya ia mengangguk pelan. "Kalau begitu, aku setuju. Asal Bima juga menerima, kita jalankan rencana ini bersama. Mas percaya dengan penilaian kamu. Nanti kamu bawa mas untuk lebih mengenal gadis itu ya."
"Mas, tenang saja nanti kita akan ke sana."
"Tapi gimana kalau Bima nggak mau?, Kamu kan tahu sendiri kalau putra bodoh kamu itu sangat tergila-gila dengan pacarnya yang bernama Luna itu."
"Kalau dia nggak mau ya udah aku coret aja nama dia dari KK." ucap Ratna santai namun membuat Amar terkejut.
"Ngeri banget ancaman kamu,ma."
"Harus dong Mas, biar Bima mau menerima usul kita. Mama nggak mau dia semakin salah langkah dan nantinya akan berbuat sesuatu yang merugikannya dan juga mempermalukan keluarga kita. Lagian mama yakin pasti pacarnya yang murah itu selalu menempel kepadanya."
"Ya sudah terserah kamu saja. Kalau sudah restart kuat di bumi yang berkata Mas bisa apa." ucap Amar di mana selama ini Amar selalu mematuhi apapun keputusan dari Ratna. Karena Amar begitu mencintai dan menghargai istrinya tersebut mungkin itulah kunci rumah tangga mereka yang masih utuh hingga sekarang.
Ratna menghela napas lega, bibirnya melengkung menjadi senyum hangat. Namun, di balik senyum itu tersimpan keraguan halus yang belum bisa ia ungkapkan—apakah Bima akan benar-benar siap menerima Anisa dan perubahan yang akan datang?
Sementara itu di kamarnya Bima benar-benar tampak kesal karena sedari tadi kekasihnya Luna selalu saja menghubunginya dan memintanya untuk ke apartemennya malam ini. Tapi bagaimana caranya Bima bisa datang ke sana karena semua asetnya sudah disita oleh sang mama. Apalagi Iya tidak punya uang dan bertelepon biasanya Luna akan meracik Kak Bima tidak membawa apa-apa jika datang ke apartemennya..
"Aarrghh....sial..sial.... Sampai kapan gue kek gini terus?." monolong nya frustasi meremas kuat rambutnya.