Rupanya salah masuk kamar hotel saat liburan membuat Gia Adrian harus rela terjebak dalam sebuah pernikahan konyol dengan pria asing dan begitu juga dengan Gio Hadikusumo terpaksa menerima pernikahan tersebut padahal dirinya merasa tak melakukan apapun.
"Aku tidak mau menikah dengan gadis manja dan liar sepertinya," ucap pria tampan nan macho dengan pandangan sedingin es gunung himalaya tersebut.
"Ck, kamu kira aku juga mau menikah dengan pria dingin dan kolot sepertimu? hidupku pasti akan penuh sial nanti," umpat Gia menolak mentah-mentah pernikahannya. Ia masih sangat muda dan masih ingin bersenang-senang.
"Pokoknya kami tidak ingin menikah, kami hanya salah masuk kamar!" ucap mereka bersamaan saat kedua orangtuanya memaksakan sebuah pernikahan demi menjaga nama baik keluarga masing-masing.
Gia anak gaul metropolitan, kaya raya dan manja serta gemar hang out bisakah bersatu dengan Gio pria kepulauan yang dingin dan serius yang selalu menjunjung tinggi adat istiadat keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qinan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laki-laki mokondo
Gia terkejut karena rupanya mereka akan pergi ke pasar bukan mall atau butik ternama, sejauh ini yang ia tahu dari situs intenet pasar adalah tempat yang lumayan kotor dan juga penuh orang.
"Apa disini tidak ada mall? minimal butik lah atau ruko kamu tahu ruko kan?" ucapnya sembari mengikuti langkah panjang sang suami dan tiba-tiba pria itu berhenti mendadak hingga membuat Gia menabrak punggung lebarnya.
"Oh astaga." gadis itu pun sontak mengusap keningnya, sebenarnya itu punggung apa batu pikirnya?
Gio berbalik badan menatapnya. "Ada." ucapnya menanggapi dan tentu saja itu membuat Gia langsung mengulas senyum manisnya, jadi mereka akan pergi ke mall?
"Kamu serius?" tukasnya dengan tak sabar.
"Hm, ada dalam pikiranmu." sahut pria itu lantas berlalu menuruni anak tangga.
Gia yang menyadari sedang dikerjai pun langsung mengerucutkan bibirnya. "Tunggu, bukankah aku sedang dipingit!" ucapnya ketika hendak menuruni anak tangga menyusul sang suami yang kini telah berada di halaman rumahnya.
"Selama perginya bersamaku itu tak masalah," sahut Gio lantas memunguti beberapa sampah di halamannya tersebut.
"Peraturan macam apa itu?" Gia hanya menggeleng kecil, padahal malas sekali ia pergi ke pasar karena disana pasti becek dan juga bau.
Sesampainya di halaman gadis itu langsung mengedarkan pandangannya, tak ada mobil suaminya disana mungkin kah di parkir diluar?
"Kita akan naik apa?" tanyanya kepada sang suami yang baru kembali dari mencuci tangannya.
"Sepeda," sahut pria itu dengan santai sembari berlalu mengambil sepeda gunung yang terparkir tak jauh dari sana.
Tentu saja Gia langsung melotot. "Ka-kamu serius?" ucapnya ingin memastikan.
"Hm, ayo naiklah!" perintah Gio kemudian.
"Ta-tapi ..." Gia enggan naik, masa cantik-cantik begini naik sepeda seperti itu pikirnya.
"Mau naik sendiri atau ku gendong?" ucap Gio lagi mulai tak sabar dan terdengar seperti sebuah ancaman bagi Gia hingga membuatnya mau tak mau langsung duduk diatas sepeda tersebut.
"Dasar mesum," umpatnya dengan kesal.
Dengan berpegangan baju pria itu dari belakang Gia nampak menahan tubuhnya agar tidak jatuh mengingat jalanan yang kurang begitu halus tak peduli menjadi tontonan beberapa tetangganya. Gia yang memang pada dasarnya ramah nampak membalas sapaan mereka di sepanjang jalan bak artis ibu kota dan itu membuat Gio hanya menggeleng kecil.
Tiba-tiba sepedanya sedikit oleng hingga keduanya hampir saja jatuh jika saja Gia tak segera memeluk perut pria itu, terasa liat dan juga keras. Ini perut atau tembok pertahanan pikirnya dan otak nakalnya pun mulai berkelana membayangkan sesuatu yang tak seharusnya ia bayangkan hingga membuatnya langsung menggeleng cepat.
"Kenapa?" ucap Gio ketika gelengan gadis itu sampai membuat sepedanya sedikit goyang.
"Tidak, apa masih lama?" tanyanya mengalihkan pembicaraan, masa ia mengatakan apa yang sedang ada dipikirannya memang ia wanita apaan.
"Sebentar lagi," sahut Gio dan benar saja tak berapa lama mereka telah sampai di sebuah pasar tradisional dengan bangunan beton bercampur kayu.
Gia yang baru turun dari sepeda pun langsung terpaku, apa ini yang namanya pasar? dilihatnya banyak orang keluar masuk pasar baik pembeli maupun kuli panggul lalu pandangannya jatuh ke lantai tanah bercampur batu dan semen yang telah rusak nampak becek karena hujan semalaman.
"Ayo!" ajak Gio setelah memarkirkan sepedanya.
Gia sedikit pun tak beranjak dari tempatnya berdiri, serius pria itu mengajaknya berbelanja pakaian disini?
"Ayo!" ajak Gio lagi namun Gia langsung menggeleng cepat.
"Apa tidak ada tempat lain yang berjualan pakaian? misal online?" ucapnya kemudian.
"Belanja online bisa berhari-hari akan sampai sedangkan kamu butuh pakaian hari ini dan juga untuk acara syukuran nanti malam." Gio mencoba memberikan pengertian.
Gia langsung mengangkat kedua tangannya. "Gendong belakang kalau begitu!" ucapnya dengan wajah memelas dan mau tak mau Gio berbalik badan lalu duduk berjongkok sampai gadis itu naik ke punggungnya.
"Jika seperti ini kamu seperti orang lumpuh," ucap pria itu seraya melangkah masuk kedalam pasar.
"Biarin saja siapa suruh kamu tidak ajak ku ke mall," Gia tak peduli meskipun saat ini menjadi tontonan banyak orang.
Gio terus melangkah sembari sesekali menyapa atau membalas sapaan orang yang dikenalnya disana.
"Eh ada mas Gio, apa itu mbak Rania? duh romantisnya," ucap seseorang tiba-tiba ketika Gio menurunkan Gia didepan sebuah penjual pakaian.
"Oh bukan rupanya, kirain mbak Rania." imbuh wanita itu lagi ketika melihat wajah Gia.
Gio hanya tersenyum tipis menanggapinya namun tidak dengan Gia, memang secantik apa wanita bernama Rania itu sampai menjadi idola semua orang?
"Tidak mungkin, mbak Rania tidak semanja itu." celetuk yang lainnya.
"Benar, mbak Rania juga lebih anggun." tambah yang lainnya lagi.
Gia yang mendengarnya pun ingin sekali membungkam mulut mereka satu persatu, apa mereka tidak bisa melihat ia juga tak kalah cantik?
"Ayo pilihlah mana yang kamu suka!"
Suara Gio langsung membuyarkan lamunan Gia akan rencananya untuk membalas mereka, padahal pandangannya sudah fokus ke sebuah getuk didalam ember yang entah jenis kue apa untuk menyumpel mulut mereka yang suka membandingkannya dengan wanita bernama Rania itu.
Kini Gia menatap satu persatu pakaian yang digantung dihadapannya itu, benar-benar bukan seleranya. Rata-rata semua pakaian panjang entah itu berjenis daster maupun jenis lainnya.
"Apa kamu serius menyuruhku memilih ini semua?" ucapnya menatap sang suami yang nampak menunggunya sembari duduk disebuah kursi.
"Hm, kamu pilih sendiri atau aku yang memilihkannya." sahut pria menanggapi.
Gia menatapnya remeh, ia tidak yakin selera pria itu bagus bahkan soal perempuan juga kemudian gadis itu pun terpaksa mengambil beberapa daster yang tak terlalu panjang dan selebihnya ia akan memesan online saja.
Lalu diulurkannya sebuah kartu debet kepada sang penjual untuk membayar semua barang belanjaannya mengingat entah kemana suaminya pergi karena tiba-tiba tak ada disekitar sana.
"Dasar laki-laki mokondo dia pasti sengaja pergi biar tidak membayar belanjaanku awas saja jika datang nanti," gumamnya dengan kesal.
"Maaf mbak kami hanya menerima uang cash," ucap sang penjual.
"Hah?" Gia nampak bingung, ia bahkan tak pernah memegang uang cash karena belanja di kota cukup menggunakan kartu atau scan barcode didalam ponsel.
"Jika ini ada?" Gia mengulurkan ponselnya, mungkin membayar dengan uang elektronik bisa.
Penjual itu pun langsung melotot. "Apa kamu seorang penipu?" tudingnya to the point.
"A-apa?" Gia nampak terkejut, enak saja cantik-cantik begini dibilang penipu.
"Kamu pasti sengajakan membayar dengan barang-barang aneh itu untuk mengelabuhi kami kan?dasar penipu jika memang tidak punya uang tidak usah belanja disini mana banyak lagi yang diambil." penjual itu pun kembali mengambil belanjaan di tangan Gia dengan kasar.
Gia langsung emosi. "Apa kamu bilang? bahkan toko ini beserta kamu bisa ku beli jika mau enak saja mengatakan ku penipu." balasnya tak terima.
"Hah mau beli toko ini? membayar baju-baju itu saja tidak mampu," penjual itu pun langsung tertawa mengejek bersama penjual lainnya.
Gia yang tak bisa menahan emosinya pun langsung mengedarkan pandangannya untuk mencari laki-laki mokondo yang tiba-tiba pergi saat waktunya ia membayar.
"Gioooooo!"
karna dia punya 1001 cara untuk melawan.../Chuckle//Tongue/
itu sangkar burung..
ya besar lah,lawong burung nya juga besar/Facepalm//Facepalm//Facepalm/