“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Pergi"
Tubuh Andin terhuyung. Di lempar dengan kasar ke depan rumahnya.
Hujan turun deras Sore itu. Andin membeku di tengah hujan yang menerpa tubuhnya, menatap kedua orang di depannya dengan hati terluka.
Langit pun seolah ikut menangisi seorang wanita yang kehilangan segalanya.
Andin berdiri di depan rumahnya—rumah yang dulu dibelinya dengan keringat dan doa.
Kini, rumah itu bukan lagi miliknya.
Rambutnya basah, wajahnya pucat, dan tubuhnya menggigil dalam dingin hujan.
Tangannya yang kosong terasa berat, seolah masih ingin menggenggam bayi yang tak lagi ada.
Di ambang pintu, Raka berdiri dengan tatapan tajam dan penuh benci.
“Pergi!”
"Kau bukan lagi istriku. Pergi dari sini, Andin!" suaranya menggelegar di tengah suara hujan.
“Aku tidak mau melihat wajahmu lagi, Andin!”
Air mata Andin bercampur dengan air hujan, mengalir tanpa bisa ia tahan.
Ia memandangi suaminya—lelaki yang dulu ia tolong di jalan, yang ia cintai tanpa syarat, yang dulu ia anggap anugerah, tapi kini berubah menjadi orang asing yang begitu kejam.
“Raka…” suaranya parau, nyaris tenggelam oleh derasnya hujan.
“Kau tega mengusirku? ini rumahku, rumah aku perjuangkan, rumah yang aku bangun sendiri. Aku kehilangan anak kita sendirian… dan sekarang kau ingin kehilangan aku juga?”
Raka menoleh, tapi tak bicara. Wajahnya datar, tak ada sedikit pun empati di matanya.
Dari dalam rumah, muncullah Ratna.
Wanita paruh baya itu melangkah mendekat sambil memeluk lengan Raka dengan senyum yang penuh kemenangan.
“Sudahlah, Nak. Biarkan dia pergi,” katanya dingin.
“Rumah ini sekarang milik kita. Perempuan lemah seperti dia hanya membawa sial.”
"Aku akan selalu ada untukmu. percayalah! Hubungan kita akan tetap berjalan selama Andin pergi dari rumah ini"
Andin terpaku.
Matanya bergetar menatap wanita yang dulu ia panggil “Ibu”.
“Ibu…” suaranya pecah, “aku kehilangan segalanya. Kenapa Ibu masih tega melakukan ini padaku?”
Ratna tersenyum sinis.
“Kau terlalu baik, Andin. Dunia tak memberi tempat bagi orang sepertimu. Kau pikir kebaikan bisa membuatmu bahagia? Lihat dirimu sekarang—bahkan anakmu pun meninggalkanmu.”
Setiap kata Ratna bagai pisau yang mengiris hati Andin perlahan.
Rasa sakit itu tak lagi bisa ditahan—air matanya jatuh bersama hujan, membasahi tanah tempat ia berdiri.
"Baiklah.... Jika itu yang kalian inginkan. Tapi ingat satu hal. Karma tidak akan pernah diam. Siapa yang menabur angin akan menuai badai. Siapa yang menabur akan menuai. Siapapun yang mematahkan hati seseorang akan merasakan sakit yang sama" ucap Andin berusaha tegar.
Ratna tersenyum sinis dipelukan Raka. Sementara Raka hanya diam dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Andin mengusap air matanya kasar. Dengan langkah gontai, Andin berbalik. melangkah menjauh dari rumah yang dulu penuh tawa, yang kini hanya meninggalkan luka dan kebencian.
Kakinya gemetar, tubuhnya hampir roboh, tapi ia terus berjalan.
Hanya suara hujan yang menemani, seolah menutupi isaknya yang lirih.
Hingga di tengah jalan, sebuah payung tiba-tiba menutupi kepalanya.
“Andin?” suara itu lembut, namun mengandung kejut dan iba.
Ia menoleh perlahan.
Di hadapannya berdiri seorang pria—tinggi, berwajah teduh, dengan mata yang dulu begitu ia kenal.
“Ini aku, Hans,” katanya pelan.
“Kau masih ingat?”
Andin menatapnya lama, lalu bibirnya bergetar.
Air mata kembali jatuh, membaur dengan hujan.
“Aku… aku tidak punya siapa-siapa lagi, Hans…”
Tanpa kata, Hans menariknya ke dalam pelukan. Pelukan yang hangat, berbeda dari dinginnya dunia yang baru saja menghancurkan Andin.
Dan di sana—di bawah hujan yang deras, di pelukan sahabat masa kecilnya— Andin menangis sejadi-jadinya. Dunianya runtuh seruntuh-runtuhnya. Andin kehilangan segalanya, cintanya, ibunya, rumahnya dan bahkan anaknya. Yang ada hanya kehancurannya yang kini merenggut segalanya darinya.
.
.
.
Bersambung.