Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34. EMOSIONAL
Langit malam menggantung muram di atas atap rumah sakit, seolah turut menanggung beban yang tak dapat dijelaskan oleh kata-kata. Hujan tipis turun perlahan, membasahi kaca mobil hitam yang terparkir di bawah cahaya redup lampu jalan. Di dalam mobil itu, tiga manusia duduk dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri, dalam pusaran emosi yang belum sempat menemukan bentuk.
Raven berada di kursi depan, matanya menatap lurus ke jalan yang berkilau oleh air hujan. Tangannya menggenggam erat kemudi, namun jarinya tampak sedikit bergetar. Ia yang biasanya cerewet dan tak henti melempar komentar sarkastik, kini hanya diam, seperti kehilangan selera berbicara.
Di kursi belakang, Ruby duduk di sisi jendela, memandangi pantulan lampu kota yang berlari mundur di kaca. Wajahnya tampak tenang dari luar, tapi matanya menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam; keletihan, keperihan, dan rasa bersalah yang tak mudah diredam.
Sementara di sebelahnya, Elias duduk membisu. Tubuh tegapnya bersandar lemah ke kursi kulit mobil, dengan tatapan kosong menembus ke luar jendela. Tidak ada satu pun kata keluar dari bibirnya sejak mereka meninggalkan rumah sakit. Bahkan jejak dari tangis pria itu masih dapat terlihat.
Apa yang mereka dengar malam itu bukan sekadar cerita.
Itu adalah potongan masa lalu yang terkubur, yang kini digali kembali oleh tangan takdir.
Ruby, gadis yang mereka percayai hanya sebagai gadis yang harusnya dibantu akibat ketidakadilan keluarganya, ternyata adalah Chiper, hacker pribadi Elias dan Raven selama ini. Lebih dari itu, ia adalah korban. Anak yang dijadikan objek eksperimen sejak kecil, oleh kelompok yang sama yang membunuh Darian Spencer, kakak kandung Elias.
Raven tahu bagaimana rasanya kehilangan. Tapi bagi Elias, malam itu seperti menyayat ulang luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Ia tumbuh dengan rasa bersalah, dengan kenangan samar tentang kakak yang selalu tersenyum dan menepuk bahu Elias sambil berkata, 'Jadilah lebih baik dariku.'
Dan kini, mendengar kenyataan bahwa Darian bukan mati karena pembegalan, melainkan karena pembunuhan yang direncanakan, membuat dunia di dalam diri Elias runtuh satu per satu.
Mobil melaju pelan di jalan tol yang basah, hanya diiringi suara gesekan ban dan deru mesin.
Lampu-lampu jalan menyorot wajah Elias bergantian, menampakkan bayangan lelah di mata pria itu. Tatapannya kosong, tapi pikirannya berisi terlalu banyak hal, wajah kakaknya, ingatan masa kecil, dan suara Ruby yang tadi bergetar saat menceritakan semuanya.
Darian ... bagaimana semua ini bisa terjadi tanpa aku tahu apa pun?
Pertanyaan itu berputar di kepala Elias tanpa henti, seperti kaset rusak yang tak bisa dihentikan.
Raven sempat melirik lewat kaca spion, melihat Elias yang tenggelam dalam pikirannya. Ia tahu Elias hancur, tapi tidak tahu harus berkata apa. Bukan karena tak peduli, justru karena peduli, ia memilih diam.
Sementara Ruby hanya menunduk, tangan kecilnya menggenggam ujung T-shirt yang ia kenakan. Di matanya, masih tergambar bayangan masa kecil, ruangan putih, suara mesin, dan rasa sakit yang terlalu nyata untuk disebut mimpi. Ia tidak bermaksud membuat Elias terluka. Tapi malam ini, kebenaran memang tidak memilih waktu untuk datang.
Perjalanan pulang terasa lebih panjang dari biasanya.
Ketika mobil akhirnya berbelok ke gerbang rumah besar di pinggiran kota Boston, jam di dasbor sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas malam.
Hujan sudah reda, hanya menyisakan aroma tanah basah dan kabut tipis di udara.
Begitu mesin mobil dimatikan, tidak ada satu pun dari mereka yang segera turun.
Raven akhirnya membuka pintu lebih dulu, keluar tanpa sepatah kata pun. Ia menepuk ringan atap mobil, isyarat sederhana sebelum melangkah pergi menuju kamarnya di lantai atas.
Ruby menyusul perlahan, tapi ketika ia hendak membuka pintu, Elias lebih dulu keluar. Langkahnya berat, tapi tetap tegap seperti biasa. Ia tidak menatap siapa pun. Hanya berjalan menuju pintu depan, melewati koridor panjang tanpa suara.
Ruby menunduk, lalu mengikuti dari belakang dengan langkah kecil.
Rumah besar itu terasa berbeda malam ini; dingin, hampa, seolah setiap dindingnya ikut menahan napas.
Ketika Ruby sampai di lantai dua, ia berhenti sejenak di depan pintu kamarnya.
Rasanya aneh, setelah semua yang terjadi, setelah identitasnya terbuka, dan setelah semua cerita yang ia sembunyikan selama ini tumpah begitu saja.
Ia berpikir Elias akan marah. Akan menuduhnya pembohong. Tapi yang ia lihat di mata pria itu hanyalah kesedihan nan dalam, nyaris tak terbaca, namun menusuk.
Ruby menutup pintu kamarnya perlahan.
Ia menyalakan lampu meja, menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang dulu ia kenal sebagai dirinya sendiri kini terasa asing.
Lalu ia menghela napas, membuka laci dan mengambil baju tidur, berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Ketika Ruby selesai, rambutnya masih setengah basah. Ia menatap tempat tidurnya, lalu menarik selimut. Tapi sebelum sempat berbaring, suara ketukan terdengar dari arah pintu.
Tiga ketukan pelan.
Ruby menoleh, menatap pintu dengan ragu.
Jam di meja menunjukkan hampir tengah malam. Siapa pun yang datang, jelas bukan Raven.
Perlahan, ia melangkah mendekat dan membuka pintu.
Di sana, berdiri Elias.
Rambutnya sedikit berantakan, dengan kaos hitam sederhana . Di bawah matanya ada lingkar gelap samar. Ia tampak letih, bukan karena lelah fisik, tapi karena jiwanya baru saja diremukkan oleh kenyataan yang terlalu berat.
"Elias?" Ruby berbisik pelan, nyaris tak terdengar.
Elias hanya diam beberapa detik. Tatapannya tidak menajam, tidak juga lembut, hanya sendu.
Suara hujan yang menetes dari atap terdengar samar di luar, menambah kesunyian di antara mereka.
"Aku ...," Elias menelan ludah sebelum melanjutkan, "Aku tidak bisa tidur."
Ruby menatapnya, masih belum mengerti arah pembicaraan itu.
Elias menunduk sedikit, lalu berkata dengan suara yang lebih pelan, "Boleh aku tidur di sini malam ini?"
Pertanyaan itu sederhana, tapi mengandung terlalu banyak hal di baliknya.
Ruby terdiam cukup lama sebelum menjawab. Ia menatap mata Elias, mata yang dulu penuh keyakinan, kini hanya berisi bayangan kakak yang hilang dan kenyataan pahit yang baru terungkap.
Dan di sana, Ruby tahu ... menolak bukanlah pilihan.
"Iya," ucapnya akhirnya. "Masuklah."
Elias mengangguk pelan, lalu melangkah masuk. Ruby menutup pintu di belakangnya.
Lampu kamar redup, menyisakan cahaya lembut dari lampu meja. Elias berjalan ke sisi tempat tidur, lalu duduk di tepi, menatap lantai beberapa saat sebelum akhirnya berbaring perlahan.
Ruby ikut naik ke tempat tidur, berbaring di sisi lain, punggung mereka saling membelakangi.
Hening.
Udara kamar terasa berat, tapi tidak mencekik. Hanya penuh sesuatu yang menggantung, seperti kalimat yang belum selesai diucapkan.
Ruby menatap langit-langit, mendengar napas Elias yang teratur di belakangnya. Lama-lama, napas itu terasa seperti jeda yang menenangkan.
Tapi kemudian, ia merasa gerakan kecil.
Elias memutar tubuhnya perlahan, hingga wajahnya kini menghadap punggung Ruby.
Dan sebelum Ruby sempat menoleh, ia merasakan sesuatu; pelukan hangat melingkari tubuhnya. Lengan Elias, kuat namun gemetar halus, memeluknya dari belakang.
Ruby terdiam. Tidak menolak, tidak juga bertanya.
Ia tahu pelukan itu bukan tentang cinta. Ini tentang kehilangan, tentang seseorang yang baru saja kehilangan potongan masa lalunya, dan tidak tahu bagaimana menahannya agar tidak hancur berkeping-keping.
"Terima kasih," suara Elias terdengar pelan di dekat telinganya, nyaris seperti bisikan.
Ruby menoleh sedikit, tapi Elias melanjutkan tanpa menunggu respons.
"Terima kasih karena sudah membawa cerita Darian padaku. Karena aku tahu kalau bukan dirimu, aku mungkin akan terus percaya bahwa dia mati sia-sia," kata Elias.
Ruby menarik napas panjang, lalu menatap kosong ke arah dinding.
"Aku hidup bertahun-tahun dengan keraguan kalau kakakku adalah korban pembegalan. Tapi malam ini aku tahu semuanya kebohongan. Mereka membuatnya terlihat seperti kecelakaan. Mereka menutupinya dengan sempurna. Bahkan polisi pun mungkin ada di sisi yang jahat," ucap Elias. Nada suaranya bergetar halus.
Ruby bisa merasakannya, guncangan di dada pria itu, seperti seseorang yang berusaha menahan isak yang tak mau keluar.
"Darian ...," Elias melanjutkan dengan suara hampir berbisik. "Dia tidak seharusnya mati seperti itu. Dia hanya ingin memperbaiki dunia. Tapi dunia malah menelannya."
Ruby memejamkan mata, merasakan kepedihan yang menular tanpa kata.
Elias menunduk, menempelkan dahinya di bahu Ruby, dan dalam keheningan itu, ia berbisik,
"Sekarang aku tahu ... kakakku sungguh orang baik," kata Elias.
Hening beberapa saat.
Lalu Ruby menjawab dengan suara lembut, "Kakakmu bukan orang jahat, Elias. Dia mencoba menyelamatkan sesuatu yang lebih besar. Dia melindungi anak-anak seperti aku ... sebelum semuanya terlambat. Aku adalah bukti hidup dari kebaikannya."
Suara Ruby bergetar di akhir kalimat, dan Elias merasakannya. Ia mempererat pelukannya sedikit, tapi tetap lembut. Tidak ada niat untuk menuntut apa pun, hanya memastikan Ruby tahu bahwa ia tidak sendiri.
Malam itu, dua jiwa yang terluka saling berdiam dalam pelukan.
Tidak ada yang berbicara lagi setelah itu. Tapi dalam diam itu, sesuatu berubah, dinding di antara mereka, yang dulu dipenuhi rahasia dan keraguan, kini mulai retak perlahan.
Jam menunjukkan pukul dua dini hari.
Di luar, hujan sudah benar-benar berhenti. Angin malam masuk lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan udara dingin yang menenangkan.
Ruby belum tidur sepenuhnya. Ia masih terjaga, menatap siluet Elias di bawah cahaya samar lampu meja.
Elias akhirnya terlelap, dengan napas berat namun stabil. Tapi bahkan dalam tidurnya, ekspresinya masih menyiratkan kesedihan yang dalam.
Ruby mengulurkan tangannya pelan, menyentuh jemari Elias yang terkulai di dekatnya.
Sentuhan kecil itu seperti memastikan sesuatu, bahwa mereka berdua masih di sini, bahwa dunia belum sepenuhnya runtuh.
Lalu ia berbisik, nyaris tanpa suara, "Aku yang harusnya berterima kasih. Untuk kakakmu dan untukmu juga, Elias. Kalian berdua sama-sama telah menyelamatkan hidupku."
Ruby menutup matanya, membiarkan rasa lelah mengambil alih. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ruby merasa aman. Bukan karena tempat, tapi karena seseorang yang akhirnya mempercayainya sepenuhnya.
ko tamat sh 😐😐😐
memang betul terkadang orang2/hal2 baru datang memang untuk mengingatkan tentang siapa kita. Tuhan sudah mengatur semua yang kita butuhkan, meskipun terkadang kita tidak menyukainya.
apapun yang terjadi selama masih ada nafas kita tidak bisa berhenti meskipun dalam kondisi lelah sekalipun.
💪 untuk karya selanjutnya.😍
apalagi kisah Raven baru aja di mulai, apa ada cerita sendiri kisah Raven?
apakah Ariana pelabuhan terakhirnya paman Raven 😊??
jodoh Raven dah nongol tapi mungkin gak akan mudah untuk mereka bersatu, kayak Elias dgn Ruby walaupun beda alurnya.
kali kalau beneran jodoh punya anak perempuan jadi jodohnya Liam 😁
Hanya kamu yang tau THOOORRR☕️☕️☕️
CEMUNGUUUUTTTT IAAAAMMMM😍😍😍😍😍😍😍
eh udah manis-manis ini episodeny, apa akan tamat ceritany🤔💪
tiap baca wanita melahirkan berderai air mata ku 😭
baby Liam pasti akan mewarisi keahlian ibunya dan juga ayahnya, wah mantap kalau jadi CEO tapi juga Mafia dan keahlian lainnya yg diwarisin dari kedua orang tuanya