Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANGAN YANG MENYUSUL
Sidang sudah usai, namun napas Maya masih terasa berat. Udara pagi di luar gedung pengadilan terasa panas dan menusuk, kontras dengan dinginnya ruang sidang beberapa jam lalu. Bersama Bu Ina, ia melangkah keluar dari gedung yang penuh dengan suara orang-orang berlalu lalang, kendaraan yang berseliweran, dan hiruk-pikuk kota yang tak pernah berhenti.
Genggaman tangan Bu Ina terasa kuat dan menenangkan di lengannya, seakan menjadi jangkar kecil yang membantu Maya berdiri teguh. Perasaan lega bercampur dengan kekhawatiran memenuhi dadanya. Ia tahu pertarungan belum selesai, namun hari ini, ada secercah kemenangan yang mulai terasa.
“Aduh, badan Ibu ikut tegang dari tadi,” suara Bu Ina lirih di sampingnya, “Tapi kamu tadi hebat. Jawabanmu jelas dan tenang. Hakim juga kelihatan serius dengar keterangan kita.”
Maya menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum menatap lurus ke depan. “Semoga ini cukup, Bu. Waktu Reza mulai membela diri tadi, aku merasa dia bisa meledak kapan saja. Aku harus tahan dan tetap kuat.”
Langkah mereka menuju halte bus kota, sementara Maya melirik ponselnya yang terus bergetar oleh pesan dari Rani. Foto-foto Nayla yang tersenyum sambil bermain dan makan siang seolah menjadi oase kecil di tengah gelombang ketegangan yang belum reda.
Sebelum berpisah, Bu Ina menawarkan untuk ikut menemani Maya ke kos atau membantu menjaga Nayla. Namun Maya menolak dengan halus, sudah percaya pada Rani yang telah berjanji menjaga anaknya dengan sepenuh hati.
Setelah berpisah, Maya menaiki angkutan umum menuju restoran tempat ia bekerja. Sepanjang perjalanan, bayangan sidang dan harapan yang mulai tumbuh bergelayut di benaknya. Ia mempersiapkan diri untuk kembali ke rutinitas yang melelahkan namun juga menjadi sandaran.
Setibanya di restoran, aroma masakan dan suara riuh pelayan menyambutnya seperti pelukan hangat. Rekan kerjanya menatap penasaran, bertanya tentang hasil sidang. Maya tersenyum tipis, menjawab bahwa jalannya mulai ke arah yang benar walau belum ada putusan resmi.
Namun suasana berubah drastis ketika bel pintu berbunyi dan tatapan Maya tertumbuk pada sosok yang tak diharapkan.
Reza berdiri di pintu, mengenakan kemeja putih rapi, wajahnya dingin namun matanya menyimpan bara amarah. Langkahnya mantap menuju meja sudut, tatapannya tidak pernah lepas dari Maya.
Senyum sinis menghiasi wajahnya, memperlihatkan bahwa pertempuran yang sudah berlangsung di ruang sidang belum akan selesai di sini.
Maya mencoba menenangkan diri, berusaha mengatur napas saat mendekati Reza dan bertanya mengapa ia datang ke sini. Suaranya tegas namun penuh perasaan terluka.
Reza membalas dengan nada dingin, mengatakan bahwa sidang tadi baru permulaan dan pertempuran mereka masih jauh dari selesai. Maya membalas dengan ketegasan bahwa ia bisa melawan melalui jalur hukum, namun Reza justru menyatakan akan mulai bermain kotor dan mencoba melemahkannya.
Ketegangan makin memuncak. Maya sadar bahwa kehadiran Reza di tempat kerjanya bukan hanya ancaman emosional tapi juga mengancam keseharian dan keamanan keluarganya.
Pelanggan dan rekan kerja mulai memperhatikan. Beberapa saling bertukar pandang, merasakan ketegangan yang muncul tiba-tiba ini. Maya berusaha tetap profesional dan menjaga agar suasana tidak makin panas di depan umum.
Namun, dalam hatinya, ia tahu pertempuran ini belum akan berakhir. Reza muncul kembali, seperti bayangan gelap yang menghantui setiap langkahnya, mengingatkan bahwa masa lalu tak bisa begitu saja dilupakan.
...----------------...
Pintu restoran terbuka dengan suara nyaring, mengalihkan perhatian para pelanggan. Maya yang sedang sibuk melayani meja segera menoleh, terkejut melihat sosok yang tidak ia harapkan berdiri di depan pintu. Tatapan tajam itu langsung tertuju padanya.
"Aku nggak nyangka kamu akan ada di sini," suara Reza datar tapi penuh arti, menggetarkan udara di sekeliling.
Maya menarik napas dalam-dalam, menahan gemetar yang tiba-tiba merambat ke seluruh tubuhnya. "Apa maksudmu datang ke sini? Sidang saja belum selesai."
Reza melangkah masuk, berjalan perlahan menuju sudut restoran. "Aku datang bukan untuk berperang di ruang sidang. Aku datang untuk bilang, aku nggak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang kuinginkan."
Maya menatapnya lekat, tidak mau mundur sedikit pun. "Kamu pikir bisa mengintimidasi aku? Aku di sini bukan cuma untuk bekerja, tapi untuk berjuang demi Nayla."
Reza tersenyum sinis. "Berjuang? Aku sudah lihat caramu berjuang selama ini. Lelah, putus asa, dan sendirian. Tapi jangan lupa, aku ayahnya, dan aku punya hak."
Suasana mulai memanas, beberapa pelanggan mulai melirik, rasa penasaran berubah menjadi waspada.
Maya menunduk sebentar, lalu menatap balik dengan tatapan penuh tekad. "Hak? Kalau kamu benar-benar peduli, kenapa selama ini kamu menghilang? Kenapa meninggalkan kami tanpa kabar selama hampir empat tahun?"
Reza mengangkat bahu, nada suaranya berubah menjadi sedikit kasar. "Itu urusan pribadi. Bukan urusanmu."
"Masa depan Nayla bukan urusanmu juga? Kalau begitu, jangan ganggu hidup kami."
"Kalau aku ganggu, itu berarti aku masih peduli," balas Reza dengan tajam.
Ketegangan antara keduanya meningkat, seakan ruangan menyusut menjadi arena pertempuran.
Beberapa rekan kerja Maya mulai berdiri tak nyaman, beberapa pelanggan berbisik, ada yang mulai memotret dengan ponsel.
Maya menarik napas dalam, mencoba mengendalikan diri. "Ini tempat kerja. Kalau kamu ingin berperang, lakukan di pengadilan. Jangan bawa masalah pribadi ke sini."
Reza menatapnya dengan senyum dingin. "Aku akan lakukan apapun, termasuk di sini."
Maya mengeraskan suara, "Aku tak takut."
Mata Reza menyipit. "Itu yang aku suka. Tapi jangan salah, aku bukan orang yang mudah menyerah."
Percakapan itu diiringi dengung bisik-bisik dan tatapan dari sekitar. Maya tahu, pertarungan mereka bukan lagi soal hukum saja, tapi juga kehormatan dan ketenangan hidupnya yang sedang dipertaruhkan.
kamu harus jujur maya sama adrian.