"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEMBILANBELAS Fakta
"Sejak kak Daniel pulang dari rumah kakak dan mendapat izin dari suamimu untuk menemui kakak besoknya, dia sangat senang. Untuk pertama kalinya setelah kakak meninggalkannya, senyum bahagia itu kulihat lagi. Dia sangat bahagia, Kak, sampai-sampai senyum itu tak pernah lepas dari wajahnya. Dia bercerita panjang, penuh semangat, seperti memiliki semangat hidup, kehidupan baru. Hingga setelah dua jam berlalu, tiba-tiba dia terjatuh dan koma hingga saat ini. Kami melarikannya ke sini, berhubung ayah memiliki teman seorang dokter spesialis penyakit dalam yang hebat.” Gina menghela napas sejenak, lalu melanjutkan.
“Iya, dia sakit, Kak. Dia kanker hati dan hidupnya tidak lama lagi kecuali ada pendonor yang mencangkokkan hatinya untuk dia. Dia mencintaimu, sangat mencintaimu. Bahkan, hidupnya seperti mati saat kau meninggalkannya. Waktu itu, dia sebenarnya ingin memintamu untuk menemani dan membantu menjelaskan pada Ayah dan Bunda, untuk mempercepat pernikahan kalian, tapi kamu tidak mau mendengar penjelasannya dan marah, lalu meninggalkannya begitu saja. Dia sakit, Kak. Kakakku Daniel sakit, dan dia menjalaninya dengan tegar dan kuat selama beberapa tahun ini, menahan sakitnya, itu semua karena kau! Kakak yang membuatnya kuat selama ini, kakak obat bagi kak Daniel! Tapi, mengapa kau tega meninggalkannya? Apa kamu tahu? Dia hanya ingin melihatmu, Kak, berbicara padamu untuk sisa hidup terakhirnya. Hanya itu, hanya itu! Dia hanya takut, di saat menikah denganmu, malah kesakitan yang kau dapat, saat dia tidak dapat bertahan lagi! Itulah dia bingung dan takut menikahimu secepatnya! Karena dia tahu, dia tahu penyakitnya membawa dia dalam kematian."
Kata-kata Gina bagai kaset rusak di telingaku, terus terulang lagi dan lagi sepanjang kaki ini melangkah memasuki ruangan mengerikan ini yang begitu dingin. Airmataku telah tumpah deras sembari pandangan tak lepas dari tubuh lelaki itu yang terbaring rapuh di sana.
Ruang Icu ini menyambutku dengan bunyi rentetan komputer pendeteksi jantung, tabung oksigen dan tetesan pada tabung infus. Rasanya bunyi itu menari-nari di kepalaku dan merecoki dengan menyakitkan. Seolah berdengung di telinga hingga terasa seperti tertusuk-tusuk. Tubuhnya tak berdaya, beberapa selang dan alat proteksi terpasang di tubuh yang sangat kurus itu, terlebih mulut yang menganga dengan selang infus dalam mata terpejam, seperti tidur gelisah. Tubuhku ambruk dan kepalaku bersandar hampa saat terduduk lemah di samping tempat tidur besi ini yang seketika membuatku menangis terisak.
Rasanya menyakitkan, Tuhan, melihat kenyataan ini. Seperti tak adil untuknya! Dia mencintaiku? Sangat mencintaiku? Tapi mengapa aku baru tahu bahwa ia tengah berjuang melawan sakitnya?
Lagi-lagi tangis terisak ini pecah dan tak bisa kutahan. Firhan yang menyusul seketika memelukku dalam mata berbinarnya yang sedih. Dia membiarkanku menangis di pundaknya, menangisi seseorang yang entah aku tidak tahu, apa aku masih mencintainya atau tidak.
Setelah aku cukup tenang dan Firhan memandangku yakin, dia lalu meninggalkan aku. Aku memandang tubuh itu, tubuh dalam kerapuhan dan tak berdaya yang tengah terbaring dan hidup dengan bantuan alat, selama beberapa hari dia koma.
"Daniel.… " suara berbisik yang mengerikan terdengar sendiri di indera pendengarku dan membuatku menangis terisak. "Aku ada di sini. Tegarlah, aku mau kamu kuat! Banyak yang menunggumu di sini! Kalahkan mereka dan bangunlah, Daniel! Aku mohon?"
Lagi-lagi airmata itu menetes dan membuat tangisan ini sejadi-jadinya tak berkesudahan. Rasanya dadaku bergemuruh dan sesak.
...* * *...
Setelah makan malam, aku dan Firhan hanya berdiam diri. Kami memang kembali ke rumah temannya itu dan menempati beberapa hari di sana. Sedari tadi, hanya keheningan yang terasa. Dia juga tidak ingin menggangguku dan sesekali menghiburku.
"Nes, aku tahu kamu sedih, tapi aku mohon, pikirkan kandunganmu juga!" sela Firhan di keheningan ini. Dia memandangku dengan berbinar.
Itu terakhir kalinya dia bisa melihat dunia ini!
Airmataku menetes lagi, saat mengingat wajah pucat dan susah payah Daniel mengejarku.
"Kamu mau ke rumah sakit besok? Aku antar?" tawar Firhan yang entah apa di pikiran lelaki itu.
Aku menggeleng. "Aku tidak akan lagi menemuinya,"
"Kenapa? Dia butuh dukungan dan semangatmu. "
Wajahku seketika terangkat dan memandangnya yang tengah duduk berjarak di depanku, memandangnya dengan linangan airmata.
Apa semudah itukah? Terbuat dari apa hatimu, Sayang?
Tatapanku begitu mirisnya dan rasa sedih dan sesak seketika menohok dalam benak ini, terlebih kala wajah itu berusaha keras tersenyum semanis mungkin hanya menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Aku tahu dia terluka. Hanya untuk kebahagiaanku, dia rela menahan dan mengatakan hal itu. Tapi tidak! Aku tidak ingin membuatnya menderita.
"Fir, kamu merelakanku dengannya?" kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut dan alhasil membuat hatiku pahit saat pandangan pasrah dan mengalahnya ada di sana dalam mata berbinarnya.
"Bukan begitu, Sayang. Aku tahu, cintamu untuknya masih ad, kan?" dia tersenyum getir. Lalu melanjutkan kalimatnya. "Tidak mudah melupakan cinta yang begitu lama dan sudah berakar. Dan aku … mengikhlaskan untuk kamu nikahi—"
"Apa yang ada dalam pikiranmu, sih? Apa-apan ini? Kamu memintaku menikah dengan lelaki lain? Mengkhianati cintamu dan janji kita?" nada suaraku naik satu oktaf memandang Firhan tajam.
"Bukan itu maksudku, Nes. Aku hanya ingin membuatmu bahagia! Kalian saling mencintai dan mungkin saja dengan cara itu Daniel bisa sembuh! Aku ridho, Sayang, aku ridho dia jadi suami keduamu da—"
"Astaghfirullah. Demi Allah, Firhan, aku tidak ingin melakukan itu dan tidak akan melakukannya! Sekali pun misalnya aku mencintainya, bukan berarti aku mengkhianatimu, menikah dengan lelaki lain! Pernikahan didasari dengan kesucian, Fir, bukan untuk di permainkan dan dilanggar! Apa yang ada dalam pikiranmu saat ini? Apa yang telah merasukimu hingga mengatakan hal bodoh seperti itu? Aku mencintaimu, Firhan, aku sangat mencintaimu! Meskipun aku mencintainya, itu hanya cinta sebagai seorang teman, tidak lebih," suaraku meninggi dengan emosionalnya yang membuat airmata ini mengalir, begitu pun lelaki di depanku ini.
Mengapa dia jadi minder sepertu itu, sih? Tidak tahukah dia bahwa dirinya begitu sangat berharga?
"Aku mohon, jangan memintaku lagi seperti itu, aku mohon … Aku sangat mencintaimu, kamu sangat berharga untukku, Firhan, aku mohon?" aku memelas menatapnya sedih dan pilu, lalu berhambur memeluknya, dia terisak dan mendekapku semakin erat.
Yeah, dia suamiku! Meski dalam keterlukaannya, dia masih memikirkan perasaan orang lain. Kau ini sebenarnya bodoh atau apa sih, Sayang?
Entah terbuat dari apa hatimu, Fir, sehingga kamu berpikir sampai ke sana, tidak peduli itu membuatmu terluka dan sakit atau tidak.
Aku semakin mendekapnya erat dalam tangisku.
"kamu tidak mencintaiku, ya?" tanyaku di sela Isak tangis. Pertanyaanku itu membuat dekapannya terlepas dan memandangku dalam mata sembab.
"Bodoh! Pertanyaan macam apa itu! Kau sudah tahu jelas, aku mencintaimu, bahkan sejak pertama aku melihatmu di perpustakaan saat itu," akuinya masih menatapku dalam mata berkaca-kaca.
"kalau begitu jangan melepaskanku, Sayang, jangan merelakan aku dengan pria lain, jangan bertingkah bodoh! Aku masih ingin melihatmu bermain dengan anak-anak kita, mendengar mereka berlarian di rumah kita sambil memanggilmu ayah dalam tawanya, aku ingin melihat wajah keriputmu sambil memelukku di dalam satu ranjang yang menikmati musim dingin, kau sangat berharga, jadi tolong jangan lepaskan aku, jangan tinggalkan aku," racauku dalam tangisan hingga dia berhambur memelukku, lalu mencium bibirku dengan intens.
...* * * *...