NovelToon NovelToon
Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Suami Tak Berguna
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Rizky Rahm

Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saran

Setelah beberapa saat, Max beranjak dan menemukan Laura di dapur. Wanita itu duduk merenung. Max tidak langsung bergabung, dia memandangi wajah Laura sejenak, kemudian dia menghela napas.

"Aku akan membuat sarapan. Apa ada pesanan khusus, sarapan yang kamu inginkan," Max berkata dengan nada santai, langkahnya mantap saat mendekat. Laura menoleh dan dia menerbitkan senyum terbaiknya.

Butuh beberapa detik, baru Laura membalas senyumannya. "Apa kamu tahu, Max, kamu memiliki senyum yang sangat menawan."

Max tergelak, dia mengenakan celemek tanpa mengalihkan tatapannya dari Laura. "Sedikit angkuh memang, tapi aku tahu, Lau."

Laura mendengus, "aku yakin banyak dari klienmu yang tergoda denganmu."

"Itukah yang kamu rasakan?" Max melemparkan pertanyaan yang langsung membuat Laura gelagapan.

"A-aku katakan orang lain." Laura mengalihkan tatapannya ke sembarang tempat. Kemana pun asal tidak ke arah Max. Sayangnya, wajahnya yang merah tetap tidak bisa dia sembunyikan. Max bisa melihatnya dengan jelas.

"Aku tidak tahu." Ucapan Max membuat Laura kembali menoleh.

"Atau kamu hanya pura-pura tidak tahu demi menghindari masalah, Max?"

Max hanya mengangkat bahunya acuh tidak acuh.

"Apa adakah batas waktu kontrak yang kamu tentukan, Max."

"Biasanya hanya satu bulan. Aku menyelesaikan pekerjaanku hanya dalam waktu satu bulan. Paling lama."

Laura menggigit bibirnya mendengar jawaban Max. Sangat singkat. Menurutnya.

Ah, ada apa denganku. Apa aku mulai menginginkannya untukku selamanya.

"Bagaimana jika klienmu menginginkan waktu lebih banyak?"

"Aku lah aturannya, Lau. Aku tidak ingin melanggar aturan yang kubuat sendiri."

Laura mendadak merasa malu. Dia terlihat seperti perempuan yang haus akan segalanya, dan menuntut hal itu dari pria lain.

"Eum, apa yang akan kamu masak?" Laura mengalihkan topik sebelum ia benar-benar mengumumkan dengan jelas bahwa dia ingin Max bersamanya selama waktu yang dia inginkan.

"Hanya ada telur, sosis, beberapa buah. Kuharap kamu tidak keberatan dengan itu."

Laura menggeleng, "aku tidak pernah mengeluh. Dan ini pertama kali seseorang memasak untukku. Jadi bagaimana mungkin aku akan mengeluh."

"Suamimu tidak pernah memasak untukmu?" Max mulai memasak.

"Tidak pernah. Dia tidak punya waktu untuk itu."

"Dia pasti sangat sibuk sekali."

"Ya, sangat sibuk sekali."

"Bagaimana dengan Sheila?"

Laura mengerutkan keningnya. Bagaimana Max tahu tentang Sheila. Kapan mereka bahas itu. Ia tidak ingat dirinya pernah membahas hal itu.

"Bagaimana kamu tahu tentang Sheila, Max."

Max yang sedang mengocok telur, mendadak menghentikan gerakan tangannya, dia mengangkat kepala, mata mereka bertemu. Laura menatapnya heran, bingung, juga menuntut penjelasan.

"Kamu menceritakannya tadi malam," Max menjawabnya dengan tenang. Keningnya perlahan mengerut, seolah pria itu juga sedang bingung.

Laura masih menatap Max dengan bingung. Ia mencoba mengingat kapan ia menyebutkan Sheila tadi malam, tapi memorinya terasa samar. Apa mungkin ia mengatakannya dalam keadaan setengah sadar?

"Kamu lupa?" Max mengulangi pertanyaannya, ekspresinya sedikit berubah—bukan sekadar menggoda, tapi seperti sedang mengamati reaksinya dengan cermat.

Laura mengerjapkan mata, lalu berdeham pelan, mencoba menyembunyikan kebingungannya. "Mungkin aku terlalu lelah semalam," katanya akhirnya. "Tapi ya, Sheila adalah sahabatku. Satu-satunya orang yang selalu ada untukku."

Max tidak langsung menanggapi. Matanya kembali fokus pada wajan, tapi ada jeda dalam gerakannya seolah ia sedang memikirkan sesuatu.

"Kamu menyebutnya orang terbaik yang pernah kamu miliki," katanya setelah beberapa saat.

Laura tersenyum tipis, "Ya, dia memang begitu."

"Aku penasaran," Max menuangkan kocokan telur ke wajan, suara desisannya memenuhi dapur, "jika dia begitu baik, kenapa dia tidak ada di sini bersamamu sekarang?"

Laura terdiam. Senyum di wajahnya memudar perlahan. Pertanyaan itu sederhana, tapi menghantam bagian terdalam dari dirinya.

"Dia sibuk," jawabnya singkat.

Max menoleh, alisnya terangkat sedikit. "Sibuk?"

Laura mengangguk, berpura-pura sibuk mengaduk kopinya yang sebenarnya sudah dingin. "Ya, dia punya kehidupannya sendiri."

Ada keheningan yang menggantung di antara mereka, hanya suara wajan yang masih menggoreng telur sebagai latar belakang.

Max memperhatikan Laura dengan lebih dalam. Dari cara wanita itu meremas cangkirnya, dari bagaimana bahunya sedikit tegang, dia tahu bahwa ada lebih dari sekadar "sibuk" di sana. Tapi Max tidak menekan lebih jauh.

Sebaliknya, ia hanya tersenyum tipis dan berkata dengan nada lebih ringan, "Kalau begitu, aku adalah orang kedua yang memasak untukmu. Itu pencapaian yang cukup bagus."

Laura menatapnya, lalu tersenyum kecil. Seperti biasa, Max tahu bagaimana mengubah suasana tanpa membuatnya semakin canggung.

"Ya," katanya akhirnya, "dan ini cukup menyenangkan."

Max tertawa kecil, lalu meletakkan telur yang sudah matang ke atas piring. "Sarapan sudah siap, Mam."

Laura bertepuk tangan kecil, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapat kejutan. "Wow, ini wangi sekali!" serunya dengan antusias.

Max terkekeh melihat reaksinya. Namun, saat Laura hendak mengambil garpu, Max tiba-tiba menarik piringnya kembali.

"Tunggu, ada yang kurang," katanya dengan nada serius.

Laura mengerutkan kening. "Hah? Apa? Garam? Lada?"

Max tidak menjawab. Ia hanya mengambil botol saus tomat dari rak dan dengan gerakan santai, mulai menuangkan saus di atas telur dadar. Laura mengira dia hanya akan menambah rasa, tapi kemudian matanya membesar saat melihat bentuk yang dibuat Max.

Sebuah hati.

Max meletakkan kembali piringnya di depan Laura dengan senyum kecil penuh arti. "Nah, sekarang sempurna," katanya santai.

Laura terdiam beberapa detik, menatap bentuk hati di atas makanannya. Pipinya mulai memanas. "Kamu… sengaja, ya?" tanyanya dengan suara yang sedikit lebih pelan dari biasanya.

Max menyandarkan diri ke meja dapur, menatapnya dengan tatapan menggoda. Lalu kemudian mengangkat bahunya.

Laura berdehem, mencoba mengabaikan debar jantungnya. Ia mengambil garpu dan mulai memotong telur tanpa menatap Max. "Baiklah, aku akan pura-pura tidak melihat ini," gumamnya, meskipun senyum kecil tetap bertahan di wajahnya.

Max tertawa pelan. "Pura-pura tidak melihat atau pura-pura tidak terpengaruh?"

Laura mendelik ke arahnya, lalu cepat-cepat menyuap telur ke dalam mulutnya, berharap makanan itu bisa mengalihkan perhatiannya dari pria di depannya yang tampaknya semakin senang menggoda dirinya.

"Enak sekali!" Pujinya, dan itu benar. Dia menyukai masakan Max.

"Senang mendengarnya," Max menarik kursi untuk dirinya. Pun ia mulai menikmati sarapannya. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

"Pulang," kata Laura dengan nada enggan. "Ada dokumen yang harus kutandatangani."

"Dokumen?" Max bertanya seperti angin lalu, seakan dia tidak penasaran dengan itu.

"Ya, mungkin kontrak kerja sama yang memang membutuhkan persetujuan dariku."

"Suamimu masih membutuhkan itu darimu."

"Ya, aku masih pemilik saham terbanyak di perusahaan. Warisan orang tuaku," jelasnya.

Max mengangguk-anggukkan kepala.

"Mau kuberi saran, Lau," ucapnya kemudian.

"Saran?" Laura terlihat bingung. Bingung melihat cara Max menatapnya. Serius dan dingin.

"Jangan terlalu mempercayai orang-orang di sekitarmu, termasuk aku."

1
lyani
bang iky...vote nya k lau aja y ....elara ngga usah?
lyani
semoga max tak jauh beda dengan Nic.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
lyani
korban lagi... kalian mgkn senasib
lyani
nahhhh betul
lyani
paman Robert bukan si yg nyuruh
lyani
pasti
lyani
nahhhh
lyani
sdh menduga ada org dibalik max....nah siapakah?
lyani
ahhhh akhirnya setelah sekian lama terlihat
lyani
nahhhh betul
lyani
kesalahan Laura saat memegang perusahaan sepertinya Krn jebakan
lyani
hati2 dengan dokumen lau
lyani
max ini teman kecil Laura mgkn?
lyani
betul
lyani
ooooooooooo
lyani
max....mata2 ayah Laura kali.....maximal bener penasarannya dahhhhhhh
lyani
seila dan ibunya?
lyani
msh seribu tanya....
lyani
hidup si pilihan lau...
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
lyani
meninggalnya ortu Nic ada hubungannya dengan ortu Laura atau mungkin dengan Laura sendiri ngga si?
malangnya Laura
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!