NovelToon NovelToon
Pengantin Pengganti

Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pengantin Pengganti / Pelakor / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Persahabatan
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Sesampainya di rumah sakit, Rangga menemani istrinya masuk ke ruang kerja.

Ia melirik tumpukan kertas di meja dan tinggal beberapa lembar saja. Rangga tersenyum tipis, menandakan kalau pekerjaan Nayla hampir rampung.

“Nay, duduklah sebentar. Aku ingin bicara denganmu,” ucap Rangga pelan.

Nayla menaruh tasnya, lalu duduk di hadapan suaminya, merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

“Ada apa, Mas? Apa aku melakukan kesalahan?” tanyanya, cemas mulai menyelinap di nadanya.

“Tidak, Nay. Justru aku ingin bertanya, setelah pekerjaanmu selesai... kamu ingin apa? Uang? Atau liburan?” Rangga menatapnya dengan lembut.

Nayla menggeleng pelan, menahan helaan napas.

“Aku nggak mau apa-apa, Mas.”

Tapi sebenarnya ia ingin berkata, 'Aku ingin kamu mengerti. Bukan tentang uang, bukan tentang liburan. Tapi tentang dirinya yang ingin diakui. Tentang lelah yang tidak selalu butuh hadiah, hanya butuh dihargai.'

“Nay, jangan begitu. Kamu boleh pikirkan dulu. Kalau sudah tahu jawabannya, beritahu aku,” kata Rangga, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan keluar.

Nayla hanya bisa mengangguk, meski hatinya menjerit ingin mengejar dan menjelaskan. Tapi lidahnya kelu, seperti biasa.

Nayla masih duduk diam. Pandangannya kosong menatap tumpukan kertas yang nyaris selesai, tapi pikirannya justru semakin penuh.

Pertanyaan Rangga menggema, bukan karena kata-katanya, tapi karena betapa asingnya kedekatan itu sekarang.

Ia mengusap wajahnya pelan, seperti ingin menghapus rasa sesak yang mulai menekan dadanya.

Bukan karena lelah bekerja. Tapi karena lelah merasa sendiri di tengah kebersamaan.

Ia berdiri perlahan, lalu membuka jendela ruangannya.

Angin menyapu rambutnya, membawa suara burung-burung dan suara sirine dari kejauhan. Semua terdengar begitu hidup—kecuali hatinya.

Di luar, Rangga sedang berbincang dengan seorang perawat. Ia tersenyum, seperti tak ada beban.

Nayla menatapnya dari balik jendela, ingin sekali berkata: Lihat aku. Dengarkan aku. Aku ada di sini, Mas.

Tapi lagi-lagi, ia hanya bisa memandangi punggung itu.

Jam menunjukkan pukul dua siang dimana Rangga kembali masuk ke ruangan istrinya.

Rangga melihat kertas-kertas pekerjaan Nayla yang sudah selesai semua.

"Terima kasih Nay. Ayo aku antar pulang ke rumah." ucap Rangga.

Nayla menganggukkan kepalanya dan ia memberikan flashdisk yang berisikan semua laporan pekerjaannya.

Rangga kembali mengucapkan terima kasih kepada istrinya yang sudah banyak membantunya.

Di luar ruang perawatan, lorong rumah sakit terasa lebih sunyi dari biasanya. Langkah mereka bergema, tapi tidak menyatu.

Ada jarak yang tak kasat mata, namun terasa begitu nyata.

Kemudian Rangga melajukan mobilnya menuju ke rumah.

"Apa kamu mau makan siang di luar?" tanya Rangga.

"Bukankah Mas tidak suka makan diluar." jawab Nayla yang masih ingat dimana Rangga pernah mengatakan kalau ia tidak suka makan diluar.

Rangga terdiam sejenak, memfokuskan perhatian pada jalan yang semakin lengang.

Rasa hening yang menggantung di antara mereka terasa semakin dalam, meskipun suara mesin mobil menjadi satu-satunya suara yang terdengar.

“Aku hanya... ingin sesuatu yang berbeda,” jawab Rangga pelan, matanya tetap tertuju ke depan, enggan bertemu pandang dengan Nayla.

Nayla menatapnya dari samping. Ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya.

Bukan hanya sekadar keinginan makan di luar, tapi ada sesuatu yang tak terucapkan. Sesuatu yang menyelubungi kata-kata itu.

“Mas, kalau ada yang ingin kamu bicarakan, aku...” Nayla mulai, namun suaranya seakan terhenti di tenggorokan.

Ia menyesap napas dalam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat, namun yang keluar hanya keheningan.

Rangga menatap kaca spion, mencoba menghindari tatapan Nayla.

“Kita akan sampai rumah sebentar lagi. Mungkin nanti bisa bicara.”

Tapi Nayla tahu, kata-kata itu hanyalah penundaan. Semua yang tak terucapkan sudah lama mengendap, menunggu untuk dibicarakan.

Hanya saja, waktu dan tempat yang tepat seakan selalu menghindar.

Mereka telah sampai di rumah dan Rangga meminta maaf karena tidak bisa menemani Nayla makan siang.

Rangga baru ingat kalau masih ada pasien yang sedang menunggunya.

"Iya Mas. Tidak apa-apa." ucap Nayla.

Nayla mengangguk, meski hatinya sudah mulai terasa berat.

Rangga kembali melajukan mobil tanpa sempat menatapnya lebih lama, meninggalkan Nayla dalam keheningan.

Nayla melangkah masuk ke rumah, membiarkan pintu tertutup di belakangnya, sementara pikirannya berkecamuk.

"Non Nayla sakit?" tanya Bi Ina yang selalu perhatian kepada Nayla.

"Nggak Bi, Aku hanya kecapekan saja." jawab Nayla.

Rasa sakit ini bukan hanya di hati tetapi di pikiran.

Tubuhku terlihat baik-baik saja tetapi tidak di jiwaku yang sudah hancur lebur.

"Non Nayla cuci tangan dulu ya, Bi Ina sudah masak kesukaan Non Nayla"

Nayla menganggukkan kepalanya dan ia sangat beruntung bertemu dengan Bi Ina yang sangat tahu apa kesukaannya.

Setelah mencuci tangan dan kakinya, Nayla bergegas menuju ke ruang makan.

Ia melihat soto ayam dan kelengkapannya yang sudah di atas meja makan.

Nayla mengambil piring dan mulai meracik soto ayam kesukaannya.

"Non, bibi ke supermarket sebentar. Buah kesukaan Den Rangga sudah habis."

"Iya Bi, Hati-hati."

Nayla mengambil sendok dan menikmati makanannya.

Disaat menikmati sarapannya tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan Tante Ida.

"NAYLA!" suara Tante Ida menggema di seluruh ruangan, tanpa sedikit pun sopan santun.

Nayla hanya melirik sekilas, enggan menanggapi wanita itu yang menerobos masuk tanpa izin.

Dengan langkah cepat dan penuh amarah, Tante Ida mendekat dan tanpa ragu menyapu bersih semua makanan dari atas meja makan.

"Berikan kalung itu, atau aku hancurkan semuanya!" gertaknya dengan mata membara.

Nayla bangkit dari kursinya dengan tenang, namun sorot matanya tajam menatap Tante Ida.

"Aku tidak tahu apa yang Tante bicarakan," ucapnya dingin.

Tante Ida mencengkeram lengan Nayla dengan kasar.

"Jangan pura-pura bodoh! Kalung peninggalan Anita! Aku tahu kau yang menyimpannya!"

Nayla menarik lengannya dan mundur satu langkah.

"Itu warisan orang tua Mas Rangga. Dia memberikannya padaku karena sekarang aku istri dari Mas Rangga!"

Amarah Tante Ida memuncak. Tangannya sudah terangkat seolah siap menampar, tapi Nayla lebih cepat.

Ia menggenggam kalung yang tersembunyi di balik kerah bajunya dan menunjukkan liontin peraknya.

"Kalau memang ini yang Tante inginkan, ambil saja..." ucap Nayla lirih, namun ada tantangan tersembunyi dalam suaranya.

Tante Ida terdiam. Tangannya gemetar, tapi bukan karena emosi melainkan rasa bersalah yang tiba-tiba muncul. Wajahnya berubah, namun hanya sesaat.

""Aku akan mengambilnya, cepat atau lambat," ucap Tante Ida sambil berbalik. Tepat sebelum melangkah pergi, ia mengambil toples kaca dan akan melemparkannya ke arah Nayla.

Nayla langsung reflek dan toples kaca itu mengenai pigura foto Anita yang tergantung di dinding.

Braak!

Kaca pigura pecah, serpihannya berhamburan di lantai. Nayla terlonjak kaget, tubuhnya gemetar.

Dalam hati, ia diliputi ketakutan. Bagaimana jika Rangga tahu? Dia pasti marah besar.

Tante Ida tersenyum sinis sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi begitu saja, meninggalkan kekacauan.

Agil buru-buru mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan kepada Rangga agar lekas pulang.

Rangga yang sedang dalam perjalanan segera membaca pesan itu.

"Apa Nayla pingsan?" gumamnya khawatir. Ia langsung membelokkan setir dan menekan pedal gas dalam-dalam.

Sementara itu, Nayla berjongkok, berusaha mengumpulkan pecahan kaca yang berserakan.

"Kenapa semua orang membenciku? Apa salahku, Tuhan?" bisiknya lirih, air matanya menetes satu per satu.

Tiba-tiba, serpihan kaca melukai telapak tangannya. Darah mengalir, tapi Nayla mengabaikannya.

Yang penting, semuanya harus bersih. Rangga tidak boleh melihat kekacauan ini.

Begitu tenggelam dalam pikirannya, Nayla tidak sadar bahwa Rangga telah berdiri di belakangnya.

"Apa yang kamu lakukan, Nay?" Suara bariton Rangga terdengar dingin dan berat, membuat Nayla tersentak kaget.

Ia buru-buru menoleh, mendapati suaminya sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan tajam yang penuh kemarahan. Wajah Nayla pucat, tangannya gemetar memegang sapu kecil dan serbet yang dipenuhi serpihan kaca.

"A-aku… aku hanya membersihkan pecahan kaca pigura, Mas," ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.

Tanpa berkata apa-apa, Rangga meraih sebuah map lusuh dari atas meja dan mengeluarkan selembar kertas—surat perjanjian yang dulu ia buat dengan nada ancaman. Isinya jelas: Nayla dilarang menyentuh barang-barang peninggalan Anita, apalagi pigura foto itu.

"Sudah aku peringatkan, Nay," ucap Rangga dengan nada tajam. "Kenapa kamu tetap menyentuhnya?"

"Aku nggak memecahkannya, Mas. Tadi, Tante Ida yang melemparkan toples dan mengenai pigura ini. Dan Aku mau membersihkannya," jelas Nayla, berusaha tenang meski hatinya bergetar.

Rangga mendekat, nadanya meninggi. "Omong kosong! Kalau bukan kamu, siapa? Ada saksi?"

Nayla menggeleng pelan. Tak ada Bi Ina, tak ada siapa pun. Hanya dirinya dan kesunyian yang kini membungkamnya.

"Kamu tahu," lanjut Rangga, kini dengan suara yang menusuk. "Aku mulai berusaha memperlakukan kamu dengan lebih baik. Tapi ternyata kamu malah menyalahgunakannya. Apa kamu pikir dengan cara seperti ini kamu bisa menggantikan posisi Anita?"

Air mata mulai menggenang di mata Nayla.

"Kamu itu cuma bayangan, Nayla. Sekadar pelengkap. Jangan pernah bermimpi jadi Anita. Kamu bukan dia, dan kamu tidak akan pernah jadi dia."

Nayla tertawa lirih, getir.

"Aku tahu aku hanya pengganti, Mas," suaranya bergetar, namun tetap tegar. "Tapi aku bukan wanita yang akan merendahkan diri hanya untuk jadi bayangan orang yang sudah tiada. Aku masih punya harga diri, meskipun di mata kamu aku nggak pernah punya arti."

Rangga terdiam, tapi bukan karena menyesal. Tatapannya tetap dingin, membatu.

Ia berbalik dan melangkah ke kamar, meninggalkan Nayla dengan tangan yang masih berdarah dan hati yang lebih hancur daripada pecahan kaca di lantai.

1
seftiningseh@gmail.com
hai kak semangat yaa bust update selanjutnya aku tunggu oh ya jangan lupa baca chat story aku judul nya love after marriage
✿🅼🅴🅳🆄🆂🅰✿: Minimal di like lah... kalau punya request kek gitu./Smug/
my name is pho: ok kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!