karya tamat, novel ini hanya pembentukan world-building, plot, dan lore kisah utama
kalian bisa membaca novel ini di novel dengan judul yang lain.
Karena penulisan novel ini berantakan, saya menulisnya di judul lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Transmigrasi (3)
Natasya, heroine utama James, tak kusangka yang kutemukan pertama kali adalah dirinya. Aku membuat tokoh ini dengan sifat penuh semangat dan percaya diri, sesuai dengan warna rambutnya yang merah membara.
Namun, bertemu dirinya di latar waktu bagian prolog secara nyata, membuatnya tampak seperti anak kecil polos dan pemalu.
Nama lengkapnya adalah Natasya Dea, nama yang kuambil dari salah satu mantanku, Nasya Dewi Alfariza: “Natasya” dari Nasya dan “Dea” dari Dewi Alfariza.
“Yah, mau bagaimana lagi. Sebagai Yoga, aku terbentuk karena mantan-mantanku,” gumam batinku dengan senyum. Walau dunia tak dapat mendengarnya, aku tahu melihat Natasya secara nyata seperti melihat bagian dari masa laluku.
Dia tampak tenang, tak banyak bicara. Tubuhnya lebih pendek dariku, dan aku penasaran berapa usianya. Aku belum menentukan umur Natasya dalam gambaran besar naskah yang kubuat.
“Nasya, berapa usiamu?” tanyaku sambil menyusuri desa.
Natasya yang berjalan di belakangku menanggapinya.
“...lima tahun,” jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar.
Selisih satu tahun lebih tua dariku, namun tubuhnya lebih mungil.
“Ehhh seriusan? Kamu kecil padahal satu tahun diatasku, hehehe...” godaku.
Raut wajahnya kini cemberut; baginya, itu terdengar seperti ejekan.
“Lala itu mirip anak laki-laki! Sering ngejek!” balas Natasya kesal, suaranya kini terdengar lebih jelas walau tidak keras.
Wajar saja, karena aku memang seorang pria di dalam tubuh anak perempuan.
“Ehh, sering? Padahal baru ngomong...” lanjutku sambil tersenyum.
“Maksudku, anak laki-laki itu sering mengejek,” kesal Natasya.
Kami menyusuri desa, melewati pemukiman warga. Tatapan nyaman dari para penghuni desa Carrington memang terbaik; tak ada niat jahat, hanya tatapan orang-orang dewasa melihat dua gadis kecil bersenda gurau.
Dari kejauhan, aku melihat punggung dua bocah laki-laki: satu rambut hitam legam dan satu lagi berambut biru, dengan pakaian mahal.
Di belakangku, Natasya tiba-tiba berlari dan berhenti di depanku. Langkah kami terhenti.
“James! Ryan!” teriak Natasya, memecah jarak di antara kami dan dua bocah dari kejauhan.
Mataku membelalak, menoleh pada Natasya. Dalam pikiranku, hanya satu yang terlintas:
“James? Ryan?”
Tidak seperti premis yang kubuat. Seharusnya latar waktu sekarang adalah prolog yang akan aku tulis: James menolong Natasya, dan Ryan datang sebagai tukang bully.
“Bagaimana mereka bisa saling mengenal?”
Dua bocah itu menoleh pada kami, berlari mendekat.
“Oii, Natasya,” teriak James, rambut hitam legamnya.
“Kami mencarimu, ibumu sangat khawatir!” Ryan, berambut biru.
Natasya menghampiri mereka.
“Aku baik-baik saja,” senyumnya menghilangkan kegelisahan.
Aku hanya menatap dari posisiku. Ketiga tokoh masa kecil ini ternyata sudah saling mengenal sejak prolog.
“Lagi-lagi kamu membuat khawatir kami juga, ibumu,” ketus James pada Natasya.
“Ya! Betul itu!” sembur Ryan. Nadanya sedikit kesal.
“Aku baik-baik saja, lagipula aku punya teman baru!” santai Natasya, lalu menatapku.
“Lala! Kemari sini, ini teman-temanku!” gumamnya sambil melambaikan tangan.
Aku menghampiri mereka. Kutatap James, tersenyum padaku, sedangkan Ryan… entah kenapa wajahnya terkejut dan panik.
“L-lala R-Rosalia?!” Ia menunjukku.
Sontak aku terkejut. Bukan hanya aku, James dan Natasya juga sama.
“Ehh, kamu sudah kenal gadis ini, Ryan?” goda James menutupi senyum dengan lengannya.
“Ehh... kamu mencurigakan, Ryan,” ketus Natasya.
“A-apa kita pernah berjumpa?” tanyaku pada Ryan.
Ryan tersadar.
“E-ehh maaf, ini pertama kalinya aku melihat Natasya mempunyai teman selain kami, hehehe.”
“Ohhh, padahal aku tidak menyebut nama?” aku menimpali, penasaran.
“T-tadi Natasya memanggil namamu...” Ryan membela diri.
“Ga, Nasya ga nyebut nama belakangku...” tegasku, menyudutkan Ryan.
James dan Natasya hanya menatap kami.
“N-nyebut kok, tadi Natasya nyebut nama panjangmu juga... Kamu cuman ga sadar, Lala,” Ryan mencoba mengelak.
“Ahh, aku ga ingat sih nyebut nama panjang Lala, tapi Ryan ga mungkin bohong,” Natasya menyentuh kepalanya, berusaha mengingat.
“Hmm, siapa Nasya?” James memotong.
“Ahh, itu panggilan Lala untukku... hehehe,” Natasya menimpali.
“Ohh, Nasya ya... Jadi kenalin namaku James. Apa aku punya nama panggilan darimu, Lala?” matanya bersinar padaku.
“Hiraukan anak bodoh itu, Lala. Dia memang seperti itu,” Ryan mencoba mengikuti arus.
“A-ahh, salam kenal. Aku panggil kamu James aja, dan kamu Ryan kan?”
“Y-ya,” Ryan dan James serentak menjawab. Ekspresi mereka berbeda: James kecewa tidak mendapatkan nama panggilan, Ryan girang dengan perubahan topik.
“Ya, nanti juga ketahuan sih... ada yang disembunyikan,” pikirku.
Setelah perkenalan singkat, Natasya bergegas ke tempat ibunya, yang sedang mencarinya. Kami melambaikan tangan perpisahan. James berkata,
“K-kami bakal main sama kamu kapan-kapan.”
Sepertinya anak berambut biru itu punya rahasia besar tentang Pe and Kob dan ketertarikan padaku.
“Yah, nanti ku cari tahu saja.”
Aku melangkah kembali ke rumah. Event prolog sudah selesai, tapi berbeda dengan rencana awal. Tiga teman masa kecil sudah saling mengenal, mungkin jauh dari latar waktu sekarang. Apa pemicunya hingga berbeda?
Pertanyaan demi pertanyaan membentang di kepalaku.
“Mungkin karena aku menjadi Extra?”
“Mungkin Lala bukan sekadar Extra?”
“Aku tidak pernah membuat tokoh Lala pada naskah ini.”
Rasa takut dan gelisah menghantui pikiranku.
“Mungkin maksud suara perempuan yang kudengar di alam baka tentang menulis dari dalam, apa maksudnya aku harus menyelesaikan naskah ini? Novel yang menyebalkan.”
Lala Rosalia adalah bentuk anomali dari penulisnya sendiri. Aku yang kini menjadi dirinya.
“Apa James dan Ryan sudah berteman dengan Lala? Bocah tubuh ini,” tanganku menyentuh dada sendiri. Rasanya aneh.
Langkah kakiku kecil. Di tengah langkah, aku melihat Dave dan Liria berlari seolah aku adalah anak yang hilang. Mereka khawatir dengan ingatan Lala, dan aku juga. Jika ingatan Lala kembali, apa ingatanku akan tertimpa semua, tergabung dengan kenangan sebagai Yoga Permana?
Mereka sangat panik, namun aku hanya menjawab sederhana. Walau harus diomeli mereka, aku tertunduk. Mana mungkin aku bertaruh pada nasib jika kesempatan tepat ada di depan mata.
Aku juga menjelaskan bahwa aku memiliki teman baru.
“Aku sudah beritahu pada gadis yang dipanggil Nasya, nanti Nasya akan datang ke rumah bermain denganku.”
Sedikit lega, Dave dan Liria tidak tampak marah lagi. Kami melangkahkan kaki ke arah rumah.
Terkadang, apa yang kita rencanakan memang tidak sejalan. Cobalah bersikap rasional dan tenang. Jangan gegabah saat mengambil keputusan. Pikirkan inti masalah, selesaikan. Kesampingkan masalah yang belum mampu diatasi, dan carilah solusi pada masalah yang cukup sesuai kemampuan.
Sebagai Yoga Permana, penulis novel ini, aku merasa ditantang dengan hal yang tak dapat dimasukkan akal. Transmigrasi ke dalam novel membuat kepalaku sakit, dan sekarang aku harus menjadi Lala Rosalia, putri Dave Rodriguez dan Liria Elphene, tokoh Extra yang tak pernah aku rancang.
Contoh salah: "Aku lelah." keluhku.
Contoh benar: "Aku lelah," keluhku.
Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian saya tidak akan pernah menyelesaikan rangka awal kisah ini.
Terimakasih untuk para reader yang sudah membaca kisah ini hingga volume 1 selesai.
Terimakasih atas dukungan kalian selama ini.
Novel ini tamat dalam bentuk naskah kasar. Saya berniat merapihkannya nanti dengan sudut pandang orang ketiga.
Sekali lagi saya ucapkan terimakasih.
Aku menunduk lebih dekat. "Apa-apaan ini …." bisikku, tenggorokanku kering.
Celah itu melebar. Dari dalam, sesuatu merayap keluar, sebuah tangan legam, berasap seakan bara membakar udara di sekitarnya. Jari-jari panjangnya menancap di tepi layar, mencengkeram kuat, lalu menarik celah itu lebih lebar, seperti seseorang membuka pintu ke dunia lain.
Tangan itu terhenti. Perlahan, satu jari terangkat … lalu berdiri tegak. Jari tengah.
Narasi ini jauh lebih baik dan lebih enak dibaca.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.