Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Julian menoleh cepat ke arah Aruna, wanita itu sadar atau tidak dengan kata-kata yang baru keluar dari mulutnya. "Apa katamu?" tanyanya lalu turun dari ranjang.
Aruna berdiri, lalu menatap bingung pria itu. "Apa? memangnya akau bilang apa?" tanya Aruna, rupanya ia tidak sadar dengan yang baru saja di ucapkan.
Justru kekehan keluar dari mulut pria itu. Berarti Aruna tidak sadar telah mengakui kalau Raven itu adalah darah dagingnya. ia semakin mendekatkan badannya ke arah Aruna hingga ia mundur beberapa langkah.
Julian tersenyum sinis, lalu menaikkan Aruna ke atas nakas, lalu menatapnya lekat-lekat. "katakan sekali lagi, kalau Raven itu anakku!" desisnya hingga embusan napasnya menusuk kulit Aruna.
Wajah Aruna mendadak pucat. Bagai mana ia bisa tidak sadar telah mengatakan hal itu. "Ya, bukannya dia memang ingin menjadi anakmu?" tanyanya dengan nada tak yakin.
"Kau benar, aku tidak membantah itu, tapi aku memang ayahnya. Lebih tepatnya ayah kandung!" ucap Julian, menekan di akhir kalimat.
Jantung Aruna berdegup tak beraturan, lalu merutuki dirinya di dalam hati. "Bodoh! Kenapa harus keceplosan."
Sekali lagi Julian menatap Aruna lebih dekat bahkan sangat dekat. Ia mencium bibir Aruna, membuat wanita itu terkejut dengan membelalakkan matanya. Perlahan ia melumat bibir ranum wanita itu. Ada perasaan yang tidak bisa di jelaskan.
Aruna menarik mundur kepalanya. menatap pria itu lekat-lekat. Namun, Julian kembali melumat bibir Aruna dengan lembut, tangannya menelusuri setiap inci tubuh wanita itu. Napasnya semakin memburu, ia menarik tubuh wanita itu hingga tidak ada jarak di antara mereka.
Momen penuh romansa itu berlangsung cukup lama. Keduanya saling mengimbangi, menjadi malam yang tak terlupakan. Julian menarik diri menatap wanita itu penuh hasrat, sementara ia sadar mereka sedang berada di tempat yang salah.
Julian menatap pintu yang sedikit terbuka di sisi tembok, rupanya kamar Raven terhubung langsung dengan kamar Aruna. Pria itu menggendong wanita itu ke sana, lalu merebahkannya di kasur.
"Tunggu, kau mau apa?" tanya Aruna wajahnya terlihat panik.
Pria itu tidak menghiraukan Aruna, ia kembali mencium bibir wanita itu, hasratnya sudah sangat menggebu, ia tidak bisa menahannya lagi. Ia melepaskan jas yang masih menempel di tubuhnya, lalu mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya.
Aruna tidak menyangka, mungkin kejadian lima tahun yang lalu akan kembali terulang. "Stop Julian, sadarlah," ucapnya pelan nyaris berbisik karena takut membangunkan Raven
Julian menatap lembut ke arah Aruna, lalu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Aku sangat sadar Aruna. Kau masih tidak mau mengakui kalau dia anakku?"
Aruna menggeleng cepat. "Raven hanya anakku," ucapnya dengan nada bergetar.
Julian terkekeh, lalu menatap tajam ke arah Aruna. "Baiklah, kalau begitu aku berharap kamu menikmati malam ini!" desisnya penuh penekanan.
Wajah Aruna semakin pucat ketakutan, ia terus menggelengkan kepalanya. pria itu sudah berada di atasnya, menindih tubuhnya dengan erat.
Julian mencengkeram erat tangan Aruna, lalu di letakkan ke atas kepalanya. Ia melanjutkan aksinya mencium pipi wanita itu, semakin lama semakin turun ke leher hingga bagian dada. Wanita itu semakin tersiksa dengan kenikmatan yang di ciptakan pria itu.
"Julian, aku mohon hentikan semua ini!" pekiknya sudah tidak tahan lagi dengan sikap pria itu.
Julian menarik diri, lalu duduk di pinggir ranjang. Ia mengatur nafasnya yang masih terengah-engah. "Aku tidak akan memaksamu lagi. Tidurlah dengan nyenyak," ucapnya, lalu merapikan pakaiannya, perlahan melangkah ke luar.
Aruna beringsut duduk dengan cepat. "Maafkan aku, suatu hari nanti di waktu yang tepat, kau akan mendapat jawaban dari semua rasa penasaranmu," ucapnya, lalu kembali merebahkan diri, menutupi tubuhnya dengan selimut.
Julian tersenyum, lalu kembali mendekati Aruna. ia menundukkan badannya hingga jarak mereka hanya sejengkal. pria itu mendaratkan kecupan manis di jidat wanita itu. "Tidurlah," ucapnya, lalu melangkah cepat meninggalkan kamar itu.
Aruna bergerak salah tingkah menatap kepergian pria itu. Mendadak pipinya memerah karena sedikit malu. "rasanya sudah lama, ya, tidak sedekat ini denganmu," gumamnya.
Sementara Julian langsung bergegas menuju mobilnya, Vincent masih terjaga memainkan ponselnya. "Vincent ayo jalan," perintah pria itu.
"Tunggu, Tuan. Ada yang ingin aku tunjukkan." pria itu mengulurkan ponselnya ke arah Julian.
"Donatur Taman kanak-kanak, maksudnya?" tanya Julian bingung.
Vincent menatap tajam pria itu. "Ini kesempatan bagus untuk Tuan merebut hati Raven dan juga Aruna. Ini sekolahan Raven yang buka donasi," jelasnya.
"Ide bagus. Besok kita ke sana, siapkan seperempat hartaku untuk Taman kanak-kanak itu. Aku tulus berdonasi, tidak ada maksud apa-apa," tutur Julian tidak ingin di bilang mencari kesempatan dalam kesempitan. berdonasi adalah hal yang sudah biasa ia lakukan.
"Baik, Tuan." Vincent melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi berhubung jalanan sudah sangat sepi.
Hanya butuh waktu lima belas menit perjalanan, Julian sudah sampai di hotel. Ia turun dari mobil, lalu masuk ke dalam kamarnya. Ia membersihkan diri mengguyurkan air hangat ke tubuhnya. Untuk merilekskan otot-otot kaku di badannya.
setelah selesai Julian mengenakan baju santai untuk tidur, lalu merebahkan diri ke kasur. tidak lama matanya terpejam, hingga ke alam mimpi yanng indah.
Pagi harinya ia pergi ke sekolahan Raven. Ia menemui kepala sekolah dan membicarakan maksud dan tujuannya datang ke sekolah. Tanpa di duga ia justru di sanjung- sanjung sebagai ayahnya Raven.
Julian hanya pasrah saja di sebut-sebut sebagai ayahnya Raven. Ia tidak bisa harus mulai menjelaskan dari mana. Namun, panggilan anak itu kepadanya seakan mendukung suasana.
Hari ini kepala sekolah memperkenalkan Julian di kelas Raven. Mendadak para guru memperlakukan Raven dengan akrab dan hangat. padahal biasanya orang yang paling di remehkan di kelas itu hanya Raven.
Anak itu terlihat sangat bahagia. Ternyata ia tidak salah pilih ayah. Kali ini bisa di pastikan anak itu tidak akan di dirundung sebagai anak haram lagi. Karena mereka sudah melihat ayah Raven.
Saat istirahat semua teman Raven di berikan makanan gratis oleh Julian. Ia senang melihat anak -anak itu bahagia. Semenjak bertemu dengan Raven ia tidak menganggap anak kecil sebagai hama lagi. Hatinya mulai luluh, dan sayang dengan anak-anak.
Kepala sekolah kembali memanggil Julian ke kantornya. Ia pun langsung pergi ke ruangan itu. apakah donasinya masih kurang atau ada kendala lain?
"Tuan Julian, mohon maaf saya mengundangmu kembali ke ruangan ini. Saya hanya ingin mengucapkan banyak terima kasih, karena donasi bapak sangat berguna sekali untuk kemajuan sekolah ini," ucap wanita setengah baya itu.
"Sama-sama. Saya berharap dana ini dapat di gunakan sebagaimana semestinya," ucapnya, lalu tersenyum.
"omong-omong, apakah anda benar ayahnya Raven?
Terima kasih.