Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19. Luka Tubuh
bab 19. Luka Tubuh
Mu Zhen menyeringai. "Kekuatan ini tidak untuk mereka yang ragu. Tanganku... pernah seperti punyamu. Tapi aku memilih mengurung diri di lembah ini agar tidak menghancurkan dunia."
"Aku tidak akan ragu," kata Jiang Hao mantap. "Aku tak ingin menjadi pahlawan. Aku ingin menjadi akhir."
Perempuan tua itu tertawa rendah. "Bagus... Tapi bersiaplah. Untuk membuka segel tangan iblismu sepenuhnya, kau harus melewati tiga luka: Luka Tubuh, Luka Jiwa, dan Luka Cinta."
Jiang Hao memandangnya tanpa gentar. "Mulailah. Aku siap berdarah."
Mu Zhen mendekat dan menyentuh dahi Jiang Hao dengan jari kurusnya. "Kalau begitu, luka pertama... dimulai malam ini."
Dingin. Itu yang pertama Jiang Hao rasakan. Udara di dalam kuil batu itu bagaikan es, menembus tulangnya dan menggigit kulitnya seperti seribu jarum.
Tubuhnya bergetar hebat, bukan karena takut, tapi karena kekuatan aneh yang merayap dari ujung jari tangan iblisnya menuju ke jantungnya. Seolah ada makhluk purba yang perlahan bangkit dari tidur panjang di dalam darahnya sendiri.
Mu Zhen berdiri di tengah lingkaran formasi sihir kuno yang memancarkan cahaya merah samar. Batu-batu berukir rune mengambang di udara, melingkari Jiang Hao.
“Kau akan mengalami ulang semua luka tubuhmu, baik yang nyata maupun yang ditahan oleh jiwamu,” ujar Mu Zhen. “Jangan berteriak. Jangan melawan. Terimalah semua... kalau kau ingin menguasai kekuatan tangan iblismu.”
Jiang Hao mengangguk pelan, lalu menutup matanya.
---
Tiba-tiba dunia runtuh.
Jiang Hao terlempar ke dalam pusaran kenangan yang menyiksa. Suara teriakan, ledakan, darah—semua datang serentak.
Ia melihat dirinya di masa muda. Tertusuk pedang sahabatnya sendiri. Tubuhnya jatuh di tanah salju, darah mengalir dan membeku. Lalu, tubuhnya dibakar hidup-hidup oleh para tetua sekte. Ia meronta, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Lidahnya hangus, matanya meleleh.
Kemudian, ia berdiri di hadapan gurunya, Chen Wu, yang telah sekarat. Darah mengalir dari dada sang guru, menodai jubah putihnya. "Maafkan aku, muridku... aku harus mengusirmu. Jika tidak, sekte ini akan memusnahkan kita semua."
“TIDAK!” Jiang Hao meraung dalam kenangan, tapi suaranya tak terdengar.
Lalu ia dibanting ke tanah oleh lima pendekar besar. Tulangnya remuk. Uratnya dipotong satu per satu. Mereka berkata bahwa ini hukuman untuk pengkhianat. Tapi siapa yang berkhianat sebenarnya?
Tubuhnya menggelepar, tapi semua luka itu hanya membakar semangat yang lebih liar dalam dirinya. Di setiap tetes darah, tumbuh satu lagi dendam. Di setiap tulang patah, ada satu alasan lagi untuk bangkit.
---
"Kau belum mati..." bisik sebuah suara dalam kegelapan. Suara itu bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya.
Tangan kanan Jiang Hao mulai bersinar gelap. Urat-urat hitam menyebar ke seluruh tubuhnya, membentuk pola seperti akar iblis yang menghimpit jantungnya.
"Siapa kau?" bisik Jiang Hao, menggertakkan gigi.
"Aku adalah luka pertamamu. Aku adalah bentuk dari semua penderitaan yang tak pernah kau ubah menjadi kekuatan. Tapi sekarang... waktunya tiba."
Seketika, tubuh Jiang Hao meledak dalam cahaya hitam. Ketika dia membuka matanya, semua luka kenangan lenyap. Tapi tubuhnya masih gemetar, berkeringat dingin. Nafasnya berat.
Mu Zhen mengangguk puas. “Luka Tubuh telah selesai. Dan tangan iblismu telah menyatu lebih dalam dengan jiwamu.”
“Aku... masih hidup,” desah Jiang Hao. “Tapi rasanya seperti aku telah mati dan dikubur tiga kali.”
Mu Zhen tertawa ringan. “Itu baru luka pertama. Dua lagi menantimu. Luka Jiwa... dan Luka Cinta.”
---
Di luar kuil, kabut mulai berubah warna menjadi keunguan. Seseorang mengintai dari balik batu.
Ying’er berdiri membeku, menatap ke arah Jiang Hao dari jauh. Di matanya yang buta, ada air mata yang menetes pelan.
“Jangan kehilangan hatimu, Hao-ge...” bisiknya pelan. “Aku masih percaya bahwa kau punya hati seorang malaikat...”
Langit di atas kuil hitam tampak seperti pusaran tinta, berputar perlahan seiring Jiang Hao duduk bersila di tengah altar batu. Mu Zhen berdiri di belakangnya, tangan terangkat, menggambar pola rumit dengan jari-jarinya di udara. Udara menjadi berat, seakan waktu sendiri menahan napas.
“Siapkan dirimu, Jiang Hao. Ini bukan sekadar rasa sakit. Ini tentang kebenaran yang kau sembunyikan dari dirimu sendiri.”
Jiang Hao mengangguk pelan. Setelah melewati “Luka Tubuh”, ia merasa telah menginjak ambang kekuatan yang tak pernah ia duga bisa ia sentuh. Tapi bagian ini... ia tahu ini akan berbeda.
Mu Zhen menyentuh ubun-ubunnya.
Dunia kembali runtuh.
---
Ia tidak berada di kuil batu lagi. Ia berdiri di sebuah ruang kosong. Tak ada langit. Tak ada lantai. Hanya kehampaan yang mengelilinginya, menyerap cahaya, suara, dan waktu.
Lalu, satu per satu, sosok-sosok bermunculan dari kegelapan.
Sang Guru, Chen Wu, berdiri dengan luka menganga di dadanya. “Kau telah membiarkanku mati, Jiang Hao.”
Rekan seperguruannya, Lin Shan, muncul sambil memegang perutnya yang ditusuk. “Aku membelamu, tapi kau malah meninggalkan kami...”
Lalu datang Bai Yun, perempuan pertama yang ia cintai. Wajahnya pucat, mata penuh air. “Kalau saja kau tak membalas dendam, aku masih hidup...”
Jiang Hao berusaha bicara, tapi suara tak keluar. Ia menatap tangannya—tangan kanannya kembali jadi tangan iblis yang menghitam, berdenyut seperti jantung kedua. Dari ujung jari, darah menetes ke kehampaan.
“Cukup!” raungnya dalam hati. “Aku tidak ingin melihat ini!”
Tapi kegelapan tidak berhenti.
Sosok terakhir muncul, dan yang satu ini membuatnya gemetar.
Itu adalah dirinya sendiri.
Tapi bukan dirinya sekarang, bukan pula dirinya yang dulu. Sosok itu seperti bayangan gelap, mata bersinar merah, tubuh dibalut aura jahat yang mengerikan. Tangan kiri dan kanannya sama-sama tangan iblis.
“Aku adalah kau yang kau tolak. Aku adalah kemarahan, pengkhianatan, dan luka yang kau kubur dalam-dalam. Kau ingin menjadi malaikat?” Bayangan itu tertawa getir. “Kau sudah bukan manusia lagi.”
Jiang Hao menatap sosok itu. “Aku tak ingin jadi iblis. Tapi dunia memaksa.”
“Lalu kenapa kau masih menahan diri? Kenapa tidak membunuh mereka semua? Mereka mengkhianatimu. Mereka membuangmu.”
“Karena ada seseorang yang melihat kebaikan dalam diriku... meski aku sendiri lupa caranya melihat.”
Seketika, suara kecapi lembut terdengar di kejauhan.
Nada itu mengalun pelan, meluruhkan amarah, menghancurkan dinding dendam. Jiang Hao memejamkan mata, dan wajah Ying’er muncul dalam pikirannya—senyum lembut gadis buta itu, dan sentuhan tangannya yang tak pernah takut pada racun di tubuhnya.
---
Dengan satu desahan kuat, Jiang Hao membuka mata.
Ruang kosong lenyap. Sosok-sosok hantu tadi hilang dalam cahaya.
Ia kembali duduk di kuil, peluh membasahi tubuhnya. Mu Zhen menatapnya dengan tatapan dalam.
“Kau berhasil melewati Luka Jiwa. Kau... benar-benar berbeda dari murid-muridku sebelumnya.”
Jiang Hao bangkit perlahan, napas berat. “Aku bukan muridmu. Tapi aku berhutang padamu.”
to be continued ✍️
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh