NovelToon NovelToon
Beautifully Painful

Beautifully Painful

Status: tamat
Genre:Tamat / Sudah Terbit
Popularitas:24.6M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

SUDAH TERBIT CETAK

Cinta bertepuk sebelah tangan Anja mempertemukannya dengan Cakra, siswa paling berandal di sekolah.

Hati yang terluka bertemu dengan apatis masa depan akhirnya berujung pada satu kesalahan besar.

Namun masalah sesungguhnya bukanlah hamil di usia 18 tahun. Tetapi kenyataan bahwa Cakra adalah anak panglima gerakan separatis bersenjata yang hampir membuat papa Anja terbunuh dalam operasi penumpasan gabungan ABRI/Polri belasan tahun silam.

Beautifully Painful.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

34. Hari Tanpa Bayangan

Sada

Dari rencana semula istri dan anak-anaknya akan pergi ke Jakarta pada hari Jum'at, akhirnya dimajukan lebih awal menjadi hari Rabu pagi. Karena kondisi Papa yang tak kunjung stabil.

"Kita harus cepet-cepet bawa Papa ke Singapur," begitu Mama meneleponnya hampir sehari tiga kali dengan nada suara panik.

"Iya, Ma. Nanti aku diskusi dulu sama Mas Tama."

"Tama udah Mama kasih tahu," suara Mama mulai terdengar terisak. "Tapi katanya mau diskusi dulu sama kamu."

"Cepet kalian diskusi terus putusin," sergah Mama tak sabar.

"Yang penting Papa kamu ada kemajuan. Nggak stagnan kayak begini. Udah berapa hari ini? Malah tambah banyak saraf-saraf yang rusak. Mama tunggu secepatnya. Ini dokter Raharjo udah kasih lampu hijau kalau Papa mau dibawa ke Singapur," lanjut Mama dalam satu tarikan napas.

"Iya, Ma. Iya...."

Dan sebelum Dara bertolak ke Jakarta, ia pun menyempatkan diri untuk menceritakan masalah yang sedang melingkupi Anja.

"Nanti kalau urusan di rumah sakit udah beres, langsung ke rumah ya, temenin Anja."

"Iya, Mas," Dara mengangguk. "Lagian anak-anak juga ditinggal di rumah semua."

"Bukan cuma temenin, tapi ajak ngobrol. Biasanya dia mau terbuka kalau sama kamu."

Dara mengernyit, "Memang Anja kenapa?"

"Hamil."

"Apa?!"

Siang jelang sore hari, usai hadir bersama Kepala BNNP DIY, perwakilan Kejaksaan tinggi DIY, perwakilan PN Sleman, perwakilan Kejaksaan Negeri Sleman dan penasehat hukum tersangka dalam acara pemusnahan barang bukti hasil pengungkapan empat kasus penyalahgunaan narkoba pada bulan lalu di halaman belakang gedung Ditresnarkoba Polda DIY. Dara menelepon dengan suara tertahan.

"Mas, maaf nih, aku tahu kamu masih di kantor. Tapi ini penting."

"Ada apa?"

"Tadi aku sampai rumah, Anjanya lagi nangis. Tiap ditanya nggak mau jawab malah nangis terus."

"Kata Bi Enok sama Dipa, seharian nggak mau makan, nggak mau minum."

"Terakhir makan bubur pagi-pagi, nggak lama langsung dimuntahin."

"Terus sekarang gimana anaknya??"

"Ya mau nggak mau aku bawa ke rumah sakit. Daripada tambah parah. Mana lagi hamil."

"Apa kata dokter?"

"Dehidrasi, Hb rendah, mal nutrisi."

Membuatnya menghembuskan napas panjang.

"Kamu coba diskusi sama Mas Tama deh, soal cowok yang ngehamilin Anja."

"Kenapa?"

"Aduuuh," suara Dara terdengar menghela napas panjang. "Anja nangis-nangis sampai begitu pasti gara-gara cowok itulah."

"Kalian apain sih dia?" suara Dara terdengar menyelidik. "Nggak dihajar kan?"

"Sempet sih wakt...."

"Ya ampun, Mas," Dara memekik kesal. "Anja tahu kalau dia dihajar? Sama kamu?!"

"Iya, Anja tahu," jawabnya sambil kembali menghembuskan napas panjang. "Iya, sama aku."

"Haduh, Mas," suara Dara terdengar kesal.

"Memang hak kalian berdua sih, gimana cara menyelesaikan masalah ini. Tapi kalau menurutku, main hajar tuh enggak banget**," lanjut Dara akhirnya dengan suara pasrah namun masih terdengar kesal.

"Anak itu mau mempertanggungjawabkan perbuatannya ke Anja nggak?!" kejar Dara.

"Nggak tahu, kita nggak sempat ngobrol."

"Ya ampuuun, jadi kamu main hajar tuh bocah tanpa sempat ngomong apa-apa?!"

"Ya gimana, aku kesel setengah mati sama orang yang udah bikin Anja begitu!"

Dara terdengar menghela napas panjang.

"Jadi kalau menurut kamu, apa yang bisa kita lakukan biar Anja cepet pulih?" ia mendadak teringat sesuatu. "Karena Papa juga lagi sakit. Butuh perhatian ekstra."

"Kemungkinan besar mau pindah ke ME (Mount Elizabeth) dalam minggu-minggu ini."

"Kalau pikiran bercabang gini, berat."

"Iya," jawab Dara. "Tadi Mama juga minta aku buat bilang ke kamu biar Papa cepetan dibawa ke sana."

"So? What should i do?"

"Bawa cowok itu ke depan Anja. Itu satu-satunya cara yang bisa bikin Anja cepet pulih," jawab Dara dengan suara geregetan.

"Tap...."

"Please, Mas. Kesampingkan dulu ego sama emosi kalian karena adik kesayangan diginiin," lanjut Dara cepat namun dengan nada penuh kehati-hatian.

"Sekarang yang penting buat kita, pemulihan kesehatan Anja. Karena kita mesti mikir panjang ke depan buat Papa."

"Kalau Anja kelamaan ngedrop gini, bisa-bisa Mama bakalan tahu dengan sendirinya. Apa nggak bakalan tambah runyam?"

"Apalagi Mama sekarang lagi fokus sama Papa, cape, lelah. Ntar begitu tahu tentang Anja," Dara menghembuskan napas berat. "Kira-kira apa reaksi Mama?!"

Ia mengangguk-angguk mengerti, meski Dara tak mungkin melihat anggukannya. "Iya, Hun. Habis ini aku kontak Mas Tama."

"Kamu juga jaga kesehatan ya," bisiknya lagi sungguh-sungguh. "Jangan sampai yang jadi suster malah ikutan sakit."

"Iya, tenang....," Dara terkekeh.

"Anak-anak aman?"

"Aman sama Bi Enok di rumah."

Malam hari ia baru sempat menelepon Mas Tama. Namun tak ada nada sambung sama sekali. Sepertinya masih sibuk mengurus kasus kekerasan massal di Situbondo. Membuatnya memutuskan untuk mengirim pesan chat.

Sada. : 'Anja masuk rumah sakit.'

Sada. : 'Dehidrasi, Hb rendah, mal nutrisi. Bahaya buat orang hamil.'

Sada. : 'Kapan Papa bisa dibawa ke Sing?'

Sada. : 'Mama udah nanyain terus.'

Bahkan sampai ia terkantuk-kantuk, pesan chat masih belum terkirim. Kakak sulungnya itu memang perwira sejati, selalu all out dalam mengemban tugas, tak perlu diragukan lagi.

Esok pagi ketika ia masih dalam perjalanan menuju ke kantor, barulah ada panggilan masuk yang berasal dari Mas Tama.

"Ntar sore jadi ke Jakarta?"

"Jadi."

"Oke, tolong selesaiin masalah Anja."

"Selesaiin gimana?!" tanyanya bingung.

"Terserah kamu gimana caranya pegang tuh bocah biar nggak kabur. Pakai surat pernyataan di atas materai atau bawa ke notaris sekalian."

"Oke," ia mengerti.

"Dia sekarang ada di Polres."

"Gila?!" ia terperanjat. "Kamu apain?!"

"Nggak lah. Cuma kutitip doang biar nggak kabur."

"Rencana mau kuajak ngobrol hari Sabtu, tapi kayaknya Sabtu belum bisa. Jadi diwakili sama kamu ya."

"Anja tahu??"

"Tahu apa?"

"Kamu bawa tuh bocah?!"

"Maybe yes, maybe no. Yang pasti pas kita datang, mereka ada di kamar yang sama."

Membuatnya menggelengkan kepala, "Pantesan Anja nangis-nangis, tahu kamu bawa tuh bocah."

"Oke, kamu urus Anja. Aku konfirmasi dulu ke dokter Raharjo kapan baiknya Papa pindah ke ME."

***

Cakra

Kini ia mulai terbiasa. Pria berbadan paling besar berwajah sangar yang sampai saat ini masih memakai kaos navy miliknya bernama Naim. Penghuni sel paling lama, sejak sekitar dua bulanan yang lalu. Membuat Naim dengan penuh keyakinan menahbiskan diri sebagai pemimpin tertinggi di ruangan ini.

Entah kasus apa yang membelit Naim -dia tak mau mengaku- hingga proses pembuatan BAP (berita acara penyidikan) molor begitu lama. Dari yang biasanya 20 harian menjadi 2 bulan penuh.

"Gua udah betah disini," ujar Naim sambil merokok. Dalam sehari entah sudah berapa kali ia melihat Naim merokok. Yang ketika ada petugas lewat atau datang langsung mematikan dan menyembunyikannya di bawah tikar pandan lusuh yang menjadi alas duduk dan juga alas tidur.

"Kalau bisa selamanya disini," lanjut Naim. "Bisa tidur nyenyak, makan enak. Daripada nanti pindah, mesti keluar banyak duit!"

"Hidup gua diluar udah susah. Masuk penjara malah makin susah!"

"Penjara mana ada yang enak!" Bendot, pria kerempeng yang tadi menarik kerah kaosnya, tertawa terbahak-bahak.

Dia secara aklamasi dianggap sebagai wakil pimpinan di ruangan ini. Sudah menghuni sel selama 20 hari akibat tertangkap basah menjadi bandar judi togel. Menurut penuturan Bendot, BAP nya telah selesai beberapa waktu lalu. Tinggal menunggu dua atau tiga hari lagi akan pindah ke Rutan (rumah tahanan) berstatus sebagai tahanan kejaksaan.

Sementara hampir 20 orang yang lain, tak bisa ia hapal satu persatu saking banyaknya. Sebagian besar terjerat kasus kepemilikan narkoba, judi, penipuan hingga pencurian. Beberapa bahkan berstatus residivis. Langganan keluar masuk penjara sejak umur belasan tahun karena kasus kelas teri.

Mereka yang ada disini rata-rata baru menghuni sel selama seminggu sampai lima belas hari. Tengah antri melakukan proses pembuatan BAP yang rata-rata berlangsung selama 20 hari, untuk kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan sambil menunggu proses peradilan.

Sebagian diantara mereka memiliki luka lebam atau memar seperti dirinya. Terutama di bagian wajah. Entahlah, ia tak berani mengira-ngira darimana luka tersebut berasal.

Yang pasti, meski berstatus narapidana, tersangka, atau apapun sebutannya, kebersamaan begitu kuat terasa. Tak ada lagi perbedaan suku, ras, dan agama. Semua sama karena merasa senasib sepenanggungan.

"Gua sebenarnya orang baik," begitu propaganda Naim dengan hidung kembang kempis berusaha menyombongkan diri.

"Makanya sel disini paling tenang. Nggak pernah ada keributan."

"Coba lihat sel lain! Hampir tiap hari ada yang bentrok!"

"Makanya lu nggak dikerjain!" desis Bendot kearahnya sambil melotot.

"Kalau di sel lain, habis lu diplonco!" lanjut Bendot yang terus memelototinya seolah tak rela ia tak mendapat peloncoan.

Malam harinya ia memilih untuk kembali tidur menyandar di pintu teralis besi, meski Naim menawarkannya tempat terbaik, yaitu tepat di samping tembok tak jauh dari kamar mandi.

"Ini tempat paling adem."

"Makasih, Bang. Biar saya disini saja," namun ia menolak. Sebaik apapun sikap orang-orang di sel ini terhadapnya, ia tentu harus tetap waspada dan bisa menjaga diri dari kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.

Dan sekarang adalah malam keduanya berada di hotel prodeo. Jika kedatangannya dini hari tadi dihitung telah menginap semalam. Sedari tadi ia telah memposisikan tubuh senyaman mungkin, bersandar di pintu teralis besi, namun matanya tak juga mau terpejam. Pikirannya berkelana kemana-mana. Memikirkan Mak, Kak Pocut, juga Anja.

Sementara di dalam telinganya berulang kali terngiang suara Mamak yang sedang membaca terjemahan ayat Al Qur'an, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....."

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....."

Begitu terus hingga akhirnya ia perlahan merasa semakin lelah untuk kemudian mulai terlelap.

"BANGUN!!"

Ia terperanjat ketika pintu teralis besi dipukul dengan benda keras oleh seseorang.

"UDAH PAGI! BANGUN! BANGUN!!"

Ia melihat dua orang petugas membangunkan tiap penghuni sel dengan suara lantang. Namun meski begitu, hampir semua orang tetap konsisten terlelap di alam mimpi. Seolah tak terganggu dengan suara teriakan keras. Hanya satu dua yang menggeliat, untuk kemudian menarik sarung lagi kembali tertidur.

Inilah hal lain yang ia pelajari dari dalam sel, yaitu keteraturan -meski terpaksa dan banyak yang tak menurut-. Kegiatan mereka terjadwal dengan jelas, mulai dari bangun tidur, piket, makan juga berolahraga pagi.

Seperti saat ini, jadwalnya olahraga pagi. Meski hanya diisi dengan saling mengobrol di halaman belakang, namun lumayan bisa menggerakkan badan dibanding duduk diam di dalam sel yang sempit dan pengap.

Setelah itu, mereka yang kebagian piket harus mengambil alih pekerjaan menyapu dan membersihkan kantor. Tentu dalam pengawasan petugas.

Usai jadwal olahraga, piket, dan mendapat jatah sarapan, mereka semua akan digiring masuk ke dalam sel. Kembali menempati ruang sempit bersama-sama dengan yang lain. Mengisi hari dengan hal-hal yang bisa membunuh waktu agar tak terlalu merasa bosan.

Dan selama seharian ini, pengemudi mobil yang kemarin memberinya nasi Padang tak lagi datang. Padahal dalam hati ia menunggu. Namun hingga sore tak kunjung menghampiri sel nya. Mungkin sedang bertugas di lapangan, pikirnya menghibur diri.

Membuatnya memilih untuk membantu Naim mengisi TTS yang dikirimkan oleh istrinya beberapa hari lalu.

"Tiga menurun," ujar Naim dengan suara keras. "Bertemu. Terakhir huruf A."

"Sua," jawabnya sambil lalu.

Naim mengkerut sebentar untuk kemudian terkekeh, "Bener...bener...."

"Lima mendatar," lanjut Naim semakin bersemangat. "Lembaga pemerintah Indonesia yang meneliti ruang angkasa. P di tengah."

"LAPAN," jawabnya sambil menahan kantuk.

Naim terdiam sebentar, "La....pan....Oh, bener...bener....," untuk kemudian bersorak senang. Membuat beberapa orang mulai ikut mengerumuni Naim dengan wajah ingin tahu.

"Pinter juga lu!" teriak Bendot dengan wajah meremehkan. "Jangan-jangan lu bohong lagi nggak mau ngaku anak orang kaya!"

"Gua dari awal nggak percaya dia orang kere!" sergah yang lain seolah mendapat angin. "Lihat aja noh tampangnya! Mana ada tampang orang kere begono!"

"Woi!" teriak Naim. "Gua lagi seru nih!"

Membuat Bendot dan yang tadi menyeletuk langsung terdiam.

"Delapan mendatar," lanjut Naim sambil masih bersungut-sungut karena kesenangannya terganggu. "Tes buta warna. Tengah I, belakang A."

"Ishihara," jawabnya sambil menguap.

Begitu mendengar jawabannya, Naim langsung membanting buku TTS nya keatas lantai. Membuat semua orang menengok dengan memasang ekspresi wajah yang sama, 'Wah, bakalan ribut nih. Mam pus!'

Namun ternyata Naim justru terbahak-bahak untuk kemudian mengambil kembali buku TTS lalu menulisinya dengan penuh semangat.

"I..shi...hara...," gumam Naim seperti anak kelas satu SD yang baru belajar mengeja.

"Pinter lu!" teriak Naim senang sambil mengacungkan jempol padanya. "Besok gua suruh bini bawa TTS yang banyak. Biar lu yang isi!"

"Sekolah dimana lu bisa pinter gitu?!" tanya seorang yang berkaos garis-garis, yang wajahnya terlihat paling tak peduli dengan sekitar. Selalu acuh dan sibuk sendiri.

"Percuma juga pinter kalau dipenjara!" sahut Bendot cepat sambil menyeringai. "Ga guna!"

Ia masih terus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari TTS Naim ketika seorang petugas berwajah kaku menghampiri sel mereka kemudian membuka kuncinya.

"Yang namanya Cakra keluar!" ujar petugas dengan nada setengah menghardik.

Membuatnya buru-buru bangkit dan melangkah keluar.

"Cak!" panggil Naim sebelum ia melangkah pergi mengikuti petugas.

"Nanti kita isi TTS lagi sama-sama!"

Ia mengangguk sebelum akhirnya mengikuti langkah petugas yang telah lebih dulu berjalan di depan, "Cepat!"

Ia kembali melewati lorong yang sama seperti saat mengikuti pengemudi mobil kemarin. Melalui ruang besuk tahanan dan meja cokelat panjang di sebelah kiri yang kini kembali kosong karena hari sudah malam. Setelah itu barulah ia melewati sepasang pintu besar yang penuh intimidasi, keluar dari ruang tahanan.

Petugas terus berjalan melewati sebuah ruangan terbuka yang luas. Kemudian melewati lorong panjang yang kanan kirinya terdapat ruang-ruang mirip kantor. Berbelok ke kiri, kembali melewati lorong. Hingga akhirnya perjalanan mereka berakhir di salah satu pintu warna cokelat dengan tulisan KaSat Reskrim (kepala satuan reserse kriminal) di atasnya.

Petugas mengetuk pintu dan seseorang yang berada di dalam ruangan menyuruhnya untuk masuk, "Masuk!"

Sebelum ia masuk, petugas yang tadi mengeluarkannya dari dalam sel telah pergi meninggalkannya terlebih dahulu. Kini, sambil meneguh-neguhkan hati, ia memberanikan diri untuk membuka pintu kayu bercat cokelat yang tiba-tiba terasa sangat berat itu. Dan langsung mendapati dua orang berbadan tegap dengan pakaian sipil yang sedang duduk di atas sofa sambil menatapnya tajam. Yang salah satunya ia paham betul adalah Mas Sada.

"Duduk!"

1
Mrs.Kristinasena
aku baca lagi kak .awal th 2025..kangen banget Ama Cakra Anja..karya kak sephinasera emang ga ada duanya..ngangenin..bahkan tanpa ampun telah menyatu dlm kalbu seolah ini cerita nyata..pdhl hanya karya fiksi..
AuLia PuTri
2025 baca lagi masih saja terharu 🥲🥲
Reni Novitasary
mewek again/Sob/
rian silviani
apakah ada Cakra di real life?
RR.Novia
Abang cakra, aku balik reread lagi 🥹
marianna
kalo udah dapat cerita sebagus ini bakalan susah dpt cerita yang lebih bagus lagi
Pudji Widy
kak sera..ayo balik ke NT lagi..kangen kak baca cerita mu
Teh Neng
2025 baca ulang .. kangen Cakra🤗
Iren Siwi
Luar biasa
Nartyfauzi ruliyadi
tidak bisa move on dr novel Cakra Anjani dn Pocut mas Tama ❤️❤️❤️
Teh Neng
maa syaa Allah baca untuk ke sekian kalinya ini teteh . gagal move on Cakra tuh yaaahhh . Nemu di mana coba Cakra versi nyata☺️
Darmiati Thamrin
😭😭😭😭😭
Athalla✨
kirain Anja mau dilanjuttt bang ehh
Athalla✨
Love you too 🥰😍
udah aku wakilin tuh Ja 🤭🤭
Athalla✨
runtuh sudah pertahanan diri Abang 😁😁
Athalla✨
kamu yang mancing duluan loh Ja 🤭
Athalla✨
sadar gak sih Ja,, kamu mancing² abang terus 😂
Athalla✨
kelamaan nungguin kamu bang jadinya disamperin deh
Athalla✨
Disini pak Raka lebih dulu ketemu kak Pocut kayanya hehe langsung kepincut mungkin 🤣🤣
ayo mas Tama cepetan nongol keburu disalip duluan 🤭
nurul atyka💚
baca ulang baru ngeh kalo tamim anaknya bu bidan 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!