Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: KERINGAT DAN SISA LUKA
Samarinda sore itu terasa seperti tungku raksasa yang lupa dimatikan. Matahari yang mulai turun ke ufuk barat tidak lantas membawa kesejukan; sebaliknya, uap panas dari aspal jalanan kota yang berdebu justru naik, menciptakan fatamorgana yang melelahkan mata. Di tengah kepengapan itu, sebuah bangunan tua yang disebut GOR Badminton berdiri dengan suara riuh rendah dari dalamnya.
Di dalam GOR, aromanya khas: perpaduan antara bau karet sepatu yang bergesekan dengan lantai kayu, keringat yang menguap, dan aroma minyak urut yang menyengat di beberapa sudut.
Firmansah atau yang biasa dipanggil Firman oleh segelintir orang yang cukup akrab dengannya berdiri di tengah lapangan. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat. Keringat membanjiri wajahnya, menetes dari ujung dagunya yang tajam, jatuh membasahi jersey hitam yang kini melekat erat di tubuhnya.
Di tangannya, raket terasa seperti perpanjangan emosi. Smash terakhir yang ia lancarkan tadi bukan sekadar teknik untuk memenangkan poin, melainkan sebuah pelampiasan. Ada kemarahan yang tidak punya alamat di sana. Ada sisa-sisa sesak yang berusaha ia buang melalui ayunan lengan yang eksplosif.
"Gila, Man! Lo kalau main nggak usah pake emosi gitu kali. Raketnya bisa patah itu!" Rendy, sahabatnya sejak zaman kuliah, berjalan mendekat sambil menyeka keringat dengan handuk kecil. Rendy tertawa, tapi matanya menunjukkan sedikit kekhawatiran.
Firman tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke pinggir lapangan, mengambil botol air mineral yang tinggal setengah, dan meneggaknya hingga tandas. Matanya yang tajam menatap kosong ke arah deretan kursi penonton yang tidak terlalu ramai.
Berisik, batin Firman.
Bukan suara raket atau teriakan orang-orang yang ia maksud, melainkan pikirannya sendiri. Sebagai seorang jurnalis, ia terbiasa mengamati dan menulis narasi tentang orang lain. Namun, ketika harus menulis narasi untuk hidupnya sendiri, Firman merasa seperti sedang menghadapi halaman kosong yang penuh dengan noda tinta hitam.
Sudah setahun berlalu sejak rencana pernikahannya hancur berkeping-keping. Dan di sinilah ia sekarang, di usia 22 tahun, mencoba merakit kembali puing-puing dirinya di kota kelahirannya sendiri, sambil menyibukkan diri sebagai Book Consultant dan jurnalis lepas. Ia pikir, dengan membuat dirinya sangat sibuk, kenangan tentang pengkhianatan itu akan menguap seperti keringatnya sore ini.
Tapi nyatanya tidak sesederhana itu.
"Habis ini kita nongkrong, ya? Anak-anak mau ke Tepian. Ada yang mau gue kenalin juga," ujar Rendy sambil menyikut lengan Firman.
Firman mendengus pelan, seulas senyum tipis hampir tak terlihat muncul di sudut bibirnya yang kering. "Kenalin siapa lagi, Ren? Gue nggak minat sama biro jodoh amatiran lo."
"Sialan lo! Ini beda. Dia ini temen gue dari Fakultas Kedokteran. Orangnya kalem, baik, dan yang penting... dia nggak bakal nanya kenapa lo selalu masang muka kayak mau ngajak berantem tiap hari," balas Rendy sambil terkekeh.
Firman hanya menggeleng. Ia tidak ingin bertemu siapa pun. Ia lebih suka pulang ke kosan, mandi air dingin, lalu tenggelam di balik tumpukan naskah buku yang harus ia tinjau. Baginya, keterikatan emosional adalah variabel paling tidak rasional dalam hidup. Dan ia sudah selesai dengan hal-hal tidak rasional.
"Tuh, orangnya datang!" Rendy tiba-tiba melambai ke arah pintu masuk GOR.
Firman refleks menoleh. Langkah kakinya yang hendak beranjak menuju tas punggungnya terhenti.
Dari kejauhan, seorang perempuan berjalan mendekat. Dia mengenakan baju olahraga lengan panjang berwarna pastel dan celana training yang longgar. Rambutnya dikuncir kuda, menyisakan beberapa anak rambut yang sedikit basah karena peluh di dahi. Dia tidak memakai make-up berlebih, hanya wajah polos yang tampak segar meski baru saja selesai bermain di lapangan sebelah.
Namun, bukan penampilannya yang membuat Firman terdiam selama beberapa detik. Melainkan aura yang dibawa perempuan itu. Ada ketenangan yang kontras dengan kebisingan GOR di sekeliling mereka.
"Yasmin! Sini!" teriak Rendy lagi.
Perempuan itu Yasmin tersenyum saat melihat Rendy. Senyum itu... jujur. Sebuah pemandangan yang langka bagi Firman yang setiap hari berhadapan dengan narasumber yang penuh topeng.
"Sori telat, tadi masih ada urusan di RS sebentar sebelum ke sini," suara Yasmin terdengar lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya. Suara seorang dokter yang terbiasa memberikan instruksi dengan kepala dingin.
"Santai, Yas. Kenalin, ini yang gue ceritain. Firmansah. Jurnalis paling antisosial se-Kalimantan Timur," seloroh Rendy.
Yasmin menoleh ke arah Firman. Mata mereka bertemu.
Firman merasakan sesuatu yang aneh. Mata Yasmin tidak menatapnya dengan penuh selidik atau penilaian seperti kebanyakan orang. Mata itu teduh, seolah bisa melihat menembus lapisan pertahanan yang selama ini Firman bangun dengan susah payah.
"Yasmin," katanya sambil mengulurkan tangan.
Firman menatap telapak tangan Yasmin yang kecil sejenak sebelum menyambutnya. "Firman."
Sentuhan itu hanya sekejap, tapi Firman bisa merasakan betapa dinginnya tangan perempuan itu. Kontras dengan tubuh Firman yang masih terasa panas setelah bertanding. Sebuah paradoks yang instan.
"Tadi saya lihat Mas Firman main di set terakhir," ujar Yasmin tiba-tiba, suaranya tetap tenang meski Rendy sudah mulai sibuk mengobrol dengan orang lain di dekat mereka.
Firman menaikkan sebelah alisnya. "Oh ya? Terlalu berisik, ya?"
Yasmin menggeleng kecil. "Bukan berisik. Tapi... tajam. Smash Mas tadi tajam sekali, tapi arahnya seperti sedang ingin menghancurkan sesuatu, bukan cuma cari poin."
Deg.
Firman tertegun. Ia merasa seperti baru saja ditelanjangi oleh kalimat sederhana itu. Ia sudah ratusan kali mewawancarai orang, tapi baru kali ini ia merasa dialah yang sedang diwawancarai bukan dengan kata-kata, tapi dengan observasi.
"Hanya olahraga, Yasmin. Jangan terlalu dianalisis," jawab Firman datar, berusaha mengembalikan topeng dinginnya.
Yasmin tidak tersinggung. Ia justru tersenyum tipis, sebuah senyum yang mengandung pemahaman mendalam. "Mungkin. Tapi sebagai dokter, saya tahu bedanya orang yang berkeringat karena sehat, dan orang yang berkeringat karena sedang mencoba membuang racun dalam pikirannya."
Firman terdiam. Ia ingin membalas, ingin memberikan argumen rasional yang biasanya ia gunakan untuk membungkam orang. Namun, kata-katanya tertahan di tenggorokan. Ada sesuatu dalam nada bicara Yasmin yang membuatnya merasa tidak perlu berdebat.
"Rendy bilang Mas Firman jurnalis dan konsultan buku?" tanya Yasmin lagi, mencoba mencairkan suasana.
"Ya. Pekerjaan yang mengharuskan saya banyak ngomong dan banyak bohong demi kepentingan naskah," jawab Firman sinis, mencela pekerjaannya sendiri.
"Menarik," gumam Yasmin. "Saya justru butuh banyak kejujuran di pekerjaan saya. Karena di rumah sakit, kebohongan terkecil pun bisa berakibat fatal."
Firman menatap Yasmin lebih lama kali ini. Ada kedewasaan yang melampaui usianya dalam cara perempuan ini berbicara. Yasmin bukan tipe perempuan yang akan tertawa keras demi perhatian, atau merajuk karena hal sepele. Dia seperti air tenang di tengah arus Mahakam yang liar.
"Mas Firman selalu begini kalau bertemu orang baru?" tanya Yasmin sambil menatap mata Firman tanpa ragu.
"Begini gimana?"
"Dingin. kayak lagi jaga jarak aman supaya gak ada yang bisa menyentuh radar Mas," ucap Yasmin tenang.
Firman membuang muka, meraih tas punggungnya dan menyampirkannya di bahu. "Jarak itu perlu, Yasmin. Di dunia jurnalisme, kalau kamu terlalu dekat dengan subjek, tulisanmu akan bias. Dan di dunia nyata... kalau kamu terlalu dekat dengan orang, kamu hanya sedang menabung kekecewaan."
Yasmin tidak langsung menjawab. Ia hanya mengikuti langkah Firman yang mulai berjalan menuju pintu keluar GOR, di mana Rendy dan teman-teman lainnya sudah menunggu.
"Tidak berharap, tidak kecewa. Begitu prinsipnya?" Yasmin berbisik pelan, tapi cukup jelas untuk didengar Firman.
Firman menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu GOR. Angin sore yang kering menyapa wajah mereka. Ia menoleh sedikit, menatap Yasmin dari balik bahunya.
"Itu satu-satunya hukum alam yang saya percayai," sahut Firman pendek.
Yasmin hanya tersenyum samar. "Kalau begitu, kita bisa berteman dengan tenang, Mas Firman. Karena saya juga orang yang sudah berhenti berharap pada banyak hal."
Kalimat itu memukul Firman lebih keras dari yang ia duga. Ia melihat ketebalan luka di mata Yasmin sebuah kilasan trauma yang sama dengan yang ia miliki. Rasa sakit karena ditinggalkan tanpa penjelasan.
Di detik itu, Firman tahu. Perempuan di depannya ini bukan sekadar "kenalan baru" dari Rendy. Dia adalah sebuah cermin. Dan Firman membenci cermin, karena cermin selalu menunjukkan bagian dari dirinya yang ingin ia lupakan.
"Ayo, Man! Yas! Malah mojok di situ!" teriak Rendy dari arah parkiran motor.
Firman tidak membalas. Ia hanya berjalan lurus menuju motornya sendiri, meninggalkan Yasmin yang masih berdiri menatap punggungnya.
Dalam hatinya, Firman berjanji satu hal: ia tidak akan membiarkan Yasmin masuk lebih jauh. Dia akan menjaga level hubungan ini tetap di permukaan. Hanya teman biasa. Hanya orang asing yang kebetulan tahu satu atau dua rahasia batin.
Tapi Firman lupa satu hal tentang air yang tenang. Air yang tenang biasanya memiliki dasar yang sangat dalam, dan sekali saja kamu terpeleset ke dalamnya, kamu tidak akan pernah bisa keluar dengan cara yang sama lagi.
Sore itu, di bawah langit Samarinda yang mulai berubah warna menjadi jingga keunguan, sebuah kesepakatan tak tertulis telah dimulai. Dua jiwa yang sama-sama rusak, mencoba untuk tidak saling menyakiti, namun takdir punya rencana lain yang lebih rumit dari sekadar pukulan smash di lapangan badminton.
"Teman level," gumam Firman pelan saat menyalakan mesin motornya. "Ya, itu sudah lebih dari cukup."
Namun, saat ia melirik melalui spion, ia masih bisa melihat Yasmin yang melambai kecil ke arahnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Firman merasa jantungnya berdenyut dengan cara yang tidak rasional. Sebuah sinyal yang sangat berbahaya.
Firman pikir dia sudah berhasil menutup pintu hatinya rapat-rapat. Tapi satu kalimat dari Yasmin membuatnya sadar bahwa dinding yang ia bangun ternyata punya celah. Apa yang akan terjadi saat Firman mendapati bahwa "tugas" pertamanya sebagai konsultan buku minggu depan ternyata melibatkan rumah sakit tempat Yasmin bekerja?