Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Pagi itu di kediaman Dirgantara terasa berbeda. Sinar matahari masuk melalui jendela besar, memantul di lantai marmer yang kini sering berantakan dengan mainan Arka. Tidak ada lagi ketegangan yang mencekam, hanya suara tawa kecil Arka yang sedang mengejar Bramantyo di ruang tengah.
Nadia berdiri di ambang pintu dapur, memegang cangkir kopinya sambil memerhatikan pemandangan yang dulu mustahil baginya. Bramantyo, sang titan bisnis yang ditakuti, kini sedang merangkak di karpet dengan Arka yang duduk di punggungnya.
"Ayo kuda! Lari lebih cepat!" seru Arka sambil tertawa riang.
Bramantyo terengah-engah, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan murni yang belum pernah dilihat Nadia selama bertahun-tahun. Saat mata mereka bertemu, Bramantyo memberikan senyum malu-malu, seolah meminta izin apakah tindakannya terlalu berlebihan.
Nadia hanya mengangguk tipis, sebuah gestur kecil yang bagi Bramantyo bernilai lebih dari jutaan saham.
Sore harinya, mereka duduk di balkon. Arka sedang asyik menggambar di meja kecilnya. Tiba-tiba, anak laki-laki itu meletakkan krayonnya dan menatap Bramantyo yang sedang membantunya meruncingkan pensil warna.
"Kakak Besar," panggil Arka dengan nada serius.
"Iya, Jagoan?" jawab Bramantyo lembut.
"Teman-temanku di sekolah... mereka dijemput oleh orang yang mereka panggil 'Ayah'. Wajah mereka mirip sekali dengan teman-temanku, seperti aku yang mirip dengan Kakak Besar," Arka menjeda, matanya yang polos menatap dalam ke mata Bramantyo. "Boleh tidak... Arka panggil Kakak Besar dengan sebutan 'Ayah'?"
Udara seolah berhenti berputar. Bramantyo membeku, tangannya gemetar hebat. Ia menoleh ke arah Nadia dengan tatapan memohon sekaligus takut. Nadia menarik napas panjang, melihat ketulusan di mata pria yang dulu menyakitinya, lalu beralih melihat harapan di mata putranya.
Nadia mendekat, mengelus rambut Arka, lalu berbisik, "Tanya saja pada dia, Sayang. Dia mau atau tidak jadi Ayah Arka?"
Bramantyo langsung berlutut di depan Arka, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh. "Tentu saja... Tentu saja boleh, Nak. Itu adalah hal yang paling Ayah inginkan di dunia ini."
Arka langsung menghambur ke pelukan Bramantyo. "Ayah!"
Bramantyo mendekap putranya dengan sangat erat, sementara tangan satunya meraih jemari Nadia. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Nadia tidak menarik tangannya. Ia membiarkan Bramantyo menggenggamnya, menandakan sebuah pengampunan yang mulai bersemi kembali.
Di Bandara Soekarno-Hatta, sebuah sepatu pantofel mewah melangkah turun dari jet pribadi. Adrian Dirgantara kembali, namun kali ini ia tidak sendiri. Ia menggandeng seorang wanita cantik—seorang pengacara ambisius yang dikenal sebagai spesialis kasus hak asuh anak.
"Kau lihat foto-foto itu, Adrian? Mereka terlihat sangat bahagia," ujar sang pengacara sambil menunjukkan tablet berisi foto Bramantyo, Nadia, dan Arka di taman.
Adrian tersenyum licik, matanya berkilat dingin. "Kebahagiaan yang dibangun di atas kebohongan tidak akan bertahan lama. Bramantyo pikir dia bisa menghapus masa lalunya hanya dengan menjadi ayah yang baik? Aku akan mengingatkan Nadia sekali lagi... siapa pria yang sebenarnya ia cintai."
Adrian tidak hanya ingin menghancurkan bisnis Bramantyo kali ini. Ia ingin merebut hak asuh Arka dan membuat Nadia membenci Bramantyo selamanya dengan mengungkap satu rahasia terakhir yang masih disimpan Bramantyo rapat-rapat.
Malam itu, saat suasana di penthouse sedang sangat hangat, sebuah amplop hitam tanpa nama terselip di bawah pintu utama. Nadia yang kebetulan lewat mengambilnya.
Di dalamnya hanya ada sebuah foto lama: Foto Bramantyo sedang berjabat tangan dengan seorang pria misterius di sebuah gudang, tertanggal beberapa hari sebelum penculikan Nadia oleh Larasati dulu. Di belakang foto itu tertulis pesan singkat:
> "Apakah kau yakin suamimu tidak tahu rencana penculikan itu dari awal untuk mengujimu? Tanyakan padanya tentang kesepakatan di gudang Pelabuhan Ratu."
>
Dunia Nadia seketika berputar. Ia menatap Bramantyo yang sedang membacakan dongeng untuk Arka di dalam kamar. Keraguan yang baru saja hilang kini kembali menghantamnya seperti ombak besar.
Amplop hitam itu terasa panas di tangan Nadia. Kecurigaan yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam kini mencuat kembali ke permukaan. Saat ia masih menatap foto itu dengan nanar, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal:
"Taman atap, 10 menit lagi. Datanglah sendiri jika kau ingin tahu siapa pria yang sebenarnya sedang tidur di sampingmu malam ini."
Bab Baru: Racun dalam Sangkar Emas
Nadia melirik ke arah kamar Arka. Bramantyo masih di sana, suaranya yang berat terdengar lembut membacakan dongeng. Dengan langkah gemetar, Nadia menuju taman atap. Di sana, di balik rimbunnya tanaman hias, sesosok pria berdiri membelakanginya, menyesap cerutu dengan santai.
"Kau kembali," suara Nadia dingin dan tajam.
Adrian berbalik, senyum sinisnya masih sama seperti dulu, namun tatapannya jauh lebih berbahaya. "Halo, Kakak Ipar. Atau haruskah kupanggil Nyonya Dirgantara kembali? Kau terlihat jauh lebih... berkuasa sekarang."
"Apa maksud foto ini, Adrian? Jangan mencoba bermain api lagi," Nadia melemparkan foto itu ke meja kecil di antara mereka.
Adrian terkekeh, melangkah mendekat hingga aromanya yang tajam memenuhi indra penciuman Nadia. "Bramantyo memang hebat dalam berakting, bukan? Dia membuatmu percaya bahwa dia adalah pahlawan yang menyelamatkanmu di Pelabuhan Ratu. Tapi tanyakan padanya... kenapa dia membiarkan Larasati tahu lokasi rahasiamu saat itu? Dia butuh alasan untuk menyingkirkan Larasati secara permanen dan membuatmu merasa berhutang budi padanya selamanya. Dia mengorbankanmu dan bayi pertamamu hanya untuk sebuah permainan kekuasaan."
Nadia mundur selangkah, wajahnya pucat. "Kau bohong! Dia mencintai anak itu!"
"Dia mencintai kontrol, Nadia. Dan sekarang, dia mendapatkan kontrol itu kembali lewat Arka," Adrian menyeringai, mengeluarkan sebuah rekaman suara dari sakunya. "Dengarkan ini, dan putuskan sendiri."
Nadia kembali ke dalam penthouse dengan pikiran yang kacau. Di ruang tengah, ia berpapasan dengan Bramantyo yang baru saja keluar dari kamar Arka dengan wajah berseri-seri.
"Dia sudah tidur, Nadia. Dia memanggilku Ayah lagi sebelum memejamkan mata," ucap Bramantyo, mencoba meraih tangan Nadia.
Nadia menepis tangan itu dengan kasar. Matanya menyala penuh amarah dan luka yang baru. "Katakan padaku, Bram... apakah kematian anak pertama kita adalah bagian dari rencanamu untuk menghancurkan Larasati?"
Senyum di wajah Bramantyo seketika hilang. Wajahnya berubah kaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang luar biasa. "Apa... apa yang kau bicarakan?"
Nadia melempar foto itu ke dada Bramantyo. "Adrian kembali. Dia memberiku ini. Dia bilang kau sengaja membiarkan Larasati menculikku agar kau punya alasan untuk menghabisi Larasati tanpa tanganmu kotor oleh hukum. Apakah kau membiarkan anak kita mati demi takhtamu?!"
Bramantyo menatap foto itu, lalu menatap ke arah pintu keluar, menyadari bahwa adiknya telah kembali untuk menghancurkan apa yang baru saja ia bangun.
"Nadia, dengarkan aku—"
"JAWAB, BRAMANTYO! IYA ATAU TIDAK?!" raung Nadia, tangisnya pecah.
Bramantyo terdiam cukup lama. Keheningan itu terasa lebih menyakitkan daripada tamparan. "Aku tahu Larasati merencanakan sesuatu," suara Bramantyo sangat rendah. "Tapi aku bersumpah, aku tidak pernah mengira dia akan sejauh itu. Aku pikir aku bisa menjagamu dari jauh, menjadikannya bukti untuk menceraikannya secara tidak hormat. Aku... aku meremehkan kegilaannya."
Nadia terhuyung. "Jadi benar... kau menjadikanku umpan? Kau membiarkan istrimu yang gila itu menyiksaku hanya untuk mendapatkan bukti?"
"Nadia, itu kesalahan terbesarku! Itu sebabnya aku mencarimu seperti orang gila selama tiga tahun!" Bramantyo mencoba memeluk Nadia, namun Nadia mendorongnya dengan seluruh tenaganya.
"Kau monster," bisik Nadia dengan suara yang hancur. "Kau tidak berbeda dengan Adrian. Kalian berdua menjadikan aku dan Arka sebagai pion dalam perang kalian."
Nadia berlari menuju kamar Arka, mengunci pintu dari dalam, meninggalkan Bramantyo yang berdiri mematung di tengah ruangan yang gelap. Di luar sana, di gedung seberang, Adrian memperhatikan melalui teropongnya, tersenyum puas melihat lampu kamar utama yang akhirnya padam.