NovelToon NovelToon
ISTRI GEMUK CEO DINGIN

ISTRI GEMUK CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Hamil di luar nikah / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:20.9k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DICULIK

Mateo dan Justin melangkah cepat menuju ruang kerja Don di lantai dua. Rumah megah yang dulu begitu asing kini terasa penuh tekanan, seolah menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja.

Don tengah berdiri di depan jendela ruang kerjanya ketika pintu terbuka. Ia berbalik perlahan melihat kedatangan putranya dan Justin.

"Kalian datang." ucapnya tanpa ekspresi, lalu berjalan ke arah meja kerjanya dan duduk.

Mateo menatap ayahnya dengan dahi berkerut. "Apa yang ingin Papa sampaikan? Sampai harus memanggilku malam-malam begini."

Don membuka sebuah map berisi dokumen dan meletakkannya di atas meja.

"Aku menemukan sesuatu. Dan aku yakin... ini bukan kebetulan." ucap Don sembari menyodorkan berkas itu pada Mateo.

Mateo dan Justin mendekat, membuka dokumen yang berisi laporan keuangan perusahaan milik Mateo yang hancur beberapa bulan lalu dengan catatan-catatan kecil dari tangan kanan Don, Carlos.

"Laporan ini menjelaskan kejanggalan yang menyebabkan perusahaanmu bangkrut. Aku minta Carlos menyelidiki kembali setelah mendengar rumor tentang Samuel Adrien." jelas Don, menatap Mateo dalam.

Justin memicingkan mata saat melihat nama-nama yang tercantum.

"Ini... Dion?"

Don mengangguk. "Dion dijebak oleh Samuel dan Nathan. Mereka membuatnya terlihat seperti dalang penipuan anggaran. Padahal, seluruh skema sudah dirancang jauh sebelum Dion dipindahkan ke divisi keuanganmu."

Mateo mengepal tangannya, matanya menatap kosong ke arah dokumen.

"Samuel... pria itu baru keluar dari penjara... dan langsung bekerja sama dengan Nathan?"

"Ya," Don melanjutkan, "Nathan membocorkan data internal perusahaan mu padanya. Termasuk kontrak dan tender penting. Mereka memalsukan dokumen dan mengalihkan dana perusahaan ke rekening yang sulit dilacak. Dion hanya umpan, supaya seluruh kecurigaan tertuju padanya."

Suasana ruangan menjadi sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar.

Mateo mendongak, sorot matanya kini tak lagi penuh kecewa melainkan api kemarahan yang menyala-nyala.

Mateo memandangi berkas-berkas di hadapannya dengan tatapan kosong. Suaranya lirih namun terdengar jelas oleh semua orang di ruangan itu.

"Kenapa Nathan tega?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menatap Don dan Justin bergantian. "Apa salahku padanya? Kami sahabat... aku bahkan menganggapnya seperti saudara kandung."

Justin menunduk, ia tahu betapa dalamnya ikatan Mateo dan Nathan dulu. "Kadang... pengkhianatan datang dari orang yang paling dekat, bro. Justru karena kita terlalu percaya. Aku juga tidak menyangka, bahwa Nathan akan seperti ini."

Mateo berdiri, melangkah menjauh dari meja, lalu menghantam dinding dengan tinjunya. "Sialan!" teriaknya, napasnya memburu, matanya merah menahan emosi.

Don tetap duduk, namun sorot matanya tegas dan tajam. "Nathan bukan lagi pria yang kau kenal, Mateo. Dia sudah terpengaruh. Mungkin oleh ambisi, mungkin oleh dendam, atau mungkin... dia memang menyimpan iri padamu sejak lama."

"Pantas saja ia berubah," ucap Mateo menyiratkan kekecewaan.

Justin mendekat dan menepuk bahu sahabatnya itu. "Aku sudah menduganya Mateo."

Mateo menarik napas dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. "Kalau begitu... aku akan bangkit, dan pastikan dia tahu, dia menusuk pria yang salah."

Don akhirnya berdiri dari kursinya, menghampiri putranya. "Kita akan melawan bersama. Tapi dengarkan aku baik-baik, Mateo... jangan terbakar oleh amarah. Musuhmu sekarang bukan hanya Samuel dan Nathan, tapi juga sistem yang mereka manipulasi. Kita butuh rencana. Bukan dendam buta."

Mateo mengangguk pelan. "Aku akan buktikan... bahwa aku bisa berdiri lagi. Dan kali ini, mereka semua akan lihat Mateo Velasco tidak akan dihancurkan dua kali."

Mateo menatap ayahnya dengan sorot mata tajam, penuh tanya dan amarah yang masih berusaha ia kendalikan.

"Apa jebakan-jebakan lainnya... seperti skandalku bersama Livia yang tiba-tiba tersebar, dan penemuan kotak hitam beberapa hari lalu di depan apartemenku..." suaranya tercekat sejenak, lalu ia kembali melanjutkan, "Apakah semua itu ada sangkut pautnya dengan mereka, Pa?"

Don menatap mata putranya, lalu mengangguk perlahan. "Iya. Semuanya dirancang, Mateo. Mereka tidak hanya ingin menghancurkan bisnismu, mereka ingin menghancurkan seluruh hidupmu."

Mateo mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya.

Beberapa hari kemudian, Mateo dan Justin mulai menyusun langkah. Mereka bekerja diam-diam, menyusuri jejak-jejak digital, rekaman CCTV, dan saksi-saksi yang sempat diabaikan saat Mateo kehilangan segalanya.

Malam itu, Mateo duduk di depan laptop dengan wajah serius. Di sampingnya, Justin sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon dengan suara pelan.

“Aku sudah dapatkan rekaman CCTV dari pelayan apartemen. Ternyata, malam sebelum kotak hitam itu muncul, mobil Nathan terparkir tak jauh dari sana selama lebih dari dua jam,” ucap Justin sambil menutup telepon.

“Bukti pertama,” gumam Mateo. “Kita butuh lebih.”

Don menyerahkan satu berkas tipis berisi hasil investigasi terbaru.

“Semua ini... sudah jelas sekarang,” gumam Don. “Foto-foto skandal mu dan Livia yang tersebar ke media... ternyata berasal dari Nathan. Ia yang menyerahkannya langsung pada Samuel, dan Samuel yang menyebarkannya ke jaringan media bayaran mereka.”

Mateo memejamkan mata, rahangnya mengeras. “Jadi benar... Nathan sahabatku sendiri yang mengkhianatiku.”

Don mengangguk pelan. “Ya. Nathan dan Samuel merancang semuanya. Mulai dari penyebaran skandal, sabotase proyek, manipulasi keuangan, hingga jebakan yang membuat Dion terlihat seperti dalang.”

Mata Mateo mulai berkaca-kaca. Ia menunduk, tangannya mengepal di atas meja.

“Aku... membunuh Dion.” suaranya pecah. “Aku membunuhnya karena aku percaya dia menghancurkan hidupku. Aku percaya semua bukti yang mereka buat... Semua omong kosong itu.”

Justin mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Mateo.

“Kau tidak tahu, Mateo. Kita semua dibutakan oleh keadaan waktu itu. Tapi sekarang kita tahu yang sebenarnya.”

“Itu tidak menghapus dosaku.” bisik Mateo lirih. “Dion... dia hanya karyawan biasa. Dia orang baik. Dia mungkin satu-satunya yang masih setia padaku... dan aku menghabisinya.”

Don memalingkan wajah, menahan emosi yang meluap dalam dadanya. Suara Mateo terus menggaung dalam ruangan, sarat rasa bersalah yang mendalam.

“Aku harus menebusnya.” ucap Mateo. “Bukan hanya balas dendam pada Nathan dan Samuel. Aku harus menebus semua yang sudah kuperbuat. Termasuk kepada Livia...”

Justin menatap Mateo. “Kita akan membuka semuanya, Mateo. Dengan bukti-bukti ini, kita bisa melaporkan mereka ke pihak berwajib. Tapi kau juga harus siap menghadapi masa lalumu.”

Mateo mengangguk pelan, dengan air mata yang akhirnya jatuh membasahi pipinya. “Aku akan bertanggung jawab. Untuk Dion. Untuk Livia. Dan untuk semua yang sudah mereka hancurkan... atas nama kebencian dan pengkhianatan.”

Mateo pulang ke rumah tepat tengah malam. Lampu ruang tamu hanya menyala samar, dan suasana rumah terasa hening. Dengan langkah pelan, ia masuk ke kamar. Di sana, Livia telah terlelap di sisi tempat tidur, wajahnya terlihat damai dalam tidur.

Mateo berdiri sejenak, memandangi wanita yang telah menemaninya melewati badai hidup.

“Selamat malam... maaf aku pulang terlambat,” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara.

Ia lalu duduk di sisi tempat tidur, mengusap lembut rambut Livia, sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya di samping sang istri. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, hatinya terasa sedikit lebih tenang meski luka dan penyesalan masih menyesakkan dada.

Keesokan paginya, Mateo terbangun dengan tubuh masih lelah, namun dadanya tiba-tiba terasa sesak saat ia menyadari sisi tempat tidur di sebelahnya kosong.

"Livia?" panggilnya, suaranya berat dan sedikit panik.

Ia bangkit dengan cepat, menyibak seluruh ruangan apartemen. Kamar mandi kosong. Dapur sepi. Balkon juga tidak ada siapa-siapa.

"Livia! Di mana kau?" teriaknya lebih keras kali ini, nadanya mulai gemetar.

Mateo berlari keluar dari apartemen, menyusuri lorong dan bertanya pada satpam yang sedang berjaga di lobi.

“Apakah kau melihat istriku pagi ini? Perempuan bertubuh gemuk dengan rambut panjang, memakai baju tidur biru?” tanyanya tergesa-gesa.

Satpam tua itu menggeleng pelan. “Maaf, Tuan Mateo. Saya tidak melihatnya.”

Mateo menahan napas. “Sialan…”

Tangannya langsung menggapai ponsel dan mencoba menghubungi Livia. Tapi tidak ada nada sambung. Ponselnya tidak aktif.

Dengan napas memburu dan tubuh gemetar, Mateo kembali ke apartemen. Dan saat membuka pintu, matanya menangkap sesuatu di atas meja ruang tamu.

Secarik kertas.

Tangannya bergetar saat mengambil dan membaca tulisan di sana:

“Ucapkan selamat tinggal pada istrimu yang gemuk ini, Mateo.”

Kertas itu seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Mateo terdiam sejenak. Wajahnya pucat. Tubuhnya kaku.

Lalu dengan suara parau, ia bergumam,

“Tidak… tidak mungkin… Livia…”

Kini Mateo berada di kediaman Justin. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan, dan matanya sembab karena habis menangis. Di tangannya, ponsel terus-menerus dia lihat, berharap ada notifikasi dari Livia. Namun harapan itu terus pupus setiap kali layar menunjukkan "Panggilan tidak dapat terhubung."

Dengan langkah gelisah, Mateo mondar-mandir di ruang tamu Justin. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.

"Livia diculik, Justin," desisnya dengan suara serak penuh kemarahan. "Aku yakin ini ulah Nathan dan Samuel."

Justin yang duduk di sofa langsung berdiri, mencoba menenangkan sahabatnya. "Tenang dulu, bro. Kita nggak bisa asal tuduh tanpa bukti."

"Aku tidak asal tuduh!" bentak Mateo, matanya merah. "Mereka sudah hancurkan hidupku, menjebakku, dan sekarang... sekarang mereka mengambil Livia dariku!"

Justin menarik napas panjang. "Oke, kita akan cari tahu. Kita akan cari dia, Mateo. Tenangkanlah dulu dirimu. Kita harus berpikir jernih."

Mateo menatap Justin dengan tatapan yang kelam dan penuh amarah. "Kalau terjadi sesuatu pada Livia... aku akan habisi mereka satu per satu."

Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, dua pria duduk di kursi reyot dengan pencahayaan remang dari lampu gantung yang berayun perlahan. Di tengah ruangan, Livia terlihat duduk di kursi dengan tangan terikat dan mata tertutup kain. Tubuhnya menggigil, dan wajahnya dipenuhi ketakutan.

“Saya mohon… lepaskan saya…,” lirih Livia, suaranya parau setelah menangis selama berjam-jam.

Samuel menyulut rokok dan mengisapnya dalam-dalam sebelum mengembuskan asap ke udara. Tatapannya dingin saat memandangi perempuan yang sedang hamil itu.

“Dia mulai lelah,” gumam Samuel sambil berjalan mendekat, langkahnya berat dan sengaja dibuat menyeramkan. “Tapi kita belum selesai, bukan?”

Nathan menyilangkan tangan dan menyeringai sinis dari sudut ruangan. “Mateo pasti sudah membaca surat kecil kita. Sekarang tinggal tunggu reaksinya.”

Samuel menatap jam tangannya. “Cepat atau lambat dia akan datang. Dan saat itu terjadi... kita selesaikan semuanya.”

Livia mulai menangis lagi, tubuhnya bergetar hebat. Tapi tak satu pun dari mereka peduli. Mereka sudah terjebak terlalu dalam ke rencana jahat yang dibangun dari kebencian dan pengkhianatan.

Udara di antara mereka terasa berat, dipenuhi aroma cemas dan ancaman. Satu persatu kancing baju Livia terlepas dari sentuhan tangan Samuel yang tak kenal sopan.

Perut buncit Livia, yang selama ini ia sembunyikan, kini terekspos, dielus tanpa izin oleh jari-jari Samuel yang dingin dan penuh penghinaan. Kekehan liciknya menggema, "Ada calon penerus Mateo di sini," katanya, suara itu menusuk hati Livia lebih dalam dari sentuhan tangannya.

Nathan melangkah pelan mendekati Livia yang masih terikat, wajahnya menunduk dengan senyum licik yang menyiratkan kepuasan karena telah berhasil mengguncang hidup Mateo.

"Lucu sekali, Livia," ujarnya pelan, suaranya tajam seperti pisau yang menyayat perlahan. "Kau pikir pernikahanmu dengan Mateo adalah akhir dari penderitaanmu?"

Livia menatapnya penuh ketakutan, napasnya memburu. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Nathan, tapi firasat buruk telah menguasai dirinya.

Nathan membungkuk, menatap wajah Livia dari dekat. "Asal kau tahu," bisiknya dengan nada rendah, "Keluarga Velasco punya tradisi. Anak laki-laki pertama... adalah segalanya. Pewaris. Penerus. Simbol kekuasaan."

Livia tertegun. "Apa maksud anda...?"

Nathan menyeringai, puas melihat keterkejutan di wajah perempuan itu. "Kalau anakmu bukan laki-laki, kau tak punya nilai apa-apa di mata mereka. Kau hanyalah penghalang di antara Mateo dan takhta milik keluarganya."

Livia menahan napas, matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya mencelos. Ia tak tahu bahwa di balik kehidupan yang baru ia bangun bersama suaminya, ada beban dan tuntutan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Nathan berdiri tegak kembali, berjalan menjauh sambil berkata datar, "Kau hanya bidak, Livia. Dan sebentar lagi, permainan ini akan berakhir."

1
kayla
/Coffee//Coffee/
Uthie
nexxxttt 💞
Uswatun Hasanah
terharu
Uthie
Wadduuhhhh.. susah kalau kejahatan mistis kaya gtu mahh 😥
Uswatun Hasanah
kok ada mistiknya
Ria Nasution
jgn la mati Livia nya. balikkan lg mantra kiriman tersebut
kayla: yang harus kau lenyapkan itu kakekny mateo bukan livia..
kenapa tidak kau lenyapkan kakekny mateo dari sejak awal jika kamu bisa bermain kotor seperti itu.. mungkin alana akan terselamatkan/Sleep/

kayak nonton sinetron bkin emosi kak..
tp penasaran gmna ujungna..
nex kka semangat..
total 1 replies
Uthie
nexxxttt 💞
Uswatun Hasanah
lanjut
Uswatun Hasanah
mantul
Uthie
makin seru 👍👍🤩
dan suka juga niii cerita nya, langsung satset gak pake lama cerita penelurusan Alana nya 👍👍😁🤩🤩
istripak@min
lanjot thor
istripak@min
apa livia kembaran meteo???
Uthie
niceee 👍
istripak@min
menghina livia gakk taunya livia turunan velasco yg dibuang krn ank perempuan pertama ,ku rasa ank liam si livia ini
Uthie
jahatnya 😡
Uswatun Hasanah
mantap
kayla
kasihan livia..
hmm jd gak kuat baca nya..
gak sanggup terlalu banyak kekejaman..
tp mau tahu endingnya..
lanjut kak
jangan kecewakan endingny ya kak/Facepalm/
Susanti
ibunya mateo gendeng 😤
Uthie
lebih menyeramkan adalah musuh dari orang terdekat, Bahkan sangat dekat dan lebih berbahaya.. tak terdeteksi 😡
istripak@min
bos kok begok yaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!