Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 — Senja di Atap Sekolah
Alana tertidur di bahu Jendral setelah kelelahan menangis. Napasnya kini terdengar lebih teratur, meski sisa air mata masih membekas di wajahnya. Mereka masih berada di atap sekolah—tempat yang mulai diselimuti bayangan senja.
Jendral tetap diam, membiarkan Alana bersandar padanya tanpa bergerak sedikit pun. Ia tahu, perempuan itu membutuhkan ketenangan dan rasa aman. Di sisi lain, Naresh masih berdiri tidak jauh dari mereka. Ia belum juga pulang, meski langit mulai berubah warna.
“Lo belum pulang?” tanya Jendral pada Naresh. Jarak mereka cukup dekat, memungkinkan mereka berbicara tanpa perlu meninggikan suara.
“Gue nunggu Alana bangun,” jawab Naresh singkat. Ia tidak bisa pergi begitu saja setelah semua yang terjadi—terutama meninggalkan Alana yang kini tertidur di bahu orang lain.
“Gue bisa anter Alana pulang,” ucap Jendral, nadanya tenang, tapi jelas. Kalimat itu terasa seperti permintaan agar Naresh tidak perlu bertahan lebih lama.
“Tapi gue nggak bisa biarin lo berduaan sama Alana di sini,” balas Naresh, jujur. Ia tahu dirinya tidak punya hak, tapi tetap tidak bisa membiarkan itu terjadi. Ia yakin malam ini akan sulit tidur jika ia membiarkan Alana berduaan dengan Jendral.
“Posesif banget, cuma sahabat juga,” sindir Jendral ringan, tapi tajam.
Naresh memilih diam. Ia sadar, hubungannya dengan Alana memang hanya sebatas sahabat. Tapi membiarkan Alana bersama Jendral—dalam keadaan tertidur seperti ini—bukan keputusan yang bisa ia ambil dengan ringan. Bagaimanapun, Jendral tetap lelaki. Dan dalam situasi seperti ini, terlalu banyak kemungkinan yang bisa terjadi.
Keheningan menggantung di antara mereka selama beberapa saat, hanya ditemani angin senja yang mulai berembus pelan.
“Lo nggak mau tahu Alana sakit apa?” tanya Naresh tiba-tiba, suaranya datar tapi penuh makna.
“DID?” tanya Jendral pelan. Tapi nada suaranya tidak benar-benar bertanya—ia sudah tahu jawabannya sejak kejadian di rumah sakit.
Naresh terkejut, meski tidak terlalu menunjukkannya. Ia menatap Jendral, mencoba membaca ekspresinya.
“Jadi, lo udah tahu?” tanyanya.
“Hm.” Jendral mengangguk pelan. “Karena lo nggak pernah jelasin apa yang sebenarnya terjadi sama Alana waktu itu… gue akhirnya nyari tahu sendiri dan nyimpulin.”
“Dan lo masih suka sama Alana setelah tahu penyakitnya?” tanya Naresh, pelan namun serius. Ia perlu memastikan itu sekarang, sebelum segalanya jadi lebih rumit.
“Lo juga, kan?” Jendral tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Tapi satu kata itu—“juga”—sudah cukup menjelaskan segalanya. Ia masih menyukai Alana, bahkan setelah tahu semuanya. Dan itulah kenapa ia tetap di sini, tetap berusaha.
“Kata siapa gue suka sama Alana?” ujarnya, mencoba menyangkal. Bagaimanapun, ia pernah dengan tegas mengatakan bahwa hubungannya dengan Alana hanya sebatas sahabat.
Jendral hanya menatapnya singkat, lalu berkata, “Kalau nggak suka, nggak mungkin lo seposesif ini. Sampe lo rela nungguin dia bangun.”
Jendral dan Naresh menghentikan obrolan mereka saat melihat Alana bergerak. Perempuan itu perlahan membuka matanya.
“Hey, jangan dikucek,” ucap Jendral sigap, menahan tangan Alana yang hendak mengucek matanya yang terasa gatal.
Alana yang belum sepenuhnya sadar menatap Jendral. Matanya membulat seketika, karena Jendral menjadi sosok pertama yang ia lihat saat terbangun.
“Jendral, lo... Ngapain lo di sini?” tanyanya panik sambil langsung menepis tangan Jendral dan memeriksa tubuhnya sendiri.
Jendral dan Naresh saling berpandangan. Keduanya tampak heran sekaligus bingung melihat tingkah Alana yang baru saja terbangun.
“Lo mikirin apa, Alana?” tanya Jendral, membuat gerakan Alana terhenti. “Lo nggak lihat kita di mana? Kita masih ada di atap sekolah, sayang.”
Alana membeku. Kata terakhir yang diucapkan Jendral terasa menggema di telinganya. Ia melihat sekeliling dan baru menyadari bahwa mereka memang masih berada di atap sekolah. Dan satu hal lagi—ia akhirnya mengingat bahwa dirinya sempat menangis dalam pelukan Jendral, bersandar di bahunya, lalu tertidur.
“Sial, lo mikir apa, Alana?” gerutunya, lalu spontan menjambak rambutnya sendiri karena kesal terhadap kebodohannya.
Namun, seperti sebelumnya, Jendral tidak membiarkannya menyakiti diri sendiri. Ia segera menahan kedua tangan Alana agar berhenti.
“Stop, Alana! Harus berapa kali gue bilang? Jangan sakiti diri lo sendiri!” ucap Jendral. Nada bicaranya tetap lembut, dan itu cukup untuk membuat Alana menatapnya—melihat jelas kekhawatiran di wajah lelaki itu.
"Gue..." Alana menghentikan kalimatnya. Entah mengapa, semua kata di kepalanya seakan menghilang. Ia tidak tahu harus berkata apa saat ini, apalagi setelah melihat kekhawatiran begitu jelas di wajah Jendral.
"Jangan sakiti diri sendiri. Lo harus ingat itu," ucap Jendral, menegaskan dengan nada yang tetap lembut.
"Lo denger, kan?" tanya Jendral saat Alana hanya diam tanpa memberi respons.
Alana cepat-cepat mengangguk. Untuk sekarang, mulutnya belum mampu mengeluarkan sepatah kata pun, jadi hanya kepalanya yang bergerak memberi jawaban.
"Yaudah, sekarang kita pulang?" Jendral kembali bertanya, dan sekali lagi Alana mengangguk.
Naresh menyaksikan semuanya. Tidak ada satu momen pun yang terlewat dari pandangannya. Dan dari cara Jendral memperlakukan Alana, serta cara Alana merespons, Naresh sadar—lelaki itu sudah benar-benar berhasil masuk ke dalam hati Alana.
***
Jendral, Alana, dan Naresh berjalan beriringan menuju area parkir. Mereka mengira sekolah sudah sepi dan hanya menyisakan satpam, tetapi ternyata Nisya dan tiga teman Jendral masih berada di sana, menunggu di dekat motor mereka. Wajah mereka langsung menunjukkan kekhawatiran begitu melihat Alana.
"Alana, kamu baik-baik aja?" tanya Nisya. Ia bukan hanya khawatir, tetapi juga merasa bersalah karena yang menimpa Alana terjadi saat Alana membelanya.
Alana mengangguk pelan. Nisya, Mahen, Aska, dan Dewa saling berpandangan. Mereka mengira Alana memilih diam karena masih terpukul oleh masalah yang terjadi. Mereka tidak tahu, Alana sebenarnya hanya sedang menahan malu—salah tingkah. Bukan lagi soal insiden itu.
"Alana baik-baik aja. Jangan maksa dia ngomong dulu," ucap Naresh ketika salah satu dari mereka hendak kembali bertanya.
“Syukur deh, kalau emang baik-baik aja,” ucap Aska, merasa lega mendengarnya. Sejak Jendral memutuskan mengejar Alana, sejak saat itu juga Alana seolah telah menjadi bagian dari The Rogues. Jadi wajar jika mereka ikut khawatir, dan kini merasa lega saat tahu Alana baik-baik saja.
Dewa, Aska, dan Mahen menyadari mata ketua mereka tampak merah, seperti habis menangis—begitu juga dengan Naresh. Namun, tidak satu pun dari mereka menanyakan keadaan Jendral dan Naresh. Mereka laki-laki, dan seperti biasa, dianggap akan baik-baik saja.
“Oh ya, gimana kalau kita mampir makan di suatu tempat?” saran Dewa, mencoba mengalihkan suasana.
“Ide bagus, tuh. Kebetulan banget gue juga laper,” sahut Aska menyetujui. Namun, mereka tidak langsung memutuskan, menunggu jawaban dari ketua mereka.
“Oke, ayo makan,” ucap Jendral akhirnya. Wajah The Rogues tampak langsung lebih cerah mendengarnya.
“Lo juga ikut makan, tadi siang lo juga belum makan,” ucap Jendral pada Alana, karena memang Alana belum sempat makan sejak siang tadi.
Alana menggeleng, bermaksud menolak. Namun, Jendral terlihat ingin meyakinkannya untuk ikut.
“Bareng Nisya juga. Lo temenin Nisya,” lanjut Jendral.
Nisya yang namanya disebut sebenarnya berniat menolak. Namun, sebelum sempat mengutarakan penolakannya, Mahen sudah lebih dulu mengambil alih situasi.
“Lo naik motor gue, ikut,” ucap Mahen santai, tapi tegas.