Dulu, Lise hanya ingin sekolah dengan tenang. Tapi sejak bertemu Kevin, pria dengan rahasia di balik setiap diamnya, semua berubah. Hatinya yang polos tak bisa membohongi getaran tiap kali Kevin menatapnya. Meski dunia Kevin gelap, Lise merasa hangat saat di dekatnya. Seolah... cinta itu memang tidak selalu datang dari tempat yang terang.
“Kalau dunia ini hancur besok, kamu bakal nyesel udah deket sama aku?” bisik Kevin di telinga Lise, jemarinya menyentuh lembut dagu gadis itu.
Lise tersenyum kecil, lalu menggeleng.
“Enggak. Karena sejak hari pertama kamu panggil nama aku, hidup aku mulai punya arti.” mata sayu nya menatap lembut pada pria yang telah mengambil hatinya itu.
------
Karya ini adalah hasil tulisan asli saya. Dilarang keras mengambil, menyalin, atau memodifikasi tanpa izin. Plagiarisme adalah pelanggaran serius dan tidak akan ditoleransi.
#OriginalWork #NoPlagiarism #RespectWriters #DoNotCopy
penulis_ Evelyne Lisha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evelyne lisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 - Mata yang tercengang
Matahari mulai condong ke barat, langit sore perlahan berubah warna menjadi jingga keemasan. Lise dan Sarah berjalan berdampingan di trotoar setelah selesai bekerja, angin sore menerpa wajah mereka dengan lembut.
Sarah menoleh ke arah Lise dengan senyum ramah. “Oh iya, Lise, kita seumuran, kan? Aku tujuh belas tahun.”
Lise mengangguk kecil. “Sama. Aku juga tujuh belas.”
Sarah mengangkat alis, tampak tertarik. “Kamu sekolah di mana?”
“SMA Clief,” jawab Lise santai, sesekali menendang batu kecil di trotoar. “Kamu?”
“Aku di SMA Xe.” Sarah tersenyum tipis, lalu menatap Lise dengan penasaran. “Clief itu sekolah favorit, kan? Pasti ketat banget aturannya.”
Lise terkekeh. “Iya, cukup ketat. Tapi kalau udah terbiasa sih nggak terlalu terasa, suasananya juga lumayan asyik, apalagi para siswa yang berbagai macam sifat sama kelakuannya.”
Sarah tertawa pelan. “Sama aja kayak di Xe. Kadang aku ngerasa sekolah itu lebih kayak tempat penyiksaan daripada tempat belajar.”
Lise tersenyum tipis. “benar juga haha, selain belajar, banyak perundungan yang kejam, tapi yah, kita harus berani sih menghadapi yang seperti itu”
Sarah mengangguk setuju. “Benar juga,kita harus berani” Ia lalu menatap Lise dengan sedikit rasa ingin tahu. “Ngomong-ngomong, kamu baru ya kerja di sini?”
“Baru hari ini,” jawab Lise jujur. “Jadi aku juga masih belajar. Kamu?”
Sarah menggeleng.
“Aku sudah lumayan lama ''
Lise tersenyum kecil ''begitu ya''
tap tap tap
Lise datang dengan tergesa-gesa, mengenakan celemek dan topi kafe, siap melayani pelanggan. Malam itu, Revan, rekannya, tampak kewalahan menghadapi banyaknya pelanggan. Lise merasa lega karena tidak datang terlambat dan segera membantu.
''haaa~ untung saja, gak terlambat kan?''
''nggak, kok''
jawab revan sambil menahan senyum kesalnya
Kafe tempat mereka bekerja menjadi lebih hidup saat akhir pekan, ketika orang-orang berkumpul untuk bersantai, menikmati waktu tanpa pekerjaan atau pelajaran yang harus diselesaikan. Bagi Lise, meskipun ia tidak menikmati liburan seperti pelanggan lainnya, bekerja tetap menyenangkan, terutama karena ia memiliki kenangan indah dari momen-momen sebelumnya, seperti makan malam bersama Kevin.
Baginya, malam-malam seperti ini memiliki makna tersendiri. meskipun ada kemungkinan suatu hari nanti ia merasa bosan.
''tumben sekali banyak orang begini''
ini kan malam weekend, Lise. Sudah pasti ramai''
''benar juga''
__________
Malam telah larut saat Lise akhirnya tiba di rumah. Tubuhnya terasa begitu lelah setelah seharian bekerja, matanya mulai berat, dan ia hanya ingin segera merebahkan diri di tempat tidur. Pada awalnya, ia tidak terlalu memikirkan ketidakhadiran Kevin. Lagipula, pria itu jam kepulangannya tidak pasti.
Namun, seiring berjalannya waktu, ketenangan yang ia rasakan perlahan berubah menjadi kegelisahan. Detik demi detik berlalu, jam di dinding terus berdetak, tapi Kevin tak kunjung pulang.
Lise duduk di sofa, mencoba mengalihkan pikirannya dengan menonton televisi, tetapi pikirannya terus melayang. ‘Dia ke mana? Kenapa belum pulang?’
Perasaan cemas mulai menjalar di dadanya. Ia meraih ponselnya dan mulai menelepon Kevin. Sekali… dua kali… tiga kali… Tidak ada jawaban.
Lise semakin panik. Tangannya mulai gemetar saat ia kembali mencoba menelepon, berharap suara Kevin akan segera terdengar. Namun, yang ada hanya nada sambung panjang yang tidak pernah berakhir dengan jawaban.
“Halo? Kevin? Tolong angkat…” suaranya terdengar lirih, hampir bergetar.
Saat ia mulai berpikir untuk pergi mencarinya, suara pintu rumah tiba-tiba terbuka dengan keras.
BRAK!
Lise tersentak, jantungnya berdegup kencang. Ketika ia menoleh, matanya langsung membelalak melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.
Kevin.
Namun, bukan Kevin yang biasa ia lihat. Tubuh pria itu penuh luka, wajahnya babak belur dengan darah yang mengalir dari pelipisnya. Bibirnya pecah, dan ada luka besar di pelipis kanan, darah merembes dari sana. Bajunya terkoyak, memperlihatkan lebam dan goresan di sekujur tubuhnya. Salah satu tangannya mencengkeram pinggangnya yang berdarah, sementara napasnya berat dan tidak teratur.
Di sampingnya, Jared terkulai tak sadarkan diri, tubuhnya juga penuh luka, dan Kevin harus bersusah payah menopangnya agar tidak jatuh ke lantai.
Lise langsung bangkit, rasa lelahnya menguap seketika. “Kevin!” suaranya dipenuhi kepanikan saat ia berlari mendekat. “Apa yang terjadi?! Kenapa kamu—”
“Sial…” Kevin menggeram, tubuhnya hampir oleng. “Tutup pintunya.”
Lise menelan ludah, masih shock melihat kondisi mereka. Namun, ia segera menuruti perintah Kevin dan menutup pintu, sementara pikirannya masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi.
__________________________________
Btw, sorry thor, itu ada bbrp paragraf yg ke ulang²/Frown/