NovelToon NovelToon
Kurebut Suami Kakak Tiriku

Kurebut Suami Kakak Tiriku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cerai / Romansa / Balas dendam pengganti
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: lestari sipayung

Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

API CEMBURU CLARISSA

Elina mengangguk kecil, menandakan bahwa ia setuju untuk melanjutkan percakapan yang Kevin mulai. "Boleh, asalkan itu tidak melampaui batas," jawabnya dengan nada suara yang tegas namun tetap lembut, berusaha menjaga percakapan ini tetap terkendali.

Kevin menyunggingkan senyum tipis, tanda lega kecil karena Elina bersedia mendengarkannya. Tanpa membuang waktu, ia langsung mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Aku ingin bertanya soal hubunganmu dengan Adara. Kau pasti tahu bahwa kami bersaudara, bukan?" tanyanya, sambil menaikkan satu alisnya, memberikan kesan serius namun tetap mencoba santai.

Elina tidak langsung menjawab. Ia terdiam, memproses pertanyaan Kevin dengan hati-hati, memastikan ia memahami maksud di balik ucapan itu. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mulai membuka suara. "Aku dan Adara sudah bersahabat sejak lama. Hubungan kami sangat baik, dan aku sangat menyayanginya. Aku juga yakin dia sangat menyayangiku. Dan soal kalian bersaudara, aku memang sudah mengetahuinya. Jadi, apa yang sebenarnya kau ingin permasalahkan?" jelasnya, dengan nada bicara yang tenang tetapi mengandung pertanyaan di akhir kalimat.

Kevin memiringkan kepalanya sedikit, memandang Elina dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. "Aku baru tahu kalau kalian sudah bersahabat sejak lama. Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?" tanyanya, suaranya mulai terdengar seperti orang yang kesal, meski ia berusaha keras menyembunyikannya.

Elina tersenyum tipis mendengar keluhan itu. Senyuman itu tidak mengandung rasa bersalah, melainkan lebih seperti ingin menenangkan Kevin tanpa banyak drama. "Kau tidak pernah bertanya," jawabnya santai, seolah kalimat itu cukup untuk menjelaskan segalanya.

Kevin terdiam, tidak bisa membantah jawaban sederhana itu. "Benar juga," pikirnya dalam hati. Ia sadar bahwa selama ini ia terlalu fokus pada dirinya sendiri sehingga tak pernah benar-benar mencoba memahami hubungan orang-orang di sekitarnya.

Setelah beberapa saat hening, Kevin kembali berbicara, kali ini suaranya terdengar lebih ragu, bahkan sedikit gemetar. "Apa dia pernah mengatakan sesuatu tentangku?" tanyanya, hampir seperti berbisik. Pertanyaan itu membawa suasana percakapan ke tingkat yang lebih serius.

Kevin tahu bahwa ini adalah titik yang krusial. Baginya, hubungan dengan Adara adalah sesuatu yang kompleks—tidak pernah baik, bahkan mungkin tidak akan pernah baik. Pikiran tentang kemungkinan Elina sudah mengetahui semua itu membuatnya merasa semakin gelisah. Namun, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Ia harus tahu, meskipun jawabannya mungkin akan membawa konsekuensi yang tidak ia inginkan.

Elina mengamati Kevin dengan seksama, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya dia khawatirkan. Hening beberapa detik yang kembali hadir di antara mereka membuat suasana semakin tegang. Kevin menunggu dengan napas yang tertahan, sementara Elina berusaha menyusun jawaban yang tepat tanpa memperburuk keadaan.

"Aku tahu kalian kakak-adik, tapi hubungan kalian seperti orang asing. Aku salah?" Elina menatap Kevin, nada bicaranya terdengar seperti sindiran. Ketegangan mulai terasa, dan itulah yang ditakutkan Kevin.

"Apa yang pernah dia katakan tentangku?" Kevin bertanya, wajahnya menunjukkan kecemasan, seolah takut Adara telah berbicara buruk tentangnya pada Elina. Baginya, itu bisa menghancurkan perjuangannya untuk mendekati Elina.

Elina tersenyum lebar, seperti menangkap kegelisahan Kevin. "Kau takut dia menjelekkanmu?" tanyanya santai. Kevin terdiam, tak tahu harus berkata apa.

"Tenang saja, Kevin. Adara bukan orang seperti itu. Dia tidak pernah bicara buruk tentangmu. Aku sudah mengenalnya lama, mungkin aku bahkan lebih memahami dia dibanding kau sebagai kakaknya," jelas Elina dengan nada meyakinkan. Kevin hanya diam, mencoba mencerna ucapan itu.

"Ehm, apa yang kau tahu tentangnya?" Kevin bertanya lagi, ragu-ragu. Malam ini pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tidak ia ketahui jawabannya.

Elina menggeser posisinya agar lebih nyaman, menyesap minumannya, lalu kembali menatap Kevin. Dengan senyuman hangat, ia mulai berbicara. "Adara itu seperti malaikat tanpa sayap. Dia baik—sangat baik, bahkan kata itu tidak cukup menggambarkan apa yang sudah dia lakukan untuk orang lain. Dia membantu tanpa pamrih, dan dia tidak suka dikasihani..."

Elina terhenti ketika Kevin tiba-tiba memotongnya dengan nada tegas, seolah ada sesuatu yang ia tidak terima dari deskripsi itu.

"Dia dingin, tak tersentuh, dan egois. Dia bahkan hampir seperti iblis," ujar Kevin tanpa ragu. Elina hanya tertawa kecil mendengar ucapan itu.

"Kevin, kau mengatakan itu karena kau sebenarnya tidak mengenalnya," balas Elina lembut. "Adara memang terlihat dingin dan cuek, tapi dia memperhatikan segalanya. Di balik wajah datarnya, ada kebaikan yang tersembunyi. Jika kau mengenalnya lebih dalam, kau mungkin akan menarik ucapanmu dengan rasa bersalah."

Kevin mengernyit, tampak tidak percaya. "Kau tidak tahu bagaimana dia di rumah, Elina. Dia tidak seperti yang kau pikirkan."

"Justru itu masalahnya," sahut Elina. "Kalian serumah tapi seperti hidup di dunia yang berbeda. Kalian satu keluarga, tapi seperti tak punya ikatan darah. Mungkin kau perlu mencoba mendekatinya."

"Tidak," tegas Kevin. "Sampai kapanpun aku tak ingin dekat dengannya."

Elina tersenyum tipis, tidak terkejut mendengar kekerasan hati Kevin. "Lalu, apa yang pernah dia lakukan padamu?" tanyanya akhirnya, menatap Elina dengan rasa ingin tahu.

Namun Elina berbicara lagi sebelum dia sempat menjawab. "Adara pernah melakukan banyak hal untukku. Kebaikannya tak bisa kujelaskan, bahkan aku tak mampu membalasnya," ucap Elina dengan senyum lembut.

"Tapi—" Kevin mencoba memotong.

"Sudah, Kevin. Aku harus pergi," potong Elina, berdiri dari tempat duduknya. "Pikirkan baik-baik apa yang kukatakan. Sampai jumpa!"

Elina melangkah pergi, meninggalkan Kevin yang masih terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi kehadirannya sudah menghilang di balik keramaian malam.

*

*

Leon tersenyum puas menatap layar laptopnya, terlihat sangat senang dengan apa yang dilihatnya. "Dia sangat berbakat," gumamnya, tak mampu menyembunyikan rasa bahagia.

Pintu kamar mandi terbuka, dan Clarissa muncul dengan rambut panjangnya yang masih basah, menyebarkan aroma wangi yang segar. Melihatnya, Leon buru-buru menutup laptopnya dan menatap istrinya dengan wajah yang masih berseri-seri.

"Ada apa, Sayang? Kau terlihat berbeda," tanya Clarissa curiga, memperhatikan perubahan ekspresi suaminya.

Leon hanya tersenyum, menggeleng pelan, lalu menghampiri dan mengecup keningnya lembut. Setelah itu, ia segera masuk ke kamar mandi untuk mandi. Clarissa yang ditinggalkan sendirian menatap pintu kamar mandi sambil berpikir. Pandangannya beralih ke laptop Leon yang tertutup di atas meja.

Clarissa mendekati laptop itu, duduk, dan membuka perangkat tersebut. Kata sandinya sudah diingatnya dengan baik. Dia jarang sekali melakukan ini, tetapi perubahan sikap Leon akhir-akhir ini, ditambah pertengkaran kecil di antara mereka, membuat rasa percayanya sedikit goyah.

Begitu layar menyala, matanya langsung tertuju pada riwayat yang terbuka. Clarissa mengerutkan dahi saat menyadari sesuatu. Napasnya mulai berat ketika melihat daftar riwayat hidup dan foto-foto Adara yang terbuka di layar.

"Dia lagi!" gumamnya penuh emosi, mengepalkan tangannya dengan marah. Rasa cemburu memenuhi dadanya. Tanpa berpikir panjang, ia berdiri dengan langkah tergesa-gesa.

Langkahnya terhenti di tengah jalan ketika bertemu dengan mamanya, Karina. Wajah Clarissa terlihat begitu marah, dan Karina langsung menyadari ada sesuatu yang salah.

"Ada apa, Sayang? Mengapa wajahmu seperti itu?" tanya Karina dengan nada khawatir.

Clarissa menatap mamanya dengan mata yang mulai memerah, mencoba menahan emosinya. "Aku harus memperingatkan Adara agar tidak mencampuri urusan rumah tanggaku, Ma. Dia sudah terlalu jauh," katanya tegas.

Karina menghela napas, tahu betul apa yang sedang terjadi. Dia juga merasa perlu berbicara dengan Adara, tetapi ia belum menemukan waktu yang tepat. Melihat Clarissa yang sudah dipenuhi amarah, Karina hanya berharap situasi putrinya ini tidak semakin buruk.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!