NovelToon NovelToon
Menjadi Selamanya

Menjadi Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:11.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kiky Mungil

Divi hampir menyerah saat pengajuan pinjamannya ditolak, dengan alasan Divi adalah karyawan baru dan pengajuan pinjamannya terlalu besar. Tapi Divi memang membutuhkannya untuk biaya operasi sang ibu juga untuk melunasi hutang Tantenya yang menjadikan Divi sebagai jaminan kepada rentenir. Dimana lagi dia harus mendapatkan uang?

Tiba-tiba saja CEO tempatnya bekerja mengajak Divi menikah! Tapi, itu bukan lamaran romantis, melainkan ada kesepakatan saling menguntungkan!

Kesepakatan apa yang membuat Arkael Harsa yakin seorang Divi dapat memberikan keuntungan padanya? Lantas, apakah Divi akan menerima tawaran dari CEO yang terkenal dengan sikapnya dingin dan sifatnya yang kejam tanpa toleransi itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chap 19. Pelukan Yang Mengobati Luka

Divi baru saja selesai menyuapi ibu sarapan setelah dokter memeriksa dan sudah mengijinkan Ibu membatalkan puasanya pasca operasi besar kemarin.

"Apa ada yang sakit, Bu?" tanya Divi melihat ibu sedikit meringis ketika pelan-pelan mengganti posisinya di atas ranjang rumah sakit.

"Enggak, hanya mungkin ini bekas jahitannya saja yang masih sedikit nyeri." jawab Ibu masih dengan kondisinya yang agak lemas.

Divi tersenyum sembari membantu Ibu memposisikan punggungnya agar nyaman.

"Ibu benar-benar bersyukur Tuhan mempertemukan kamu dengan Nak Arkael, kalau saja bukan karena donor darahnya, Ibu mungkin..."

"Ibu akan tetap selamat, sehat dan kita akan bersama-sama bahagia." Potong Divi.

Ibu hanya tersenyum simpul.

"Jangan mikir yang enggak-enggak lagi ya, Bu, sekarang Ibu kan sudah stabil, tinggal fokus masa penyembuhan Ibu, ya." kata Divi lembut dan sabar.

"Iya..." Ibu mengangguk. "Omong-omong kapan kalian mengadakan resepsi?"

"Nanti kalau Ibu sudah sehat betul, resepsi akan segera dilakukan."

"Ibu akan semangat untuk kembali kuat."

"Nah gitu dong!"

"Lalu, sejauh ini, apa suamimu sudah tahu tentang...kejadian itu?"

Aktifitas Divi yang sedang merapihkan selimut Ibu pun terhenti, senyumnya pudar, ekspresinya berubah. "Nggak. Arkael nggak perlu tahu tentang kejadian itu."

"Kejadian apa?" Tepat sekali, dua kata terakhir yang diucapkan Divi tertangkap oleh pendengaran Arkael ketika pria itu membuka pintu, dia datang membawa seikat bunga segar yang cantik, ia melangkah masuk, menyalimi punggung tangan Ibu Inna dan kemudian memberikan seikat bunga itu pada ibu mertuanya.

"Cantik sekali bunganya, Nak."

"Yah, tapi nggak secantik Ibu." Puji Arkael membuat senyum pada bibir pucat ibu mengembang.

Divi juga ikut tersenyum, meski ekspresinya masih terlihat aneh di mata Arkael. Divi mengambil alih bunga itu lalu melepaskan ikatan dan kertas yang membungkus tangkai-tangkainya, kemudian dimasukkannya ke dalam vas bunga di atas meja setelah mengisi vas dengan air.

"Bagaimana keadaan Ibu?"

Ibu Inna mulai menjelaskan kondisinya yang mulai merasa jauh lebih baik, perutnya tidak lagi merasakan sakit yang menusuk seperti sebelumnya, yang ada sekarang hanya sisa rasa nyeri bekas jahitannya saja. Arkael cukup lega mendengarnya, tapi yang membuatnya heran adalah ekspresi Divi yang tidak bisa dia gambarkan. Kalau dari penjelasan kondisi ibu Inna, seharusnya bukan ekspresi kosong itu yang terpasang pada wajah Divi, kan?

Waktu bergulir, malam pun tiba, Arkael datang ke kembali ke rumah sakit untuk menjemput Divi, meski sebenarnya Divi lebih memilih untuk menemani ibunya di rumah sakit, tapi kehadiran Arin yang ditugaskan Arkael tentu saja membuat Arkael mendapatkan dukungan Ibu untuk membawa Divi pulang. Dalam perjalanan, gadis itu lebih banyak diam, melamun, dan sesekali menghela napasnya, seolah ada bongkahan besar yang menghalangi sistem pernapasannya.

"Apa saya perlu memeriksakan kamu juga ke dokter spesialis pernapasan?" tanya Arkael yang mulai gatal dengan suara helaan napas Divi.

"Eh, saya nggak sakit, kok." Sahut Divi.

"Kalau begitu berhenti menghela napasmu."

"Baik, Pak. Maaf." tapi baru saja kalimat maaf itu diloloskan dari bibirnya, helaan napas kembali terdengar.

Divi mengernyit karena tidak sadar melakukannya.

"Bim, putar balik, kita ke rumah sakit lagi, dia harus segera diperiksa."

"Oke."

"Eh, eh, nggak usah Pak Bimo, saya nggak apa-apa, beneran deh!"

"Yakinkan itu ke Pak Bos, 100 meter lagi di depan ada puteran balik." Bimo mulai menyalakan lampu sein kanan.

"Saya nggak apa-apa, Pak Kael, beneran, saya cuma...cuma...cuma...ada yang ganggu pikiran saya aja." kata Divi sambil menatap Arkael dengan tatapan memohon. Arkael meliriknya, acuh, tapi dia cukup lega karena sorot mata gadis itu tidak lagi kosong seperti sejak tadi siang.

"Gimana Pak? Jadi putar balik?"

"Kita langsung pulang." jawab Arkael.

Lampu sein berubah menjadi kiri. Divi hendak menghela napas lagi, tapi diurungkannya karena lirikan mata Arkael.

"Saya baik-baik aja, Pak." Divi nyengir.

Arkael mengalihkan wajahnya dari cengiran polos Divi yang ternyata menstimulasi rasa gemas pada Arkael hingga menimbullkan rasa ingin mencicipi cengiran gadis itu.

Fix! Gue harus ke psikolog! Batin Arkael menggema.

Setelah beberapa meni yang menyiksa bagi Arkael, akhirnya mereka sampai di rumah, tapi wajah Arkael berubah masam begitu melihat sebuah mobil sudah terparkir di sana.

"Sial!" Gumam Arkael.

"Ada apa?" tanya Divi.

Alih-alih menjawab pertanyaan Divi, Arkael justru langsung meraih tangan Divi dan menggenggamnya erat-erat, mata tajamnya menyorot lekat-lekat ke dalam mata Divi. "Di dalam ada Mama, jadi apa pun yang mengganggu pikiramu saat ini, kesampingkan dulu." Bisik Arkael, setelah itu tanpa peringatan bibirnya kembali melakukan apa yang pling Divi benci, yaitu mengecup kening Divi. "Mama mengintip." Bisiknya sekali lagi sebelum mereka melangkah menjauh dari mobil.

Meskipun kecupan itu bisa membuat tabungannya nanti menjadi gendut, tapi dia membencinya, karena kecupan itu menimbulkan getaran yang membuat debaran jantungnya terancam.

"Ada apa Mama datang?" tanya Arkael dengan nada ketusnya.

"Begitukah kamu menyapa orang tuamu? Pasti karena pengaruh istri kampunganmu kamu jadi kehilangan kesopanan."

"Sopan santunku hanya kuberikan kepada orang yang layak. Apakah seorang ibu yang berniat membunuh anaknya layak mendapatkan rasa homat dari anaknya?" Suara Arkael terdengar datar tapi tidak dengan genggaman tangannya pada tangan Divi, genggaman itu menguat, hingga Divi harus menyentuh tangan Arkael dengan tangannya yang lain, mengusap lembut dan pelan punggung tangan Arkael agar membuat pria itu sadar bahwa genggaman tangannya bisa membuat remuk tangan Divi.

Dan apa yang dilakukan Divi berhasil, seiring dengan Arkael yang melonggarkan genggaman tangannya, Arkael menghembuskan napasnya kasar.

"Jaga bicaramu, Ar! Biar bagaimana pun aku tetap orang tuamu! Jangan jadi anak durhaka karena istri kampunganmu itu!"

"Oh, mungkin harus aku ingatkan juga, di dunia ini juga ada yang namanya orang tua durhaka."

"Ini semua pasti gara-gara kamu! Kamu pasti sudah meracuni pkiran anakku!" Paulina sudah menaikkan tangannya untuk menyambar rambut Divi, tapi tangan Arkael cukup cepat untuk menahan tangan wanita itu.

"Jangan sentuh istriku." kata Arkael dengan nada penuh penekanan. Seiring dengan penekanan kata yang diucapkan Arkael, jantung Divi pun rasanya seperti diremas. Apa yang didengarnya terlalu nyata untuk dikatakan sandiwara. Ah, apakah Divi hanya berhalusinasi?

"Dia tidak pantas menjadi istrimu, Arkael!" Paulina menyentak tangan Arkael.

"Oh ya? Lantas siapa yang lebih pantas? Perempuan-perempuan manja yang sering Mama bawa itu? Perempuan-perempuan yang hanya tau bagaimana menghina orang lain?"

"Ar, Mama hanya ingin kamu mendapatkan pendamping yang sederajat."

"Apa Mama pikir Papa melihat derajat sosial Mama saat dulu menikahi Mama? Mungkin jika dulu bukan karena Papa, Mama tidak jauh lebih baik dari pada Divi!"

"Ar..." Divi menguatkan genggamannya pada tangan besar Arkael. Meski pun dia tidak tahu apa permasalahan yang ada di antara anak dan ibu itu, tapi semakin jauh Divi mendengarkan, semakin rasanya hati Divi terasa nyeri.

"Lihat apa yang kamu perbuat terhadap anakku!" Telunjuk Paulina menuding Divi.

"Istriku tidak salah! Berhenti playing victim! Mama membuatku muak!"

"Arkael!" Paulina teriak.

"Dar! Bimo!" Arkael pun juga ikut berteriak.

"Ya Tuan!"

"Ya Pak!"

"Dar, jangan ijinkan Nyonya Paulina masuk lagi ke rumah ini!"

"Baik Tuan!"

Paulina menganga tidak percaya dengan titah yang diberikan Arkael pada asisten rumah tangga itu.

"Bimo, bilang ke supirnya, bawa Nyonya Paulina pulang sekarang juga, dan jangan sampai dia mengantarkan lagi Nyonya ini datang ke rumahku!"

"Siap Pak!" Bimo mengangguk.

Arkael pun langsung menarik tangan Divi begitu saja berlalu dari hadapan mamanya, tidak perduli seberapa kuat Nyonya besar itu memanggil namanya juga memaki Divi, Arkael hanya menguatkan genggamannya juga mengeraskan rahangnya hingga membawa Divi ke dalam kamar, menutup pintu rapat-rapat hingga suara Paulina tidak lagi terdengar.

Arkael melepaskan genggaman tangannya, dia menyugar rambutnya merasa sangat frustasi, lalu tiba-tiba Arkael berteriak sekuat tenaga hingga membuat Divi terkejut setengah mati. Ini adalah kali pertama selama Divi mengenal sosok Arkael sebagai sosok yang dingin dan paling dapat mengendalikan emosinya kini terlihat kehilangan semua itu.

Arkael bahkan sampai menghempaskan barang-barang di atas meja nakas.

Grab!

Divi memberanikan diri menarik tangan Arkael, berdiri berhadapan dengannya. Untuk kali pertama juga Divi dapat melihat luka pada sorot mata yang biasanya selalu menyorot dingin dan tajam.

Tanpa berkata-kata Divi memeluk Arkael, memeluk pria itu erat, menepuk pelan punggung lebar Arkael hingga ketegangan pada punggung yang biasa berdiri dengan tegap itu menghilang.

Aku nggak tau luka apa yang juga kamu pendam...seenggaknya pelukan ini bisa sedikit mengobatinya. Batin Divi.

Kenapa kamu harus memelukku? Kenapa kamu tidak tinggalkan dan abaikan saja aku? Jangan...membuatku terbiasa dengan rasa nyaman ini. Batin Arkael.

.

.

.

Bersambung~

1
Boma
terus berjuang el,untuk meyakinkan divi
Boma
pasti divi salah paham,di kiranya akan mengakhiri pernikahan kontraknya
Boma
padahal kakek cuma ingin tau perasaan kael yg sesungguhnya
Boma
mending jujur aja divi,kalo perasaan itu ada,tapi sllu menepisnya,karna tak sepadan dgn arkael,moga kakek merestuimu divi
Boma
pasti rana,makin runyam
DwiDinz
Siapa tuh yg nguping? Rana atau divi? 🤔
Boma
kamu aja yg ambil,biar nanti terbiasa😄
Umie Irbie
kok ayah siiii thoooor 😱🤔🤔 punya
traumakah ????
Umie Irbie
othooooor random bangeeeet dewhhh,. masa rumahnya kael yg mewah ada tokek 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤪
Umie Irbie: wahhahahahahaha,. 🤣🤣🤣🤣🤣 di hotel pulaaaa 😒😒😒🤣🤪
Kiky Mungil: mending kalo di rumah, tapi ini di hotel kak, eh, tokeknya juga mau ikut bobo dihotel kayaknya 😅😅😅
total 2 replies
Boma
kirain ada yg ngetuk pintu,eh toke😄ada2 saja
Kiky Mungil: tokeknya jadi room service 😅
total 1 replies
Boma
apa dia bilang wc ya ujungnya😁
Umie Irbie
duuuuh,. bahasa inggris yaks😒😣 artinya apaan siii,. masa kudu copy paste dulu ke google transit 😏😣😒
Kiky Mungil: jangan kak...bahaya artinya 😋😋
total 1 replies
Umie Irbie
hahahaah,. baca nya sweet bangeeet siiiii 🤣🤭🤭
Umie Irbie
hahahaha,. hukuman nya kok enak sekali yaaaaa 🤣
Boma
WAK WAW ngambil kesempatan dlm kesempitan kael😄
Umie Irbie
hahahahahah,. arkael mesuuuuuuum🤣🤣🤣🤣🤣
Boma
pokus pokus aja terus kael
Muri
buat kaelnya bucin ya thour
Muri
kayanya bukan mmh kandung kael lh
Boma
awas aja kalo kamu goyah kael,bakal nyesel kamu di tinggal divi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!