🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadia Praja Diwangsa
🌹LETS KILL THIS STORY🌹
AUTUOR POV
Inanti mencoba tidak menelan semuanya mentah mentah. Menarik napas, keluarkan.
"Nan…."
'Jangan, Al. Suara kamu bikin aku eneg. Apalagi Papa dan Mama keluar, meninggalkan aku dengan pria brengsek ini.'
"Inan…."
'Jangan mendekat. Pergi!'
"Inan, saya minta maaf."
'Sujud di kaki anakmu, pria kejam!'
"Inanti…"
Dan air mata Inanti luluh saat Alan menggenggam tangannya. Seluruh tubuhnya seolah tersengat listrik, tangisannya tanpa suara. Organ tubuhnya seolah tidak berfungsi, hanya air mata yang menjelaskan.
Tidak ada tenaga, tidak ada daya. Untuk bernapas saja Inanti merasa sulit, hanya menangis dan menangis.
"Inanti…"
Inanti menepis tangan Alan yang hendak merangkup pipi. Bukan karena jijik. Tapi…. Inanti tidak sanggup berdekatan dengannya.
Keberadaan Alan mengingatkan Inanti akan semua kebodohannya yang bertahan di sisinya. Yang mana membuat salah satu bayinya pergi, meninggalkan Inanti yang tidak becus merawatnya.
"Inanti, saya minta maaf."
"Pergi." Inanti berdehem karena suara yang serak. "Pergi."
Inanti menarik tangan yang digenggam Alan. "Pergi."
Pria itu tidak menangis, tapi Inanti melihat kesedihan dan keterpurukan di matanya. Namun, dia tidak peduli.
"Pergi."
Alan melangkah pergi dengan langkahnya yang pelan.
Dan saat pintu tertutup, Inanti menangis meraung merasakan rasa sakit seorang diri. Dan kesakitan itu bertambah saat Inanti melihat adanya kaos kaki berwarna biru, yang seharusnya dikenakan oleh bayi laki lakinya.
Inanti tidak tahan, Inanti ingin berwudhu dan menenangkan pikiran.
Gunting yang ada di sana Inanti gunakan untuk memutus selang infus.
Ketika kakinya merasakan dinginnya lantai, sekujur tubuhnya sakit. Tapi tidak sesakit hatinya yang mereka olok olok.
"Astagfirullah," ucapnya dalam setiap langkah.
Inanti mencoba tidak berprasangka buruk pada yang kuasa. Namun, semakin Inanti mencoba mengerti kenapa Allah memberi cobaan ini, semakin Inanti menangis di setiap langkah.
Di kamar mandi, Inanti menyalakan kran dan mengambil wudhu.
Sesaat Inanti pikir semua kesakitan akan hilang begitu saja. Tapi Inanti belum ikhlas.
Yang mana membuatnya malah terjatuh dan menangis.
Inanti memukul mukul dadInanti sendiri.
"Inanti?" Terdengar langkah mendekat. "Nan?!"
Alan berjongkok di hadapan istrinya, dia mencoba menghentikan tangannya yang menyakiti diri sendiri.
"Lepas!"
"Nan, jangan begini. Inanti!" Alan memeluknya erat, mengusap punggungnya seolah menenangkan. "Jangan seperti ini."
"Kamu jahat…"
Alan tetap memeluk, dia memejamkan matanya mendengar kata itu.
"Kamu jahat! Ini semua karena kamu!"
"Saya jahat, saya nyakitin kamu. Maka jangan menyakiti diri sendiri yang sudah penuh luka. Nadia butuh kamu, dia butuh Mamanya."
'Nadia?'
"Iya, Nadia. Anak kita."
Anak kita? Ingin sekali Inanti menyahut, tapi bibirnya kelu dan tertelan oleh tangisan.
"Nadia butuh Mamanya, jangan seperti ini, Inanti."
🌹🌹🌹
"Mama sama Papa lagi keluar sebentar, saya yang akan jaga kamu."
Inanti masa bodoh.
Alan tetap berada di sampingnya yang sedang diperiksa dokter.
"Infusnya jangan diputus lagi ya, Bu. Sampai ibu tidak kekurangan cairan, baru boleh dilepas."
"Terima kasih, Dok." Alan yang mengatakan.
Saat dokter keluar, Alan menyentuh tangan istrinya. Yang segera Inanti hindari enggan bersentuhan dengannya. Inanti jelas marah dan tidak bisa didefinisikan lagi.
Alan menghela napas berat, seolah lelah. Tapi seharusnya Inanti yang merasa begitu, kenapa dia yang merasa berat?
"Namanya Nadia Praja Diwangsa. Saya yang kasih nama, saya juga yang adzanin Nadia."
Seenaknya banget dia kasih nama. Dirinya yang mengandung, dirinya yang dicaci, udah keluar dia semena mena. Alan benar benar brengsek.
"Warna matanya sama kaya kamu, cantik banget. Tapi masih dalam inkubator, seminggu lagi baru boleh pulang."
Sejak kapan Alan suka bicara dengan dirinya? Apa dia menyesal? Apa dia benar benar menyesal? Tapi, bukankah dia jijik dengan dirinya? Inanti saja ditendang ke kamar belakang bersama bayi bayinya. Dan dia tidak akan pernah melupakan itu..
"Semua kebutuhan Nadia sudah saya siapkan, kamarnya juga."
Bagaimana rupanya anak laki lakinya? Apa seperti dalam mimpi?
"Saya tahu saya salah, Nan. Saya ingin memulai semuanya kembali. Kasih saya kesempatan."
Apakah dia kedinginan seperti dalam mimpinya?
"Inanti?"
"Di mana dia dimakamkan?"
Alan menegang, tahu kemana arah pembicaraan. "Di makan keluarga Praja Diwangsa, namanya Adam."
Tenggorokan Inanti tercekat ingin menangis lagi. Adamku, putra kecilnya..
"Papa punya fotonya, nanti saya minta buat kamu."
Adam, putranya.
"Nan?"
"Saya mau lihat Nadia." inanti memberanikan menatap manik Alan yang tajam.
"Kamu gak boleh kemana mana."
"Saya mau lihat Nadia, dengan atau tanpa izin kamu."
Saat Inanti hendak mengambil gunting lagi, Alan memasukannya ke dalam laci. "Oke kita lihat Nadia, tapi jangan putus infusnya. Saya yang akan gendong kamu."
"Pakai kursi roda."
"Kursi roda ada di depan, saya yakin kamu akan nekad pergi duluan."
"Saya gak mau disentuh kamu."
Alan diam, wajahnya datar tapi matanya memperlihatkan semuanya.
"Nan…"
"Pergi, saya akan pergi sendiri."
"Kamu masih sakit kan? Saya akan gendong kamu. Saya mohon, kamu gak tau kan tempatnya di mana?"
Inanti diam sampai akhirnya dia menurut, lagipula tujuannya adalah melihat Nadia.
Alan melepaskan kantong infus dari tempatnya dan membiarkan Inanti memeganya.
Dan untuk pertama kalinya, Alan menggendong tubuh yang selalu dia hindari.
Inanti melingkarkan tangan di lehernya, tatapannya tertuju pada jalan menuju ruangan bayi.
Hanya bisa melihat dari kaca luar, Alan berhenti di sana.
"Mana bayiku?"
"Yang ini," ucap Alan berhenti di depan bayi berselimut pink. "Dia sedang tidur."
Dan air mata Inanti kembali menetes saat melihat bibir mungilnya menguap lebar.
Alan melihatnya, saat itu juga dia merasakan tusukan jarum di dadanya. Dia menyesal.
🌹🌹🌹
Tbc