Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
Pagi itu langit sudah berganti warna, dari gelapnya malam menjadi lembayung pagi. Namun, hati Tere, Papa Adrian, dan Mama Linda tetap kelam. Mereka berdiri di balik kaca ruang ICU, menatap lekat sosok Arga yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Tubuh Arga penuh dengan selang dan alat bantu. Wajahnya pucat, nyaris tanpa warna. Hanya detak lambat alat monitor yang mengabarkan bahwa Arga masih berjuang.
Tere berdiri kaku, kedua tangannya menggenggam kaca seolah ingin menembusnya, ingin mendekap Arga, ingin menghapus luka-luka di tubuh laki-laki itu. Hatinya mencelos setiap melihat wajah Arga yang tak berdaya.
Mama Linda menangis pelan di pelukan Papa Adrian. Sang ayah menatap prihatin pada menantunya yang selama ini ia abaikan. Dalam hati, Adrian berdoa penuh harap, “Ya Allah, selamatkan anak ini... dia anak baik... jangan ambil dia secepat ini...”
Tere mengusap air matanya, napasnya tersengal menahan tangis. Pagi itu terasa begitu panjang dan menyesakkan.
Tiba-tiba ponsel Tere bergetar di saku. Dengan tangan gemetar ia mengambilnya. Tertera nama Vina, sahabat sekaligus rekan kerjanya.
Tere menarik napas panjang lalu mengangkatnya.
“Halo... Vin...” suaranya lirih dan parau.
“Tere, kamu kenapa nggak masuk kantor? Aku telpon berkali-kali kamu nggak angkat, aku khawatir banget,” suara Vina terdengar panik.
Tere menahan tangisnya. “Vin... suami aku... suami aku kecelakaan...”
Sejenak hening di seberang sana. Vina terkejut, tak menyangka mendengar itu.
“Astaga, Ter... kamu di mana sekarang? Dia gimana keadaannya?”
Tere menghela napas, suaranya gemetar. “Aku di rumah sakit... dia... dia masih koma, Vin... doain dia ya...”
Vina tercekat, suaranya ikut bergetar. “Iya, Ter... aku doain, aku ke sana nanti ya... kamu kuat ya, Ter...”
Tere hanya mengangguk, padahal Vina tak bisa melihatnya. Panggilan pun terputus, menyisakan ruang hati Tere yang kembali sesak.
Di tempat lain, di sebuah cafe aluna, seorang pemuda bernama Jaka, sahabat Arga, duduk gelisah di kursinya. Pandangannya menatap kosong
"Kemana sih Arga? Biasanya dia yang paling rajin, pagi-pagi udah nyampe cafe. Kok hari ini nggak ada kabar sama sekali?" batin Jaka.
Ia mengambil ponselnya, mencoba menghubungi Arga. Namun, panggilan itu tak tersambung.
“Ah, mungkin dia ada urusan mendadak...” gumam Jaka, meski hatinya tetap gelisah.
Waktu seakan berjalan lambat. Di rumah sakit, Tere masih setia di depan ruang ICU. Papa Adrian sesekali bicara dengan dokter untuk menanyakan perkembangan Arga. Mama Linda terus mengelus bahu putrinya, mencoba menguatkannya.
“Tere... Arga anak baik. Kamu jangan tinggalkan dia. Apapun yang terjadi, kamu harus kuat,” bisik Mama Linda penuh haru.
Tere mengangguk, air matanya tak lagi bisa ia sembunyikan. Dalam hati ia terus berdoa, berharap sebuah keajaiban datang untuk Arga.
Di dalam ruang ICU, Arga tetap terbaring lemah, tak sadarkan diri. Tapi dalam hati Tere, ia mulai merasa... betapa besar sebenarnya perasaan yang mulai tumbuh untuk suaminya itu.
Setelah berjam-jam menunggu dengan hati terombang-ambing antara harap dan cemas, akhirnya pintu ruang ICU perlahan terbuka. Seorang dokter keluar, wajahnya serius tapi dengan nada menenangkan.
“Alhamdulillah, kondisi pasien sudah lebih stabil walaupun masih koma. Kami sudah lakukan tindakan sebaik mungkin. Untuk sekarang, keluarga boleh mendampingi di dalam, tapi tetap bergantian dan menjaga kebersihan,” ucap dokter itu.
Tere langsung menatap dokter itu dengan mata berkaca-kaca. Seolah tak ingin membuang waktu, ia segera melangkah masuk bersama Mama Linda dan Papa Adrian.
Begitu melewati ambang pintu ICU, jantung Tere serasa diremas. Di hadapannya, Arga terbaring lemah. Wajahnya pucat, beberapa luka masih jelas terlihat. Alat bantu pernapasan menempel di hidungnya, suara alat monitor berdentang pelan, mengiringi setiap detak jantung yang berusaha bertahan.
Tere mendekat, perlahan duduk di kursi di samping tempat tidur Arga. Tangannya bergetar saat menyentuh tangan Arga yang terasa dingin. Air matanya langsung jatuh satu-satu.
“Arga...” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Dulu ia menolak kehadiran Arga. Dulu ia menjauh dan menutup pintu hatinya. Kini, lelaki itu terbaring tak berdaya di depannya, dan hatinya justru dipenuhi rasa takut kehilangan.
Mama Linda dan Papa Adrian ikut berdiri di sisi ranjang, menatap menantu mereka dengan pilu. Mereka tahu betapa besar beban Arga selama ini.
“Arga, kamu dengar aku kan? Bangun, Ga... aku di sini sekarang... aku mau kamu sehat lagi,” kata Tere, suaranya bergetar.
Ia terus mengusap lembut tangan Arga, berharap hangat tubuhnya bisa memberi kekuatan.
Waktu terus berjalan. Tere setia di sana, tak bergeming. Suster datang, mengganti infus dan mengecek alat-alat, tapi Tere tetap di sisi Arga.
Kadang Tere membisikkan doa, kadang ia hanya menatap wajah Arga dengan tatapan penuh rasa bersalah.
“Maafin aku, Ga... kalau aja aku bisa memutar waktu... aku nggak akan biarin kamu pergi sendirian malam itu...”
Mama Linda menepuk bahu Tere pelan. “Kamu kuat, Nak... Arga butuh kamu sekarang.”
Tere mengangguk. “Iya, Ma... aku nggak akan ninggalin dia... aku janji...”
Detik berganti menit, menit berganti jam. Tere tetap ada di sana, setia menjaga lelaki yang selama ini diam-diam mencintainya dengan tulus. Kini, cinta itu baru terasa begitu berarti saat ia di ambang kehilangan.
Mata Tere sembab, tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin Arga bangun, tersenyum, dan berkata semua akan baik-baik saja.
Di luar ruang ICU, Papa Adrian menelpon seseorang untuk menyampaikan kabar. Sementara Mama Linda duduk termenung, matanya juga basah karena sedih.
Tere kembali membelai rambut Arga yang sedikit basah karena keringat. “Kamu nggak sendiri, Ga... aku di sini. Kamu harus kuat ya...”
Dalam hatinya, Tere bertekad. Kalau Arga sembuh, dia tak akan lagi menolak cinta itu. Dia akan berusaha mencintai Arga sebaik dia bisa.