Jelita Maheswari, gadis yang kecantikannya selalu tertutupi dengan penampilannya yang sangat sederhana, bahkan terkesan kolot. Dia menerima pinangan dari seorang wanita setengah baya, yang menginginkannya untuk menikah dengan putranya, karena merasa tidak enak untuk menolak permintaan wanita itu. Pernikahan yang semula dianggap akan memberikan kebahagiaan buatnya, benar-benar jauh dari harapan. Gavin Melviano, pria yang dijodohkan dengan Jelita, terlihat sangat tidak menyukainya, karena penampilan Jelita yang benar-benar tidak fashionable. Namun, pria itu terpaksa menerima Jelita sebagai istri, demi supaya harta kekayaan orang tuanya tidak jatuh ke tangan Jelita. Gavin bahkan menuduh Jelita, mau menerima lamaran mamanya, hanya demi harta.
Akankah Jelita bisa bertahan dengan sikap Gavin yang selalu menghinanya? dan apakah Gavin selamanya akan menatap hina Jelita?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosma Sri Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulut cabe rawit
Hari demi hari berganti, tidak terasa sudah dua minggu berlalu. Beberapa hari ini, sikap Gavin terlihat sedikit berubah baik. Kata-kata pedas dan sarkas sudah sangat jarang terdengar dari mulut pria itu. Namun, kadang-kadang pria itu masih bersikap menyebalkan. Pria itu benar-benar sangat sulit untuk ditebak. Kadang baik kadang bengis.
Pagi ini, Jelita terlihat sibuk berkutat di dapur untuk membuat sarapan buat dirinya sendiri seperti biasa. Namun entah kenapa ada niat di dalam hatinya untuk membuat lebih banyak.
"Kenapa aku harus membuat banyak? apa aku sedang berharap kalau dia mau memakan masakanku?" batin Jelita setelah masakannya selesai.
"Hmm, lebih baik sekarang aku mandi dulu, baru makan. Setelah itu, aku bisa bersantai sedikit, mumpung pesanan kue tidak banyak hari ini." Jelita mengajak hatinya untuk bercengkrama sembari berjalan menuju kamarnya.
Sebelum mencapai pintu kamarnya, Jelita menoleh ke arah pintu kamar Gavin yang masih tertutup.
"Kenapa dia belum keluar? bukannya dia harus bekerja hari ini? aku ketuk aja pintunya kali ya?". Jelita hendak melangkah, tapi tiba-tiba dia mengurungkan langkahnya.
"Emm, nggak deh, kan dia bosnya. Kalau telat juga tidak akan ada yang berani marah," Jelita kembali hendak melanjutkan tujuannya, tapi lagi-lagi, wanita itu berhenti dan kembali menatap ke arah kamar Gavin.
"Tapi, walaupun dia seorang bos, kan dia harus tetap memberikan contoh yang baik sebagai seorang pimpinan. Jadi, aku harus tetap membangunkannya," Jelita kembali hendak melangkah menuju kamar Gavin.
Baru saja Jelita melangkah dua langkah, tiba-tiba pintu kamar Gavin terbuka dan suaminya muncul dari dalam san, sehingga membuat Jelita terjengkit karena kaget.
Wanita itu berusaha untuk menetralkan rasa kagetnya dengan mengembuskan napas berkali-kali seraya mengelus-elus dadanya.
Jelita mengrenyitkan keningnya, melihat Gavin yang keluar dari kamar masih dengan pakaian rumahan.
"Kenapa dia masih belum rapi? apa dia tidak akan bekerja hari ini? kalau iya, itu berarti aku akan mendengar mulut pedasnya seharian," Jelita menggerutu di dalam hati. Namun, rasa kesalnya berubah kembali raut wajah heran begitu melihat raut wajah Gavin terlihat sangat pucat.
"Wajah kamu kenapa pucat? kamu lagi sakit ya?" tanya Jelita.
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya kurang enak badan saja," jawab Gavin sembari melangkah dengan langkah yang sedikit sempoyongan, hingga hampir terjatuh. Untungnya, Jelita dengan sigap langsung menahan tubuh pria itu.
"Kurang enak badan bagaimana? kamu ini demam dan demam kamu sepertinya tinggi," Jelita meraba kening Gavin yang suhunya memang sangat panas.
Jelita memapah tubuh Gavin dan membaringkan pria itu di atas sofa. "Kamu tunggu di sini, aku ambilkan air untuk mengompres kepalamu," Jelita nyaris saja berlalu, tapi terhenti begitu tangan panas Gavin menahan tangannya.
"Apa kamu bisa mengambilkan aku minum?" desis Gavin deng lirih.
Jelita menganggukkan kepalanya, dan berlalu menuju dapur.
"Hmm sebaiknya aku buatkan dia bubur aja," batin Jelita. Sebelum mengambilkan minum, Jelita lebih dulu meletakkan panci berisi beras ke atas kompor dengan api yang sangat kecil, baru setelah itu, Jelita mengambilkan air minum serta air yang hangat untuk mengompres Gavin.
Jelita kembali menemui Gavin yang terbaring lemah.
"Ternyata orang menyebalkan ini bisa sakit juga. Kalau sakit begini, aku baru sadar kalau dia ternyata manusia. Padahal selama ini, aku kira dia setan," batin Jelita sembari terkikik pelan.
"Nih, minum dulu!" Jelita membantu Gavin untuk duduk, dan juga memberikan minum ke mulut suaminya itu.
"Terima kasih!" ucap Gavin dengan lirih, yang membuat Jelita seketika terpaku. Karena untuk pertama kalinya dia mendengar pria dingin itu mengucapkan terima kasih.
Diamnya Jelita hanya untuk beberapa saat, karena kemudian wanita segera tersadar dan membantu Gavin untuk berbaring kembali.
Jelita meraih baskom berisi air hangat dan handuk kecil, memeras handuk itu dan meletakkannya di atas kepala Gavin.
Jelita melangkah kembali menuju dapur untuk melanjutkan, memasak bubur buat Gavin.
"Dia mau nggak ya, nanti makannya?" batinnya ragu-ragu. "Bodo amatlah, yang penting aku sudah berniat untuk memasaknya. Kalau dia tidak mau makan biarkan aja dia kelaparan sendiri." Jelita kembali membatin sembari melanjutkan memasak bubur buat Gavin.
Tidak perlu menunggu waktu yang terlalu lama, akhirnya bubur untuk Gavin sudah selesai. Jelita langsung menuangkan ke dalam mangkok, dan membawanya ke Gavin. Jelita juga tidak lupa untuk membawa air minum dan obat penurun demam sisa miliknya, sekalian.
"Emm, Tuan, Tuan, ayo bangun dulu,!" Jelita menepuk-nepuk pundak Gavin dengan lembut.
"Ada apa?" tanya Gavin masih dengan suara lirih.
"Tadi, aku buatkan bubur untukmu, kamu makan dulu, baru nanti minum obat," ucap Jelita dengan ragu seraya menggigit bibirnya. Dia khawatir kalau Gavin marah dan menyuruhnya membuang bubur buatannya itu.
"Kamu tolong suapi aku," mata Jelita membesar, terkesiap kaget dengan reaksi Gavin yang benar-benar tidak terduga itu.
"Kenapa kamu masih diam kaya patung di sana? apa kamu tidak dengar apa yang aku katakan? kami suapi aku!" titah Gavin dengan suara yang sedikit meninggi.
Jelita seketika mendengus, karena sikap menyebalkan Gavin ternyata kembali muncul.
"Bisa tidak kamu meminta tolong dengan benar? jangan membentak seperti itu!" protes Jelita, sembari mendaratkan tubuhnya duduk di samping Gavin.
"Kalau kamu tidak ikhlas, melakukannya, sini biar aku yang makan sendiri!" Gavin berniat meraih mangkok berisi bubur itu dari tangan Jelita. Namun, dengan cepat Jelita menjauhkan mangkok itu dari jangkauan tangan Gavin.
"Iya, aku ikhlas. Sini, buka mulut kamu!" Jelita menyendokkan suapan demi suapan bubur itu ke dalam mulut Gavin yang memang kali ini tidak banyak protes. Wanita itu juga tidak lupa memberikan obat penurun demam miliknya.
"Hmm, sepertinya ada bagusnya kamu sakit. Telingaku merasa nyaman, tidak mendengar mulut cabe rawit berbicara," ucap Jelita tanpa sadar, sembari merapikan mangkuk bekas bubur yang terlihat habis tidak bersisa.
"Apa kamu bilang? mulut siapa yang kamu bilang cabe rawit?" Gavin menatap Jelita dengan pandangan tidak terima.
" Lho,e- emang siapa yang bilang mulut cabe rawit? Jelita seketika gugup.
"Kamu jangan pura-pura lupa! kamu tadi bilang kalau aku lebih baik sakit dan telingamu aman dari mulut cabe rawit," Gavin memicingkan matanya.
"Oh, kamu salah dengar, aku tidak ada mengatakan hal itu. Mungkin karena kepalamu masih pusing, jadi kamu jadi salah dengar," sangkal, Jelita dengan seulas senyum yang dipaksakan.
"Yang sakit kepalaku, bukan telingaku. Jadi kamu jangan mengelak lagi," Gavin tetap yakin dengan apa yang didengarnya.
"Oh, iya aku lupa! aku tadi belum sarapan dan aku ada buat sambal menggunakan cabe rawit," Jelita meraih mangkok yang ada di meja, dan langsung berlari ke dapur, meninggalkan Gavin yang berteriak memanggilnya, sembari memijat kepalanya.
Tbc
Tidak bosan-bosan aku meminta untuk minta dukungan, like, vote dan komentarnya, guys. Mau kasih hadiah, mawar boleh, kopi juga boleh bahkan hati juga aku terima dengan senang hati 🥰🥰🙏🏻