Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teror yang Baru
Perjalanan kembali ke Desa Raga Pati terasa seperti napas tertahan yang tak pernah terlepas. Mobil yang dikendarai Bian melaju pelan, ditemani mobil Kepala Desa Dwi di depan. Dwi, wanita muda dengan ketegasan yang rapuh, adalah satu-satunya sekutu mereka di tanah yang dikutuk ini. Di samping Bian, Tiara menggenggam Liontin Suci, yang kini memancarkan hawa dingin yang mengalahkan pendingin ruangan mobil.
Saat mobil melintasi batas kayu Desa Raga Pati, Bian merasakan perubahan atmosfer yang drastis. Udara tiba-tiba menjadi es yang menusuk tulang, bukan dingin alami, melainkan dingin dari energi yang lapar. Udara itu membawa aroma bunga busuk yang manis, aroma mematikan yang Bian kenali sebagai pertanda ritual Ratih.
"Kita sudah sampai," bisik Tiara, mencengkeram lengan Bian.
Bian mematikan mesin. Desa itu tampak diam, terlalu diam. Tidak ada kabut hijau yang tebal, tetapi kegelapan terasa lebih pekat, seolah malam telah menyerap semua cahaya.
"Tuan Bian, kita harus segera ke rumah warisan," ujar Dwi, mendekati mobil mereka dengan langkah cepat. "Kita tidak punya waktu. Tiap detik berlalu, Rendra semakin dekat dengan takdirnya."
"Desa ini terlihat normal," kata Bian, matanya menyapu rumah-rumah kayu yang tertutup rapat.
"Itu ilusi," balas Dwi, menggeleng. "Ratih belajar. Dia menutupi apa yang terjadi. Kami yang tinggal di sini, kami tahu. Kami tidak lagi melihat hantu, tetapi kami merasakan kekosongan."
Saat Bian melangkah keluar, ia merasakan tarikan kuat di pergelangan kakinya. Ilmu Pawangnya mulai memberikan sinyal. Ia mencengkeram Tiara, merasakan Liontin Suci di tangan istrinya bergetar.
Tiba-tiba, pandangan Bian kabur. Hawa dingin menguat, dan di tengah jalan desa yang kosong, sosok itu muncul.
Itu adalah Wina, guru muda yang kematiannya mereka baca di koran. Wajahnya tirus, pucat seperti kertas, matanya melotot. Wina tidak bersuara, tetapi ia menatap Bian dengan permohonan yang tak terperikan.
"Jangan lihat dia, Bian! Itu ilusi!" seru Dwi panik.
Bian lumpuh. Ia tahu Wina bukan sekadar hantu dendam, melainkan rekaman jiwa yang terperangkap dan digunakan sebagai komunikasi oleh Ratih.
"Aku merasakannya. Dia ditarik ke sini... ke arahku," bisik Bian.
Tiba-tiba, sosok Wina maju, dan sukmanya seolah melompat ke arah Bian, menembus tubuhnya. Bian tidak merasakan sakit fisik, tetapi ia merasakan jiwanya ditarik paksa keluar dari raganya sendiri. Ia ambruk.
"Bian!" teriak Tiara, tubuhnya ambruk di samping suaminya.
Dalam sekejap mata, kesadaran Bian terpisah dari tubuhnya. Ia berdiri dalam dimensi abu-abu bersama Wina. Raga Wina yang pucat kini berganti menjadi sukma cahaya yang redup.
"Tolong aku… Tuan Bian… Tolong selamatkan kami…" Suara Wina terdengar langsung di pikiran Bian, dipenuhi ratapan.
Wina menarik sukma Bian, dan waktu seolah berputar. Mereka melintasi tiga tahun teror yang Bian lewatkan.
Mereka berdiri di sebuah rumah kosong yang dindingnya retak.
"Ini rumahku, Tuan Bian," Wina menjelaskan melalui pikiran. "Aku sangat bahagia, aku akan menikah… Ratih datang dan mencuri kebahagiaanku. Dia mengambil semua kebahagiaan milikku untuk melengkapi keabadiannya."
Kemudian, adegan itu berpindah cepat. Mereka berdiri di alun-alun desa, tempat kini berdiri sebuah altar batu dengan ukiran spiral yang asing.
"Dia menggunakan ini untuk memancing… memancing arwah yang bingung… seperti Sari," suara Wina penuh duka. "Sari dipaksa mencari tumbal lain untuknya."
Mereka kembali ke jalan setapak yang gelap, menyaksikan kembali detik-detik kematian Wina, tetapi kali ini dari sudut pandang korban. Wina menunjukkan Sosok Hitam Besar itu bukan hantu, melainkan proyeksi energi yang dipanggil oleh Tongkat Jaga yang Ratih gunakan. Sosok itu menyedot sukma Wina.
"Tongkat itu... itu tidak memiliki jiwa, tetapi itu mencuri jiwa. Ratih menggunakan itu untuk keabadiannya," Wina memohon agar Bian memahami.
Wina menarik Bian ke lokasi berikutnya, di luar gudang tua. Di sana, Bian melihat bayangan Ratih sedang merencanakan sesuatu, dikelilingi oleh para pengawalnya yang berjas hitam. Ratih di depan papan tulis, menggambar simbol spiral yang baru.
"Dia sedang mencari tumbal berikutnya yang diliputi kesedihan mendalam, Tuan Bian. Dia sedang memburu Rendra," Wina berbisik putus asa. "Dia akan membiarkan Arwah Sari yang terdistorsi menjebaknya. Rendra tidak akan bisa melihat wajah aslinya sampai ia berada di tempat yang sepi. Tolong hentikan dia… sebelum Rendra menjadi bagian dari kami…"
Wina kemudian menunjuk ke arah Bian, tepat di posisi sukma Rendra. “Ratih tahu kau ada di sini. Dia membiarkan aku menunjukkan semua ini kepadamu. Dia ingin kau ikut bermain. Dia ingin kau takut, agar energimu menjadi lemah.”
Wina menunjukkan adegan terakhir. Di atas pintu gudang, terukir simbol Spiral penuh yang terbelah dua, dan di sebelahnya, ada ukiran kecil yang Bian kenali sebagai wajah Jaga yang menangis.
"Jaga tidak mati," Bian berkata, sukmanya bergetar. "Dia terperangkap, energinya diserap, dan dia menangis karena pengorbanannya sia-sia!"
Tiba-tiba, Bian merasakan tarikan yang kuat kembali ke raganya. Ia merasakan sentuhan lembut dan hangat Tiara.
Bian membuka mata. Ia terbaring di tanah dingin, Tiara memeluknya, dan Dwi menyiramkan air suci yang ia bawa ke wajah Bian.
"Arwah itu menculik sukma Anda, Tuan Bian!" seru Dwi, suaranya dipenuhi ketakutan.
Bian bangkit, tubuhnya gemetar. Ia menatap ke jalan desa yang kini kembali kosong.
"Wina... dia tidak pergi," kata Bian, suaranya serak. Ia tahu apa yang terjadi. "Ratih membiarkan Wina menunjukkan semuanya. Wina mengikuti kita. Dia terikat padaku sekarang, sebagai Pawang yang dilihatnya."
Tiara menatap suaminya dengan mata penuh kekhawatiran, tetapi ia segera mengambil peran Pengimbang. Ia menggenggam tangan Bian, memusatkan ketenangan.
"Ratih ingin kita takut, Bian," ujar Tiara tegas. "Tapi kita tidak akan memberikannya. Kita harus fokus. Apa kata Wina? Di mana Rendra sekarang?"
"Ratih tidak membawanya ke tempat sunyi biasa," jawab Bian, sambil menahan rasa sakit di kepalanya. "Dia membawanya ke Sumur Tua di halaman rumah kakekku."
Bian melihat ke arah rumah warisan. Ia merasakan keberadaan yang terperangkap dan sedih di sana, di dekat sumur. Ia juga merasakan bayangan Wina melayang di sampingnya, dingin, tetapi tidak lagi ganas, hanya meminta pertolongan.
"Kita harus cepat! Sebelum Rendra menjadi tumbal berikutnya!" seru Dwi.
Mereka bergegas menuju rumah warisan Kakek Pranoto, yang kini terasa seperti markas musuh yang menunggu. Bian berjalan dengan Tiara di sampingnya, Liontin Suci di tangan mereka, dan bayangan tirus Arwah Wina yang terus mengikuti di setiap langkahnya.
Teror sesungguhnya baru saja dimulai.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"