Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.
Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.
Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saga 2: Janji di Bawah Rembulan Purnama
Pagi di Desa Hijau datang dengan sunyi yang aneh. Tidak ada suara tawa anak-anak seperti biasanya, hanya derit bambu yang bergesekan pelan tertiup angin. Udara lembab, seolah bumi sendiri masih mengingat kejadian kemarin sore,
ketika tiga orang asing mencabik ketenangan lembah itu. Di bengkel kecil di belakang rumah, Liang Chen berdiri di depan tungku yang menyala. Api berwarna jingga menari di balik jelaga hitam, memantulkan bayangan wajahnya yang tegang dan mata yang kelam.
Ia menggenggam palu besi dan mulai memukul batang logam di atas landasan. Suara logam yang bertemu logam menggema di ruangan itu, ritmenya tidak teratur, kadang terlalu cepat, kadang terlalu berat. Setiap kali palu menghantam,
percikan api terbang seperti semburan amarah. Besi itu memerah, melengkung, lalu terhantam lagi. Liang Chen tidak sedang menempa senjata, ia sedang menumpahkan rasa malu dan dendam yang menyesak di dadanya.
Tangannya terasa panas, namun ia tidak berhenti. Dalam pikirannya, wajah preman yang melempar batu kemarin terus muncul. Ia teringat suara tawa mereka, ejekan mereka. Ia melihat tangannya sendiri yang kasar karena bekerja,
lalu membayangkan tangan pria itu, tangan yang dilingkupi cahaya energi spiritual, tangan yang bisa menghancurkan batu hanya dengan gerakan ringan. Perbedaan itu seperti jurang yang tidak bisa diseberangi. Liang Chen menatap besi yang ia pukul, seolah benda itu adalah dirinya sendiri.
Jika palu bisa membentuk besi menjadi pedang, mungkinkah amarah bisa membentuk hati menjadi kekuatan? Ia tidak tahu, namun ia terus memalu, semakin keras, hingga suara napasnya memburu dan keringat menetes di lantai tanah. Besi itu bergetar setiap kali dipukul, seperti ikut menjerit bersamanya.
Ayahnya berdiri di dekat pintu, memperhatikan tanpa suara. Wajahnya suram, tapi matanya tidak mengandung teguran. Ia hanya menunggu, membiarkan putranya bertarung dengan emosinya sendiri. Setelah beberapa lama, ia melangkah mendekat dan berkata pelan, “Cukup, Chen’er.”
Liang Chen berhenti, palunya jatuh ke tanah. Nafasnya berat, bahunya turun. “Aku lemah, Ayah. Aku bahkan tidak bisa melindungi seorang wanita tua. Aku hanya berdiri dan melihat.”
Sang ayah menghela nafas panjang. “Kau tidak lemah karena gagal, kau hanya belum tahu caranya berdiri kembali. Dunia ini penuh orang kuat,
tapi tidak semuanya berdiri di tanah yang benar.” Ia mengambil palu dari tangan anaknya dan menatap potongan besi yang hangus.
“Kekuatan sejati bukan pada seberapa jauh kau bisa melempar batu, tapi seberapa teguh kakimu berdiri di atas tanah ini.”
Kata-kata itu sederhana, tapi ada keteguhan yang tenang di dalamnya. Liang Chen menunduk, memejamkan mata, mencoba memahami maknanya. Namun hatinya masih berdenyut oleh rasa malu.
Ayahnya diam sejenak, lalu berbalik menuju sudut bengkel. Dari tumpukan barang-barang tua, ia mengeluarkan sesuatu yang terbungkus kain lusuh. Ketika kain itu dibuka, tampak sebuah pedang hitam kusam. Bilahnya tumpul,
pinggirannya berkarat di beberapa tempat, gagangnya terbuat dari besi berat yang sudah aus. Pedang itu bukan senjata kebanggaan, melainkan benda yang tampak tak berharga.
“Pedang ini,” kata sang ayah sambil menatap Liang Chen, “adalah satu-satunya yang tersisa dari leluhur kita. Ia tidak tajam, bahkan tidak indah. Tapi anehnya, dia tidak pernah berkarat,
meski puluhan tahun disimpan dalam lembab dan debu.” Ia menyerahkan pedang itu kepada Liang Chen. “Aku menyimpannya bukan karena kekuatannya, tapi karena maknanya. Keteguhan. Kadang, sesuatu yang tumpul lebih setia dari yang berkilau.”
Liang Chen menerima pedang itu dengan kedua tangan. Beratnya terasa berbeda, bukan karena logamnya, melainkan karena sesuatu yang tidak terlihat. Ia menatap pantulan redup di bilah itu. Tidak ada sinar yang kembali, hanya kegelapan tenang yang menelan cahaya. Dalam diam, Liang Chen merasa pedang itu sedang menatap balik kepadanya.
Ayahnya menepuk bahunya. “Kau belum tahu kemana langkahmu akan membawa, Chen’er. Tapi ingatlah, bila saatnya datang dan dunia menertawakan kelemahanmu, pegang pedang ini. Bukan untuk membunuh, melainkan untuk berdiri.”
Siang berganti sore. Di luar, awan tipis bergulung di langit, menandakan hujan kecil mungkin turun malam nanti. Liang Chen duduk lama di depan bengkel, memandangi pedang hitam itu. Setiap goresan di bilahnya seperti menyimpan cerita yang belum ia pahami.
Malam menjelang, dan ibunya memanggil dari dalam rumah. Ia masuk dengan langkah pelan. Cahaya lampu minyak menerangi ruangan yang hangat. Ibunya sedang menyiapkan ramuan herbal, uapnya mengalir lembut di udara,
menyebarkan aroma daun pahit dan bunga kering. Liang Chen duduk di depan ibunya, membiarkan tangan lembut itu menyeka luka di dadanya dengan kain basah.
“Kau terlalu keras pada dirimu,” bisik ibunya. “Bahkan bumi yang paling kokoh pun retak bila terus
dipukul.”
Liang Chen tersenyum lemah. “Aku tidak tahan melihat mereka mempermalukan orang-orang di sini. Aku tidak ingin menjadi penonton lagi.”
Ibunya berhenti sejenak, menatap matanya dengan tatapan yang penuh kasih dan kecemasan.
“Keinginanmu baik, tapi jalan untuk menegakkan kebaikan tidak selalu terang. Banyak orang berjalan di jalan itu, lalu kehilangan dirinya di tengah kegelapan.”
Suara ibunya seperti lagu yang dulu sering ia dengar ketika kecil. Saat ia membalut luka, bibirnya menyenandungkan nyanyian lama yang diwariskan dari neneknya.
Melodi itu lembut, seolah menidurkan dunia. Liang Chen menutup mata, mendengarkan. Di antara rasa sakit yang perlahan mereda, muncul rasa tenang yang menembus hatinya.
Ia berpikir, inilah yang ingin ia lindungi. Kehangatan sederhana, suara lembut, dan rumah kecil yang selalu menunggu. Ia menggenggam kain di tangannya erat, berjanji pada dirinya sendiri bahwa apapun yang terjadi, tempat ini tidak akan ia biarkan hancur.
Ketika malam semakin larut dan ibunya pergi tidur, Liang Chen berbaring di tikar jerami di dekat jendela. Bulan purnama menggantung tinggi di langit, sinarnya menembus celah bambu dan jatuh di wajahnya.
Udara terasa dingin namun menenangkan. Ia hampir terlelap ketika tiba-tiba dadanya terasa panas, tepat di atas jantung. Rasa panas itu tajam, seperti bara yang disentuh kulit.
Ia terperanjat. Matanya terbuka, dan dalam sekejap, dunia di sekitarnya menghilang. Dalam pandangan batinnya, ia melihat lautan merah yang mendidih. Darah mengalir seperti sungai, dan di tengahnya berdiri sebuah bayangan hitam raksasa yang menggenggam pedang panjang.
Di langit di atasnya, mata merah menyala berputar seperti pusaran tak berujung. Suara aneh bergema, tidak berupa kata, tapi maknanya menembus kesadaran: panggilan, atau mungkin peringatan.
Liang Chen menjerit pelan dan terbangun. Tubuhnya basah oleh keringat. Ibunya yang tidur di ruangan sebelah segera datang. “Chen’er, apa yang terjadi?”
“Tidak apa-apa, Ibu. Aku hanya bermimpi buruk.”
Ibunya menyentuh dahinya, merasakan panas yang masih tersisa. “Kau demam. Aku akan ambil air dingin.”
Ketika ibunya beranjak, Liang Chen menatap dadanya. Kulit di atas jantungnya memerah, membentuk pola samar seperti pusaran kecil. Ia mengusapnya, tapi pola itu menghilang perlahan, seolah menembus masuk ke dalam daging.
Ia menelan ludah, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya bayangan mimpi. Namun di dalam dirinya, ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Malam itu, ketika ia kembali tertidur, angin bertiup lembut melewati jendela, membawa suara samar dari luar: desir sungai, bisik dedaunan, dan sesuatu yang lebih dalam,
seperti gema dari masa lampau. “Ketidaksadaran adalah selubung yang melindungi jiwa fana dari bayangan para dewa dan iblis.” Kalimat itu muncul di pikirannya tanpa asal, lalu menghilang bersama hembusan angin.
Fajar berikutnya datang dengan kabut tebal. Penduduk desa berkumpul di halaman, bisik-bisik panik menyebar. Dari kejauhan, langkah berat terdengar lagi.
Empat sosok muncul dari jalan setapak, tiga di antaranya adalah preman kemarin, dan di depan mereka berjalan seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun dengan jubah kelabu. Aura di sekelilingnya berbeda,
udara di sekitar tubuhnya bergetar lembut. Setiap langkahnya meninggalkan bekas di tanah seperti hembusan angin.
Penduduk desa mundur ketakutan. Pria itu berhenti di tengah lapangan dan berkata datar, “Salah satu artefak milik sekte kami hilang. Kami melacak jejaknya sampai ke desa ini. Serahkan, atau kami akan mencarinya sendiri.”
Kepala desa yang renta melangkah maju, gemetar. “Tuan, kami tidak tahu apa yang Anda maksud. Kami hanya orang biasa.”
Pemimpin preman kemarin mendengus, “Mereka berbohong. Periksa semua rumah.”
Kultivator berjubah kelabu itu mengangkat tangannya. Udara berputar di sekelilingnya, membentuk pusaran kecil. Ia menggerakkan jari, dan angin menukik tajam ke tanah.
Batu di hadapannya retak, tanah terbelah, dan debu beterbangan. “Cakar Angin,” gumamnya pelan. Penduduk desa berteriak ketakutan. Seorang pria yang berdiri terlalu dekat terlempar dan berdarah di bahu.
Liang Chen yang berdiri di dekat bengkel menatap pemandangan itu dengan ngeri. Tubuhnya masih lemah, tapi hatinya bergetar. Ia melihat pedang tumpul di sudut bengkel. Suara ayahnya bergema di kepalanya: “Keteguhan.” Ia menggenggam gagang pedang itu dan melangkah maju.
“Apa pun yang kalian cari, tidak ada di sini. Pergilah.” Suaranya tidak keras, tapi jelas.
Pemimpin preman menatapnya dan tertawa. “Anak ini lagi. Kau belum kapok?”
Pria berjubah kelabu menatap Liang Chen, matanya tajam seperti bilah pedang. “Menarik. Seorang bocah tanpa kultivasi, namun berani menatapku.”
Liang Chen berdiri tegak, kedua tangannya menggenggam pedang tumpul itu. “Kau boleh memukulku, tapi jangan sentuh mereka.”
Tawa rendah terdengar. Sang kultivator mengayunkan tangannya pelan. Tekanan angin menghantam dada Liang Chen, membuatnya terlempar ke tanah. Rasa sakit membakar seluruh tubuhnya, namun ia menolak melepaskan pedang itu. Ia berusaha bangkit, darah mengalir dari bibirnya.
Pria berjubah kelabu menatapnya dengan heran. “Berani, tapi sia-sia. Dunia ini tidak menunggu orang seperti kau.” Ia berbalik, menatap preman-premannya.
“Kita akan kembali. Jika artefak itu tidak ditemukan, aku sendiri yang akan membersihkan desa ini.” Mereka pergi meninggalkan debu dan ketakutan yang menyesakkan udara.
Liang Chen berlutut, tubuhnya gemetar. Ia menatap pedang hitam di tangannya, bilah tumpul itu berlumur debu. Tidak ada cahaya, tidak ada kekuatan. Namun saat ia menatapnya, ia melihat dirinya sendiri di pantulan kelam itu, berdarah tapi tidak tunduk.
Rembulan purnama mulai naik di langit malam. Liang Chen duduk di tanah, memeluk pedang itu di dadanya. Angin lembut berhembus, membawa aroma tanah dan air sungai. Ia menatap bulan dan berbisik, “Aku akan menjadi pedang. Bukan tumpul, bukan lemah. Pedang yang melindungi, meski harus patah.”
Di langit, awan bergerak menutupi sebagian cahaya bulan. Bayangan jatuh di wajahnya, membentuk garis tipis di antara terang dan gelap. Dan di dalam bayangan itu, sesuatu di dadanya kembali berdenyut perlahan, seperti jantung yang baru saja terbangun.
Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.
Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.
Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.