Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalah start
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca besar ruang kerja Adikara di lantai dua rumah megah keluarga Wiradiredja. Pria paruh baya itu berdiri di dekat jendela, secangkir kopi di tangan, namun pandangannya kosong menatap ke arah taman depan rumah. Pikiran Adikara melayang—tentang malam tadi, tentang putrinya, dan tentang dua pria yang kini sama-sama mendekat dalam hidup Mentari.
Ratna masuk perlahan, masih mengenakan setelan kasual berwarna krem. “Kamu belum ke kantor, Yah?” tanyanya lembut.
“Belum,” jawab Adikara pendek. “Ada hal yang harus aku bereskan dulu.”
Ratna diam, tahu betul nada itu bukan sekadar obrolan ringan. Ia duduk di sofa, menunggu suaminya melanjutkan.
“Aku akan bicara dengan keluarga Atmadja hari ini,” ucap Adikara akhirnya, meletakkan cangkir di meja. “Kita tak bisa membiarkan semua ini menggantung. Arsen sudah mengajukan niat melamar, tapi semalam, Dewangga secara terbuka menyatakan hal yang sama dan Mentari setuju. Aku tidak mau ada kesalahpahaman lebih jauh.”
Ratna menatapnya, ada nada berat dalam helaan napasnya.
“Jadi kamu ingin membatalkan rencana pertunangan itu?”
“Aku hanya ingin menjelaskan keadaan sebenarnya,” jawab Adikara pelan tapi tegas. “Aku tidak ingin keluarga Atmadja merasa dipermainkan. Sekaligus… memastikan kalau Mentari benar-benar tahu apa yang ia pilih.”
Ratna mengangguk. “Aku ikut. Aku ingin bicara dengan Lestari juga. Aku tahu mereka orang baik. Setidaknya, kita harus jujur.”
......
Menjelang siang, mobil hitam mereka melaju pelan menyusuri kawasan Braga yang klasik dan ramai. Bangunan-bangunan tua bergaya kolonial berjejer di sisi jalan, aroma kopi bercampur dengan suara langkah wisatawan yang hilir-mudik di trotoar sempit.
Mereka tiba di restoran bergaya vintage—tempat yang sudah disepakati semalam melalui telepon dengan orang tua Arsenio. Pelayan menyambut ramah dan mengantar mereka ke ruang privat di lantai dua.
Tak lama, pasangan Hendi dan Lestari, orang tua Arsenio, datang menyusul. Pria berperawakan tinggi dengan rambut mulai memutih itu menyalami Adikara dengan hangat, sementara Lestari dan Ratna saling berpelukan ringan.
Suasana awalnya sopan dan tenang. Mereka memesan minuman ringan, berbasa-basi sebentar tentang bisnis dan cuaca Bandung yang sejuk. Namun begitu pelayan menutup pintu ruangan, Adikara langsung membuka pembicaraan utama.
“Saya minta maaf kalau pertemuan ini mendadak,” katanya dengan suara dalam dan hati-hati. “Ada hal penting yang perlu saya luruskan mengenai Mentari dan Arsenio.”
Hendi mengerutkan dahi, namun tetap tersenyum sopan. “Tentu, Adi. Kami juga sempat heran karena rencana lamaran yang dibicarakan Arsen agak terburu-buru. Ada sesuatu yang terjadi?”
Ratna saling pandang sebentar dengan suaminya, sebelum Adikara melanjutkan, “Malam tadi, Dewangga Danurengga datang menemui kami. Ia menyampaikan niat serius untuk menikahi Mentari.”
Ruangan itu hening seketika.
Lestari menatap Ratna dengan mata sedikit melebar. “Dewangga… Danurengga?” suaranya nyaris berbisik.
Adikara mengangguk. “Ya. Kami tidak menyangka juga. Tapi Mentari, mengiyakan lamaran itu di depan kami. Itu keputusan yang tak kami duga, tapi putri kami tampak yakin.”
Hendi bersandar di kursinya, menautkan jemarinya di atas meja. “Dewangga… pengusaha properti dan fashion itu, bukan?”
“Benar,” jawab Adikara singkat.
Hening lagi. Lestari menatap ke arah suaminya, lalu menunduk dengan ekspresi campur antara kecewa dan lega.
“Arsen mungkin terburu-buru,” ucap Meisya akhirnya. “Saya tahu putra saya keras kepala. Ia bilang pada kami kalau sangat menyukai Mentari, tapi kami juga tak ingin memaksakan sesuatu yang bukan takdirnya.”
Ratna menatapnya penuh empati. “Kami benar-benar minta maaf kalau ini mengecewakan. Mentari pun belum siap, tapi Dewangga datang dengan niat yang tak bisa kami abaikan begitu saja.”
Hendi menatap Adikara lagi. “Jadi kalian akan menerima Dewangga sebagai calon menantu?”
Adikara menarik napas panjang, lalu mengangguk perlahan.
“Kalau memang itu pilihan Mentari… ya. Saya akan mendukungnya.”
Suasana melunak. Hendi menghela napas, kemudian tersenyum tipis. “Kalau begitu, kami doakan yang terbaik untuk Mentari. Arsen anak baik, tapi mungkin memang belum waktunya. Aku akan bicara padanya dengan hati-hati.”
Ratna menatap pasangan itu dengan tulus. “Terima kasih, Pak Hendi, Bu Lestari. Kami menghargai pengertian kalian.”
Pertemuan berakhir dengan suasana yang tetap hangat meski sedikit berat. Setelah saling bersalaman, Adikara dan Ratna keluar dari restoran, menuruni tangga kayu yang bergema lembut.
Di luar, langit mulai mendung.
Ratna menatap ke arah jalan Braga yang ramai. “Menurutmu Arsen bisa menerima ini dengan tenang?” tanyanya pelan.
Adikara diam sesaat, lalu menjawab lirih,
“Aku tidak yakin. Tapi cepat atau lambat, dia harus tahu… bahwa Mentari bukan milik siapa pun—kecuali dirinya sendiri.”
******
Arsenio berdiri membelakangi jendela kaca besar ruang kerjanya. Pandangan matanya kosong menatap hamparan kota Bandung yang mulai diselimuti kabut siang. Suara ayahnya, yang masih terngiang dari percakapan beberapa menit lalu, membuat napasnya terasa sesak.
“Rencana itu dibatalkan, Arsen. Mentari sudah menerima lamaran Dewangga.”
Kata-kata itu seperti peluru yang menembus dadanya perlahan, meninggalkan perih yang tak bisa segera diredakan.
Pundaknya tegang, rahangnya mengeras. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba menahan gelombang emosi yang naik ke ubun-ubun. Namun semakin ia mencoba menenangkan diri, semakin panas dadanya.
“Jadi semua orang bisa seenaknya memutuskan untukku, ya?” gumamnya getir, lalu menghantam meja kerja dengan kepalan tangan. Suara benda-benda di atas meja bergemerincing jatuh, termasuk pena dan ponsel yang langsung ia raih kembali.
Sekretaris pribadinya, Maya, mengetuk pintu ragu-ragu.
“Pak Arsen, apakah—”
“Jangan ganggu aku!” suaranya berat dan tajam. “Batalkan semua jadwal hari ini. Meeting, lunch, bahkan call dengan klien Jakarta—semua! Aku tak mau ditemui siapa pun.”
Maya hanya bisa mengangguk cepat. “Baik, Pak.”
Begitu pintu tertutup lagi, Arsenio berdiri menatap bayangan dirinya di kaca. Napasnya memburu. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu membuka ponselnya dan mencari satu nama: Dewangga D.
Tangannya berhenti sejenak di atas layar sebelum akhirnya menekan tombol call.
Nada sambung terdengar tiga kali.
Dan begitu terdengar suara di seberang, Arsenio langsung berbicara tanpa basa-basi.
“Kita harus bicara, Dewangga.”
Nada suaranya datar tapi mengandung bara yang siap meledak.
Di sisi lain, Dewangga sedang berada di dalam mobil hitamnya, mengenakan kemeja abu lembut yang disampirkan jas hitam di kursi belakang. Ia baru saja menerima pesan dari Mentari—gadis itu bilang akan berjalan kaki ke caffe yang mereka sepakati, tidak jauh dari kampusnya.
Begitu mendengar nada serius Arsenio, Dewangga sempat tersenyum tipis, menatap jalanan di depannya.
“Aku kira cepat juga kabarnya sampai padamu.”
“Aku tidak sedang mau bercanda.”
“Aku juga tidak.”
“Kamu tahu aku sudah berencana melamar Mentari,” suara Arsenio meninggi, tapi tetap tertahan. “Dan kamu datang tiba-tiba, mengambil kesempatan di tengah jalan.”
Dewangga menarik napas pelan, masih fokus pada kemudi. “Aku tidak mengambil kesempatan, Arsen. Aku hanya berbuat lebih cepat. Dunia bisnis mengajarkan itu, bukan?”
“Jangan samakan perasaan seseorang dengan tender proyek!”
Dewangga terdiam sesaat, lalu menatap ke luar jendela dengan nada rendah, nyaris seperti gumaman.
“Kadang, dalam hidup, kita juga harus berani mengambil risiko sebelum semuanya terlambat.”
“Kamu pikir aku akan diam saja?”
“Silakan lakukan apa pun yang kamu mau,” jawab Dewangga tenang. “Tapi aku tidak akan mundur, Arsen. Kali ini tidak.”
Suasana di antara mereka terhenti dalam keheningan yang menegangkan. Lalu Dewangga menambahkan dengan nada datar, tapi penuh makna,
> “Aku sedang dalam perjalanan bertemu Mentari. Kalau kamu mau bicara langsung, kamu tahu di mana aku.”
Panggilan itu terputus begitu saja.
Arsenio mematung, menggenggam ponsel begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Lalu ia mengambil kunci mobil di meja, mengenakan jas, dan melangkah cepat keluar ruangan tanpa sepatah kata pun.
Sementara itu, di kawasan kampus, udara siang terasa hangat dengan hembusan angin lembut. Mentari berjalan santai di trotoar kecil yang rindang, membawa tas selempang dan beberapa buku kuliah. Rambutnya diikat setengah, wajahnya tampak lebih segar dari biasanya.
Langkah Mentari ringan, tapi hatinya campur aduk. Sejak semalam, pikirannya terus berputar pada ucapan Dewangga di bawah langit kota—ucapan yang masih terasa seperti mimpi.
“Aku sungguh akan menikahi kamu, Mentari. Itu bukan drama.”
Ia menggigit bibirnya pelan. Setiap kali mengingat kata-kata itu, dada Mentari berdebar aneh—antara bingung, takut, tapi juga hangat.
Namun yang tidak Mentari tahu, tak jauh dari sana, sebuah mobil sport abu-abu baru saja berhenti di seberang jalan.
Dari balik kemudi, Arsenio menatap ke arah caffe itu dengan rahang mengeras dan tatapan yang gelap.
“Kalau kamu pikir ini selesai, Dewangga…” ia bergumam pelan,
“…kamu salah besar.”