 
                            "Aku akan menghancurkan semua yang dia hancurkan hari ini."
Begitulah sumpah yang terucap dari bibir Primordia, yang biasa dipanggil Prima, di depan makam ibunya. Prima siang itu, ditengah hujan lebat menangis bersimpuh di depan gundukan tanah yang masih merah, tempat pembaringan terakhir ibunya, Asri Amarta, yang meninggal terkena serangan jantung. Betapa tidak, rumah tangga yang sudah ia bangun lebih dari 17 tahun harus hancur gara-gara perempuan ambisius, yang tak hanya merebut ayahnya dari tangan ibunya, tetapi juga mengambil seluruh aset yang mereka miliki.
Prima, dengan kebencian yang bergemuruh di dalam dadanya, bertekad menguatkan diri untuk bangkit dan membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasrat Cinta Pramudya
"Siapa yang datang sayang?"
Julia bergelayut manja mengalungkan kedua tangannya ke leher Pramudya yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Seolah tak mau berada jauh dari sisi Pramudya waluh sebentar saja.
"Yusuf, sopirku."
"Sopirmu?"
Julia mencium tengkuk Pramudya, namun lelaki itu tak bergeming. Tatapan matanya lurus ke depan. Senyumnya hilang, urat lehernya menonjol keluar. Sepertinya, Pramudya memikirkan sesuatu yang sangat mengganggunya.
"Iya. Dia melihat kita berdua di dalam mobil beberapa hari yang lalu. Dia jg tau kita di sini sekarang."
"Kita?"
Julia melepaskan rangkulannya. Menatap jengah wajah Pram yang tampak tidak tenang dari cermin. Menyisir rambutnya berkali kali dengan tatapan mata yang menerawang.
"Sudah kubilang, dia melihat kita berdua di dalam mobil beberapa hari yang lalu. Sudah pasti kalau dia tau aku di sini, pasti bersamamu."
"Apakah menurutmu, sopirmu akan menceritakan semua kepada istrimu?"
"Untuk sementara aku yakin sopirku bisa menyimpan rahasia ini, tapi aku tidak yakin dia tetap akan tutup mulut selamanya."
Julia terdiam. Mengalihkan pandangannya ke arah luar apartemen melalui dinding kaca. Pemandangan kota di sore ini yang hiruk pikuk tanpa suara terhampar dihadapannya.
"Sudah kubilang padamu, tidak usah ikut pulang ke Indonesia karena ini akan sangat besar resikonya untuk kita berdua."
"Aku juga sudah bilang padamu sayang, aku pulang ke Indonesia bukan semata-mata karena ingin bersamamu. Tapi aku sedang mengembangkan perusahaanku di sini."
"Kenapa harus di sini, Julia? Kenapa tidak di Singapura saja. Kamu bisa melebarkan sayap bisnismu tanpa harus meninggalkan William putramu."
"Aku tidak bisa selamanya tinggal di Singapura, sayang. Sejak ayah William meninggal, seluruh keluarganya mulai menggangguku. Mereka memintaku untuk membagikan aset yang mendiang suamiku miliki kepada mereka. Padahal mereka tahu, mendiang suamiku bisa memiliki aset-aset itu karena aku yang membantu perusahaannya. Jadi, sebelum mereka benar-benar menendangku, aku harus sukses terlebih dahulu membangun bisnis baruku di sini."
Pramudya menghela nafas panjang, ia bangkit dari depan cermin menuju bar kecil di dalam ruang apartemen yang ia beli untuk Julia. Menyeduh kopi dari mesin kecil di atas meja.
"Jadi kamu sudah mantap akan pindah kemari?"
"Sayang..."
Julia menghampiri Pram yang kini tengah menikmati kopinya dari atas kursi Bar kecil dengan kaki menyilang.
"Apa kamu begitu khawatir kalau aku akan memintamu meninggalkan istrimu?"
Julia meraih cangkir kopi dari tangan Pramudya dan meletakkan cangkir itu di atas meja. Bram hanya terdiam pasrah saat jari jemari Julia menyentuh wajah dan terus turun sampai ke bahunya.
"Beruntung sekali Anita mendapatkan cintamu yang begitu besar, walaupun sekarang hatimu tak lagi utuh untuknya."
"Julia tolonglah, kita sudah berjanji untuk tidak membahas Anita dalam hubungan kita berdua. Kau tahu bahwa aku tidak mau meninggalkan Anita. Dan kamu juga tahu aku tak ingin meninggalkanmu."
"Ya, aku tahu. Tapi aku juga ingin tahu, apakah cintamu kepadaku sebesar cintamu untuk Anita? Bukankah kamu tahu bahwa aku siap berkorban apapun demi kebahagiaanmu?"
Julia mendekatkan bibir merahnya ke telinga Pram yang nampaknya mulai menegang mendengar bisikan Julia yang menggodanya. Bibir yang kini mulai menyentuh leher Pramudya dengan nafas yang hangat di kulit.
"Aku mohon jawablah sayang."
"Aku mencintamu Julia. Aku membutuhkanmu. Jangan pernah meragukan itu. Aku hanya minta untuk kita tidak bertindak gegabah. Aku tidak ingin membuat semuanya kacau."
Ucap laki-laki yang kini darahnya mendidih oleh hasrat cinta. Nafasnya mulai memburu seiring dengan sentuhan sentuhan jari dan bibir Julia di dada bidangnya yang sudah tak berbaju. Julia telah berhasil melucuti pakaian yang menempel di tubuh Pramudya.
"Julia, maafkan aku, sepertinya aku harus segera kembali ke Anita. Sopirku tak akan membiarkanku berlama-lama disini. Kalau aku tidak segera pulang, aku khawatir dia akan menceritakan semuanya pada Anita."
Julia tak memperdulikan Pram yang berbicara ditengah suara desahannya. Ia terlalu sibuk untuk membangkitkan gairah Pramudya yang sudah setengah mabuk dibuatnya.
***