Argani Sebasta Ganendra adalah pewaris muda dari keluarga yang berdiri di puncak kejayaan. Ayahnya seorang CEO tambang emas, ibunya desainer ternama dengan butik yang selalu menjadi pusat perhatian sosialita. Semua yang ia butuhkan selalu tersedia: mobil sport mewah, sekolah elit dengan fasilitas kelas dunia, dan hidup yang diselimuti gengsi serta hormat dari sekitarnya. Di sekolah, nama Argani bukan sekadar populer—ia adalah sosok yang disegani. Wajah tampan, karisma dingin, dan status pewaris membuatnya tampak sempurna. Namun, di balik citra itu, Argani menyimpan ruang kosong di hatinya. Sebuah perasaan yang ia arahkan pada seorang gadis—sederhana, berbeda, dan jauh dari dunia yang penuh kemewahan. Gadis itu tak pernah tahu kalau ia diperhatikan, dijaga dari kejauhan oleh pewaris yang hidupnya tampak sempurna. Kehidupan Argani semakin rumit ketika ia dipaksa mengikuti jejak keluarga: menjadi simbol keberhasilan, menghadiri pertemuan bisnis, bahkan menekan mimpi pribadinya. Di satu sisi, ia ingin bebas menjalani hidupnya sendiri; di sisi lain, ia terikat oleh garis keturunan dan kewajiban sebagai pewaris
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASTORIA
Obrolan di basecamp makin ramai. Setelah sekian lama bercanda soal Arsela dan Argani, giliran Amora dan Zamora yang membawa cerita baru.
Amora meletakkan gelas jusnya, matanya berbinar. “Eh, tadi sebelum ke sini kita mampir ke perpustakaan. Tahu enggak kita ketemu siapa?”
“Siapa?” Zayn penasaran.
“Latisha, kawan sekelas kita di IPA.” Amora menjawab cepat. “Sumpah, dia asik banget kalau udah dekat. Banyak bantuin, banyak cerita juga. Enggak nyangka dia ternyata supel.”
Zamora mengangguk mantap. “Bener. Dia juga sempet bareng sama Elang. Itu loh, si cowok diem yang… ya, kamu tahu lah Mor.” Zamora melirik saudarinya dengan senyum jahil.
Amora langsung memukul pelan lengan Zamora. “Za! Jangan bahas itu di depan semua orang.”
Yang lain ketawa kecil, sementara Amora tetap melanjutkan. “Pokoknya, rasanya menyenangkan punya teman baru yang nyambung. Dia memang pamit cepet, jam 12-an tadi, mau jemput bundanya. Tapi menurutku dia bisa jadi circle baru buat kita.”
“Iya kan, Za?” Amora menoleh pada kembarannya.
Zamora mengangguk cepat. “Iya. Sha orangnya ringan tangan banget. Enggak nyangka di Astoria ada yang model gitu.”
Arsela tersenyum hangat mendengarnya. “Sepertinya dia orang yang seru. Dengar cerita dari kalian, aku jadi pengen ketemu sama dia.”
Semua menoleh ke Argani, yang dari tadi hanya menyimak dengan ekspresi datar. Ia akhirnya angkat suara, nada suaranya tenang tapi tegas.
“Dia orangnya jutek. Susah ditemenin.”
Ruangan mendadak agak hening. Arsela mengangkat alis, lalu melirik pacarnya dengan senyum geli. “Jutek menurutmu mungkin beda dengan jutek menurut orang lain, Gan.”
Zayn menimpali sambil nyengir. “Wah, kalau Argani udah bilang jutek, berarti cewek itu enggak gampang bikin dia luluh.”
Amora dan Zamora saling pandang, lalu tertawa kecil. “Ya ampun, padahal tadi dia ramah banget sama kita.”
Argani hanya menghela napas, menyandarkan diri di kursi. “Terserah. Kalian bakal tahu sendiri nanti.”
Setelah tawa kembar Amora–Zamora mereda, suasana di basecamp kembali santai. Anak-anak sibuk dengan camilan dan obrolan masing-masing. Tapi Arsela masih menyimpan rasa penasaran.
Ia menoleh ke Argani, matanya menyipit sedikit nakal. “Gan, aku heran deh. Dari tadi kamu komentar soal Latisha kok sinis banget. Kenapa? Ada masalah sama dia?”
Argani yang sedang memutar gelas kopinya menoleh sebentar, ekspresinya datar. “Enggak ada. Emang begitu sifatnya.”
“Hmm…” Arsela menatap lama, senyum tipis muncul. “Biasanya kamu enggak segitunya kalau bahas orang lain. Kamu jarang ngasih penilaian keras gitu. Tapi giliran cewek itu, langsung bilang jutek, susah ditemenin.”
Amora dan Zamora yang duduk di seberang ikutan pasang telinga, pura-pura sibuk main HP tapi senyum mereka kelihatan.
Argani mendengus, menatap ke arah lain. “Aku cuma jujur. Kalian aja yang gampang kejebak sama ramah-ramahnya.”
Arsela mengangkat alis, nada suaranya dibuat ringan tapi menyenggol. “Atau… jangan-jangan kamu sebenarnya sering memperhatikan dia, makanya bisa nyimpulin begitu detail?”
Seketika Zayn hampir tersedak minumannya. “Waduh, itu sih tembakan telak, Sel.”
Kavi tertawa kecil. “Gan, jawab tuh, jangan ngeles.”
Argani mendengus, tatapannya menusuk singkat ke arah pacarnya. “Jangan asal tuduh, Sel. Aku cuma ngomong apa adanya.”
Arsela tersenyum makin lebar, tapi jelas ada nada cemburu samar yang ditutupinya dengan nada bercanda. “Heeh… iya deh. Tapi tatapanmu barusan kayak lagi defensif banget, Gan.”
Albiru ikut menggoda, “Kalau udah defensif berarti ada sesuatu, tuh.”
Argani menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursinya. “Aku ambil udara dulu.”
Anak-anak hanya saling pandang, sementara Arsela mengamati punggung Argani yang berjalan keluar. Senyum tipisnya masih tersisa, tapi matanya berkilat. Ada rasa ingin tahu bercampur rasa tidak nyaman yang hanya dia sendiri yang tahu.
Begitu pintu basecamp tertutup dan suara langkah Argani serta Arsela makin menjauh, suasana di dalam ruangan berubah lebih rileks. Amora menyender ke sofa, memainkan ujung rambutnya.
“Fiuh… akhirnya mereka keluar juga. Kalau Arsela masih di sini, aku enggak berani ngomong apa-apa.” gumamnya.
Zamora mengangguk setuju. “Ya iyalah, masa kita cerita soal Latisha di depan pacarnya Gani? Itu namanya cari mati.”
Kavi yang tadinya diam, menepuk lututnya. “Tapi aku ngerti maksud kalian tadi. Aku juga lihat, Latisha itu enggak seburuk yang Gani bilang. Dia malah lumayan easy-going kalau diajak ngobrol.”
Amora langsung nyahut cepat, suaranya agak tinggi. “Nah kan! Makanya aku sama Zamora cerita jujur tadi. Kita enggak ada niat bawa dia masuk geng ini. Kita tahu batasan, guys.”
Albiru yang biasanya tenang, kali ini ikut berkomentar. “Iya, cuma masalahnya… Gani itu gampang sinis kalau ada orang luar yang mendekat. Padahal, kelihatan kok, dia sebenarnya memperhatikan cewek itu. Lebih dari yang dia akui.”
Zayn menatap ke arah mereka semua dengan wajah datar, lalu menambahkan lirih, “Kalian enggak salah. Aku juga lihat reaksi dia tadi… terlalu defensif. Biasanya kalau orang kayak gitu, ada sesuatu yang dia tutupin.”
Ruangan seketika jadi hening.
Amora menatap Zamora, lalu keduanya sama-sama tersenyum tipis, seperti mengerti arah pikiran masing-masing.
“Kalau boleh jujur,” bisik Zamora sambil memainkan jemarinya, “aku yakin Gani itu bukan benci sama Latisha. Dia cuma enggak mau ngaku kalau cewek itu bikin dia… terusik.”
Albiru berdeham kecil. “Hmm… apapun itu, biarin aja dulu. Gani orangnya susah dibaca. Kalau memang ada sesuatu, cepat atau lambat bakal ketahuan sendiri.”
Mereka semua mengangguk, lalu mencoba mengalihkan obrolan. Tapi jelas, benih rasa penasaran tentang hubungan Argani dan Latisha sudah tertanam di kepala masing-masing.