Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.
Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.
Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 : Dibalik Tirai Yang Tertutup
Pelajaran kedua telah usai, namun tidak ada tanda-tanda Freya memasuki kelas. Azizi dan Danni menyadari hal itu. Sebelum mereka sempat bereaksi, Azizi menerima sebuah notifikasi dari handphone-nya. Pesan itu dari Freya yang mengabarkan, dia pulang duluan karena tidak enak badan. Azizi dan Zheng Danni saling bertukar tatapan. Mencurigai sesuatu yang sudah mereka duga sebelumnya.
"Jangan tahan aku." Ucap Azizi.
Danni mengangkat kedua tangannya ke atas. "Silahkan, tuan putri." Ucapnya sambil tersenyum.
Azizi tersenyum tapi lebih ke menyeringai. Ia berdiri dari kursinya dengan keras, terlihat ia sedang marah. Kemudian melangkah keluar dari kelas.
"Kalian lagi ribut?" Zheng Danni menoleh pada teman kelasnya yang bertanya.
"Datang bulan, u now?" Balas Danni. Ia ikut melangkah keluar menyusul Azizi.
Azizi berjalan cepat menyusuri koridor sekolah, langkahnya berat dan penuh emosi. Danni mengikuti dari belakang, tidak terlalu dekat tapi cukup untuk memastikan ia tak kehilangan jejak. Azizi mencari seseorang ke setiap sudut sekolah. Toilet, perpustakaan, rooftop, ataupun kantin. Tapi tidak ada tanda-tanda dari orang yang dia cari.
"Dia mungkin ada di kelas." Ujar Danni.
"Aku lupa ke sana, makasih sayang." Ucap Azizi lembut.
"Of Course, princess." Balas Danni.
Segera Saja, Azizi berjalan cepat ke kelas orang yang di carinya. Kebetulan di depan kelas tersebut berkumpul beberapa siswa-siswi yang memang sering nongkrong di sana.
"Sorry.." Sapa Azizi.
Sekelompok Siswa dan siswi tersebut menelan ludah ketika melihat sosok Azizi menghampiri mereka. Di sekolah ini, Azizi terkenal sebagai gadis pemilik sabuk hitam dalam beladiri taekwondo. Ia pernah memenangkan kejuaraan tingkat internasional. Siapapun yang membuatnya marah, pasti tidak akan berakhir baik. Pernah ada kakak kelas yang berakhir masuk rumah sakit, hanya karena bersikap keterlaluan padanya.
"Shani ada?" Tanya Azizi. Bersikap selembut mungkin.
"Shani sudah ijin pulang duluan, katanya dia ada urusan."
"Ouh, begitu. Terimakasih." Azizi berjalan pergi diikuti oleh Danni.
Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk beristirahat di kantin. "Aku yakin ada yang sedang terjadi dengan Freya." Terka Azizi.
"Jangan bilang kalau Freya sudah tau semuanya?" Ucap Danni.
"Mungkin, tapi kenapa dia tidak datang pada kita?" Azizi mencoba memikirkan alasannya.
"Kamu lupa kalau Freya bukan orang yang suka membagi beban pikirannya. Sejak dulu dia selalu seperti itu." Balas Danni. Azizi menghela nafas lelah. Ia menyandarkan kepalanya pada dada bidang Danni.
"Tenang, Freya pasti baik-baik saja. Pulang sekolah nanti kita langsung ke rumahnya." Ujar Danni. Azizi mengangguk setuju.
...***...
Begitu bel pulang berbunyi, Azizi dan Danni tidak membuang waktu. Mereka langsung menuju parkiran, naik ke mobil Danni, lalu melaju ke arah rumah Freya. Jalanan sore itu cukup ramai, tapi Azizi tidak banyak bicara—matanya terus menatap lurus, pikirannya penuh dengan kemungkinan buruk.
Sekitar dua puluh menit kemudian, mereka tiba di depan rumah Freya. Pagar rumah berwarna hitam itu tertutup, tapi tirai di lantai dua terlihat sedikit terbuka, lalu cepat-cepat ditutup lagi begitu mobil berhenti.
"Dia ada di rumah," gumam Danni.
Zheng Danni meminta pada satpam penjaga untuk membuka gerbang. Setelah gerbang di buka, Zheng Danni melajukan mobilnya menuju halaman rumah Freya yang sangat luas. Setelah itu, Azizi dan Zheng Danni cepat-cepat masuk kedalam rumah, khawatir dengan keadaan Freya. Tapi langkah keduanya terhenti ketika melihat kedua orang tua Freya sedang bersantai di ruang tamu.
"Om dan Tante sudah pulang?" Tanya Azizi.
"Hai, Dino-nya Tante apa kabar?" Ibunda Freya memeluk Azizi dengan lembut. Seperti pada putrinya.
"Kalian sudah tumbuh besar, ya." Ayah Freya juga ikut bergabung.
"Sore Om, Tante.." ucap Danni dengan sopan.
"Bagaimana kabar orang tua kamu, Danni?" Tanya Ayah Freya.
"Ayah dan bunda baik-baik saja, Om. Mereka bilang akan pulang ke Indonesia minggu depan." Jawab Danni. Ayah Freya mengangguk mengerti.
"Tante, Freya ada? Tadi dia pamit pulang duluan karena tidak enak badan." Ucap Azizi.
"Iya. Freya ada di kamarnya. Tadinya tante juga mau pulang bulan depan. Tapi Tante khawatir kalau terjadi sesuatu sama Freya, jadi tante pulang sekarang. Freya baik-baik aja, kan?" Tanya Ibunda Freya.
Azizi dan Danni saling bertukar tatap, "Freya baik-baik aja, tante." Ucap Azizi.
"Yasudah, kalian temuin Freya aja di kamarnya. Nanti Tante panggil, kita makan bareng-bareng."
"Iya tante, aku sama Danni pamit ke kamar Freya dulu." Pamit Azizi.
Azizi dan Danni menaiki tangga menuju lantai dua. Suasana rumah Freya terasa sepi, hanya suara langkah mereka yang terdengar bergema di lorong. Sesampainya di depan pintu kamar, Azizi mengetuk pelan. "Fre, ini aku sama Danni. Boleh masuk?"
Tidak ada jawaban. Azizi mencoba lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Freya, jangan bikin aku buka pintu sendiri."
Masih tidak ada respon. Azizi menoleh ke arah Danni, lalu tanpa menunggu persetujuan, ia memutar kenop, Pintu tidak terkunci. Begitu pintu terbuka, kamar Freya terlihat redup—tirai jendela tertutup rapat. Freya terbaring di dalam selimut. Tas sekolahnya berada di lantai, terlihat seperti di lempar dengan sengaja. Azizi menghampiri ranjang Freya, sementara Danni berjalan ke arah jendela untuk membuka tirai gorden. Cahaya masuk menjadi penerang yang lebih baik.
"Freya…" suara Azizi embut, tapi langkahnya mantap menghampiri. Ia duduk di tepi ranjang, dengan pelan menarik selimut yang menutupi tubuh Freya. "Kamu kenapa?"
Freya membuka matanya perlahan, menatap Azizi dengan pandangan lelah. Terlihat jelas mata Freya yang sembap. Ia bangun terduduk, di atas kasur. "Aku baik-baik saja, hanya tidak enak badan." suaranya Freya terdengar serak.
Azizi meraih tangan Freya, menggenggamnya erat. "Frey, kenapa kamu selalu menanggung semuanya sendiri. Sejak kecil kamu juga tidak pernah berbagi dengan aku ataupun Danni."
"Karena aku hanya ingin berbagi kebahagiaan saja dengan kalian. Aku tidak ingin kalian juga ikut menderita beban yang sama." Balas Freya.
"Apa yang dia bicarakan denganmu?" Tanya Danni. Ekspresi wajahnya serius. Ia bersandar pada jendela kamar yang terbuka.
"Dia?" Tanya Freya.
"Shani. Apa yang pacarmu itu katakan, sampai membuatmu seperti ini?" Tanya Danni sekali lagi. Ada guratan emosi di wajahnya.
Freya terdiam, ia tidak tau bagaimana mengatakannya. "Tolong, jangan ikut campur. Aku tau kalian menyayangiku lebih dari sekedar sahabat. Tapi biarkan aku menyelesaikan masalahku sendiri." Ucap Freya.
"Dengan cara seperti ini? Itu bukan solusi yang baik, Frey." Balas Azizi.
"Aku tau, tapi tolong—jangan ikut campur." Ucap Freya.
Azizi dan Zheng Danni menghela nafas, sejak dulu Freya memang keras kepala. Tidak lama kemudian, ibunda Freya terdengar memanggil mereka dari bawah untuk makan.
"Kalian turun dulu saja, aku akan menyusul sebentar lagi." Ucap Freya. Ia beranjak dari ranjang, berjalan ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Azizi menoleh pada Zheng Danni, pria itu menggeleng lembut.