NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:510
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12. Bayang-bayang dibalik tirai istana

Semakin hari tubuh permaisuri Dyah Kusumawati semakin kurus, selain itu wajahnya bak mayat hidup sangat pucat sekali. Putri Dyah sudah sejak semalam tidak beranjak dari sisi sang ibunda, dia hanya berharap ayahanda segera menyelesaikan tapa bratanya.

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Lagi-lagi permaisuri mengeluarkan darah saat batuk, membuat Putri Dyah semakin khawatir. Ini sudah kesekian kalinya permaisuri mengeluarkan darah, bahkan nafsu makannya juga menurun, terlebih hari ini tak ada satu suap pun bubur masuk ke perut Permaisuri.

“Ampun Gusti Putri, ...” suara Ki Tabib itu pelan, tubuhnya membungkuk dalam-dalam. Tangannya masih memegang pergelangan tangan permaisuri yang begitu dingin dan lemah tulang tangannya yang terlihat jelas, nadi yang lemah berdenyut lambat di bawah kulit yang pucat. Ia menarik napas panjang, seolah tak kuasa menyampaikan kabar tentang kondisi sang permaisuri

Putri Dyah menegakkan tubuhnya, mata berkaca-kaca, jari-jarinya erat menggenggam tangan ibundanya. “Katakan padaku, Ki... apa yang sesungguhnya terjadi dengan ibunda? Mengapa beliau semakin lemah dari hari ke hari?” suaranya bergetar, antara takut dan cemas. Tabib mengusap janggut putihnya dengan hati-hati, lalu menatap wajah pucat permaisuri yang masih terbaring lemah. “Hamba mendapati gejala yang sulit dijelaskan dengan sekadar kelelahan, Gusti Putri. Tubuh Baginda Permaisuri seakan menolak segala asupan, beliau tak lagi memiliki selera makan. Nafasnya pendek dan tidak teratur dada terasa sesak, dan kini disertai batuk darah.” Ia berhenti sejenak, memandang Putri Dyah yang tampak pucat pasi mendengar penjelasannya.

“Apakah... apakah masih ada obatnya, Tabib?” suara Putri Dyah terdengar lirih seakan-akan tak kuasa mendengar apa yang disampaikan sang Tabib.

Tabib menghela napas panjang. “Penyakit ini... tampaknya bersumber dari dalam tubuh yang melemah, mungkin karena panas dalam yang sudah lama bersarang atau cairan hitam yang merusak keseimbangan tubuhnya. Hamba telah mencoba ramuan penyejuk hati, penambah tenaga, dan penawar panas, namun tampaknya tidak banyak membantu.” Ia menunduk dalam-dalam, seolah tak sanggup menatap wajah putri yang hatinya remuk.

Putri Dyah terdiam menahan tangis tapi airmatanya sudah tak dapat dibendung. Tangan halusnya menyentuh pipi ibundanya yang dingin, lalu ia berbisik pelan, “Ibu... bertahanlah untukku... Ayahanda pasti segera kembali. Jangan tinggalkan aku seorang diri...” Suara itu pecah, lalu berubah menjadi tangis tertahan.

Permaisuri yang lemah hanya membuka sedikit matanya. Senyum samar menghias bibir pucatnya, seolah ia tak ingin menambah beban pada putrinya. “Nak... jangan menangis. Ibu... masih di sini...” bisiknya nyaris tak terdengar suaranya terbata menandakan sang ibu sudah tak kuat lagi untuk bertahan. Namun tak lama setelah itu, ia kembali batuk keras hingga bercak merah memenuhi sapu tangan putih yang selalu ada di sisinya. Putri Dyah menjerit kecil. “Tabib! Lakukan sesuatu, tolong hentikan penderitaan ibunda!”

Tabib buru-buru mengeluarkan kotak kecil dari tas anyamannya, berisi ramuan cairan hitam pekat. Ia meneteskan sedikit pada sendok emas, lalu perlahan mendekatkan ke bibir permaisuri. Namun permaisuri hanya menggeleng lemah, mulutnya menolak untuk terbuka.

“Beliau tidak mau, Gusti Putri...” tabib berbisik. Putri Dyah memohon, menunduk hingga wajahnya sejajar dengan ibunda. “Ibu, tolong... demi aku, ayahanda... minumlah sedikit saja.” Akhirnya, dengan sisa tenaga, Permaisuri Dyah Kusumawati meneguk ramuan itu meski hanya setetes dua tetes. Sesudahnya, tubuhnya terkulai kembali, matanya terpejam.

Tabib menghela napas panjang, lalu menoleh pada Putri Dyah. “Ampun Gusti Putri... hamba hanya bisa meredakan sakitnya, bukan menyembuhkan. Segala daya upaya hamba tampaknya tak cukup kuat melawan penyakit yang begitu dalam ini. Mungkin, doa Gusti Putri dan kesabaranlah yang bisa menjadi penopang Baginda Permaisuri saat ini.”

Air mata Putri Dyah kembali jatuh membasahi pipinya. Ia menunduk di samping ranjang ibunda, menggenggam tangan yang dingin itu dengan segenap rasa takut kehilangan. “Aku tidak akan berhenti berdoa... Aku tidak akan membiarkan Ibu pergi begitu saja. Ayahanda... cepatlah kembali dari tapa brata, hanya engkau yang bisa menyelamatkan kami...”

Di ruang itu, tak ada suara hanya hening menyelimuti dan terdengar suara nafas tersengal sang permaisuri diselingi isak tangis Putri Dyah. Tabib pun tak kuasa menahan rasa iba, namun ia hanya bisa duduk bersila di sudut ruangan, menyiapkan ramuan demi ramuan, sembari dalam hatinya turut memanjatkan doa agar permaisuri diberi kekuatan menghadapi sakit yang semakin merenggut raganya.

Sedetik kemudian dia berdiri untuk menyampaikan pesan karena teringat pesan gurunya dahulu.

“Gusti Putri, hamba teringat pesan guru hamba terdahulu tapi.....” ucapan Ki tabib menggantung membuat Putri Dyah mendongak dan menatap sang tabib dengan penasaran.

“Apa itu ki...?”

“Tapi hamba mohon untuk bersabar menunggu karena hamba harus bersemedi untuk mendapatkan petunjuk,” jawab Ki tabib, Putri Dyah menimbang perkataan sang tabib melihat kondisi sang ibu yang semakin hari semakin kritis membuatnya enggan menyetujui ki tabib untuk bersemedi tapi jika tidak maka dia tidak akan melihat ibunya untuk selamanya.

“Baiklah ki lakukan sekarang tapi aku mohon segeralah meminta petunjuk, aku tidak ingin ibuku pergi,”kata Putri Dyah yang mau tak mau harus menyetujui permintaan ki tabib.

“Daulat Gusti Putri, kalau begitu hamba mohon pamit untuk melakukan ritualnya sekarang,” kata Ki Wirasena—tabib kerajaan.

“Iya Ki lakukan, lebih cepat lebih baik,” kata Putri Dyah tanpa mengalihkan pandangannya dari sang ibu.

Ki Wirasena undur diri, lalu pergi ke sebuah gua yang selalu menjadi tempat meditasi dan semedinya untuk meminta petunjuk.

****

Kabar mengenai sakitnya permaisuri sudah sampai ditelinga para bangsawan dan tumenggung serta adipati begitu juga para selir Raja Harjaya. Selir pertama Dyah Ratnadewi datang mengunjungi permaisuri, wanita berwajah teduh itu turut berduka dengan sakitnya sang permaisuri.

“Yang sabar Gusti putri, mungkin ini cobaan dari sang hyang agung supaya Gusti Putri tetap sabar,” kata Ratnadewi.

“Terima kasih bibi Ratnadewi, terima kasih...mohon doanya supaya Sang Hyang Agung memberikan kesembuhan pada ibunda,” ucap Putri Dyah.

“Tentu Gusti Putri, kami semua selalu mendoakan kesehatan baginda permaisuri,” kata Ratnadewi, selir pertama sekaligus ibunda Raden Arya memang dikenal selir yang cerdas dan bijak serta juga suka sekali berderma pada rakyatnya tidak heran jika beberapa rakyat juga sangat mendambakan Raden Arya menduduki tahta kerajaan. Dyah Candrakirana selir keempat memperhatikan raut wajah Ken Suryawati yang berubah-ubah, walau pendiam tapi selir termuda itu pandai membaca mimik wajah seseorang sehingga membuatnya cukup waspada di istana yang penuh dengan tipu muslihat ini.

Candrakirana merasa curiga dan heran karena raut wajah Ken Suryawati seperti menyembunyikan sesuatu tapi dia tidak tahu apa itu.

“Sebaiknya aku hati-hati, orang itu benar-benar mirip sekali dengan ular,” gumamnya dalam hati.

Kabar ini juga sampai ketelinga kedua pangeran Samudra Jaya, terlebih Raden Raksa yang terlihat sangat santai dan tenang menerima berita itu. Sangkara dan Jaya Rudra justru semakin justru terlihat gelisah dan berbisik-bisik seolah tengah menyusun rencana.

“Raden Raksa...” Jaya Rudra membuka percakapan dengan nada hati-hati, “apakah Paduka sama sekali tidak merasa khawatir dengan keadaan permaisuri? Bagaimanapun, beliau adalah ibu kandung Putri Dyah, dan kalau sesuatu terjadi padanya... keadaan di istana bisa berubah cepat.”

Raksa menatap kosong ke arah taman yang terhampar di luar pendapa. “Apa yang harus kukhawatirkan? Ibunda sakit, tabib sudah merawat bukan, jadi apa yang perlu dikhawatirkan kalau pun beliau tidak selamat mungkin itu sudah takdir dewata,” dia tersenyum miring, lebih tepatnya tersenyum menyeringai.

“Hmmmmm.....bisa juga ini jembatan bagi ibu Ken Suryawati untuk menggantikan permaisuri,” gumamnya dalam hati. Melihat reaksi Raden Raksa membuat Sangkara dan Jaya Rudra semakin bersemangat untuk menyusun rencana.

“Lalu bagaimana dengan Putri Dyah Anindya dan Raden Arya, bukankah ini juga menjadi kesempatan untuk mereka. Posisi mereka juga terancam,” kata Sangkara.

“Kau benar Sangkara, terlebih beberapa bangsawan banyak yang mendukungku selain itu banyak bangsawan dari kerajaan lain yang ikut mendukungku. Dan kalian tahu ini mungkin kesempatan ibunda Suryawati untuk menggantikan posisi ibunda Kusumawati,” bisik Raden Raksa hati-hati, tiba-tiba dia melihat Puspa yang melewati paviliunnya bersama dayang-dayang yang lain. Mereka berhenti sebentar untuk memberi hormat pada Raden Raksa, Puspa terlihat canggung melihatnya. Sementara Raden Raksa justru teringat malam kemarin tentang ciuman hangat mereka terlebih dia tahu kalau Raden Arya—kakak tirinya juga menyukai Puspa.

Melihat Puspa kembali berjalan Raden Raksa menyunggingkan senyumnya. Rencana liciknya mulai berjalan, bagaimanapun caranya Samudra Jaya harus jatuh ke tangannya.

“Sangkara... Jaya Rudra, apakah kalian tahu untuk mendapatkan apa yang kita inginkan kadang kita butuh pengorbanan seseorang,” kata Raden Raksa tersenyum licik. Sangkara dan Jaya Rudra ikut tersenyum licik.

***

Sementara itu sikap Raden Arya mendengar permaisuri Dyah Kusumawati jatuh sangat khawatir, bahkan dia juga mengadakan doa bersama untuk kesembuhan sang permaisuri. Hari ini dia berkunjung ke paviliun ibundanya—Dyah Ratnadewi.

“Bagaimana keadaan bunda Kusumawati ibu?” tanya Raden Arya.

“Keadaannya sangat mengkhawatirkan, beliau batuk hingga mengeluarkan darah. Sudah begitu banyak obat-obatan yang diberikan tapi tak kunjung membuatnya membaik. Saat ini Ki Wirasena sedang bersemedi untuk meminta petunjuk pada Sang hyang Agung,” jawab Ratnadewi.

“Apa sebenarnya penyakit ibunda Kusumawati?” gumam Raden Arya dengan nada khawatir dan bingung.

“Entahlah ibu juga tidak tahu nak, tapi kita berdoa saja semoga keajaiban segera terjadi,”kata Ratnadewi, Raden Mengangguk setuju.

Sementara itu selir keempat Ken Candrawati tengah terburu-buru ke paviliun selir ketiga Ken Ratri, dia datang dengan tergopoh-gopoh.

“Mbak yu...mbak yu....”melihat beberapa dayang sedang bersama kakak madunya itu, membuat Candrawati terdiam mengurungkan niatnya.

“Ada apa nimas?” Candrawati lalu melirik kearah beberapa dayang Ratri, dia paham apa yang dimaksud adik madunya itu.

“Keluarlah kalian...”titah Ratri, setelah memberi hormat dayang-dayang itu pun pamit keluar.

“Ada apa nimas, kenapa kau datang tergopoh-gopoh seperti itu?”tanya Ratri.

“Mbak yu, saat kita menjenguk permaisuri Dyah Kusumawati tadi apa kau tidak melihat raut wajah mbak yu Suryawati?” tanya Candrawati.

“Apa maksudmu Nimas Candrawati?” tanya Ken Ratri. Dia menatap adik madunya dengan dahi berkerut. Wajah Candrawati tampak tegang, napasnya masih tersengal karena berlari dari paviliunnya. Perempuan muda itu dikenal pendiam, namun kali ini sorot matanya penuh kecemasan.

“Coba jelaskan perlahan, Nimas. Apa yang kau lihat dari mbak yu Suryawati?” tanya Ken Ratri dengan nada hati-hati. Candrawati menelan ludahnya pelan, lalu mendekat. “Sejak tadi, setiap kali nama permaisuri disebut, wajahnya berubah. Ada sesuatu di matanya yang... entah kenapa, membuat bulu kudukku berdiri. Ia seolah menahan sesuatu. Bukan sedih, bukan pula cemas. Lebih seperti... takut atau gelisah.” Ken Ratri menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, mencoba menenangkan pikirannya. “Mungkin kau hanya salah melihat, Nimas. Semua selir tentu khawatir mendengar kabar sakitnya Baginda Permaisuri. Suryawati pun manusia, bisa saja ia tampak gugup karena sedih.”

Candrawati menggeleng cepat. “Tidak, Mbak Yu. Aku sudah cukup sering melihat orang berduka. Wajah sedih berbeda dengan wajah orang yang menyembunyikan sesuatu. Aku melihatnya sendiri tadi, ketika mbak yu Ratnadewi menatap permaisuri dengan iba, mbak yu Suryawati justru menunduk terlalu dalam, lalu tersenyum tipis di saat yang tidak tepat.” Ken Ratri terdiam. Ia mengenal Suryawati—selir kedua yang selalu tampil tenang, suaranya lembut, tutur katanya penuh kehati-hatian. Tapi memang, akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berubah darinya. Cara ia memandang, cara ia menanggapi kabar dari dalam istana... seolah ada rahasia yang disembunyikan rapat.

“Apa kau yakin dengan penglihatanmu itu?” tanya Ken Ratri lirih, kini nada suaranya mulai menurun.

Candrawati mengangguk mantap. “Aku mungkin bukan orang yang pandai bicara, tapi mataku tidak mudah tertipu. Aku belajar membaca wajah sejak lama, Mbak Yu, dari bagaimana orang-orang menutupi niat di balik senyum mereka.” Ratri menatap keluar jendela, memandangi taman kecil di depan paviliun. Hening sejenak menyelimuti ruangan. “Jika yang kau katakan benar, maka ini bisa berbahaya. Tapi kita tidak bisa menuduh tanpa bukti. Suryawati punya kedekatan dengan beberapa pejabat istana, termasuk Tumenggung Wiranata. Sekali kita bicara salah, nama kita bisa hancur.” Candrawati menunduk, suaranya melemah. “Aku tahu, Mbak Yu. Karena itulah aku datang padamu, bukan untuk menuduh, tapi untuk berjaga-jaga. Aku hanya merasa ada sesuatu yang tidak beres di balik sakitnya permaisuri. Seolah... ada tangan yang sengaja membuatnya seperti ini.” Ucapan itu membuat Ken Ratri merinding. Ia menatap adik madunya dalam-dalam. Ada ketulusan di wajah Candrawati, bukan sekadar iri hati antar selir seperti yang sering terjadi di istana.

“Baiklah,” ujar Ratri akhirnya, “Lebih baik kita diam dulu. Tapi mulai malam ini, kita harus lebih waspada. Jangan mudah percaya pada siapa pun—bahkan pada dayang sendiri. Istana ini terlalu penuh bisik-bisik, dan setiap senyum bisa menyimpan racun.”

Candrawati mengangguk pelan. “Aku mengerti, Mbak Yu, kita juga harus berhati-hati setiap kata-kata yang keluar dari mbak yu Suryawati semua tampak baik tapi dia pandai memutar balikkan keadaan,”

“Kau benar nimas, ini terlalu mengerikan untuk disebut sebuah kebetulan dan terlalu menyakitkan jika ini takdir sang Dewata,”

Keduanya saling berpandangan sejenak, lalu sama-sama menatap ke arah luar paviliun. Angin sore bertiup lembut, namun di balik kesejukan itu, ada hawa aneh yang membuat dada mereka sesak. Di istana yang penuh gemerlap ini, mereka sadar—setiap langkah yang salah bisa menjadi awal kehancuran.

****

Sementara reaksi para bangsawan terdapat dua kubu atas berita sakitnya sang permaisuri. Terlebih kubu Raden Raksa yang memanfaatkan situasi ini, seperti biasa malam ini tumenggung Wiranata pergi ke paviliun Raden Raksa.

“Gusti Raden, mungkin ini dukungan sang Dewata membuka jalan untuk Raden dan kanjeng Suryawati,” kata Tumenggung Wiranata, Raden Raksa duduk dikursi kebesarannya dengan satu kaki diangkat ke meja dan memegang kendi kecil berisi tuak. Laki-laki itu tersenyum menyeringai menatap tajam kearah taman yang gelap diluar.

“Hhhmp! Mungkin kau benar paman, tapi jangan terburu-buru biarkan semua mengalir apa adanya saat semua lengah kita hancurkan mereka perlahan-lahan,” ucap Raden Raksa lalu meminum tuaknya.

“Tapi....bagaimana dengan Raden Arya, Gusti Putri Dyah juga kemungkinan akan mewarisi tahta itu Raden,” kata Tumenggung Wiranata, tak lama kemudian camilan dari dapur pendamping tuak datang diantar oleh dua dayang yaitu Wulan dan Puspa.

Raden Raksa menatap lekat kearah Puspa, dayang itu tertunduk dalam sambil menata piring diatas meja. Sementara Raden Raksa terus menatapnya bahkan hingga memiringkan kepalanya membuat Tumenggung Wiranata heran. Bahkan saat Puspa dan Wulan pamit undur diri, Raden Raksa tetap menatapnya hingga kedua dayang itu hilang dikegelapan, Raden Raksa mencondongkan tubuhnya kearah tumenggung Wiranata lalu tersenyum sinis.

“Tenanglah paman, kita hanya menunggu waktu bukankah ayahanda sedang melakukan tapa brata. Jangan terlalu terburu-buru jika paman ingin melihat sepupumu ini menduduki singgasana raja,”

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!