Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.
Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.
Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.
Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?
Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?
#fiksiremaja #fiksiwanita
Halo Guys.
Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gara-gara Anis
Pesawat mendarat mulus di bandara Soekarno-Hatta.
Beberapa jam yang lalu.
Angelo datang beberapa kali untuk menyapa Dinda, tapi gadis itu selalu saja tertidur. Tristan mengawasinya dan beberapa kali menemukan Angelo menatap mereka.
Saat pesawat telah landing. Tristan pun membangunkan Dinda masih nyenyak.
"Hey Dinda. Sudah sampai."
Dinda menoleh lemah, sekarang gadis itu membuka seatbelt dan duduk nyaman di tempat tidurnya.
"Sudah sampai, ya Tuhan. Berapa lama aku tidur?"
"Entahlah, oh iya kamu tahu. Angelo di sini."
"Angelo?"
Tristan mengangguk.
"Dia terus datang untuk menyapamu tapi kamu tidur terus, aku bahkan tidak pernah melihatmu bangun dan memesan makanan."
"Aku bangun kok, tapi hanya untuk makan dan buang air, setelah itu tidur lagi."
"Cape banget ya? Ya sudah buruan berdiri "
"Aku ngga bisa, kepalaku pusing."
Tristan menyentuh keningnya.
"Kamu masih demam?"
"Iya, sejak semalam. Aku benar-benar lemas."
"Kenapa tidak bilang padaku?"
"Memangnya Pak Bos, dokter? Bos bisa nyembuhin saya?"
"Ngga sih, tapi kan setidaknya kamu ada yang nemenin."
"Aku tidur terus, mau ditemenin apaan?"
"Cerewet!"
Dinda bangkit, Tristan pun merangkulnya dan memastikan gadis itu bisa berjalan dengan baik.
"Aku bawa ke rumah sakit ya."
Dinda menggelengkan kepala.
"Aku hanya butuh istrahat untuk memulihkan stamina sebelum pulang ketemu Nenek. Aku akan menghubungi temanku, untuk malam ini aku akan tidur di rumahnya."
"Teman?"
"Iya."
"Siapa?"
"Namanya Anis."
"Kamu mau tidur di rumah Anis?" Tristan terkesiap.
"Iya, mumpung dia sendiri. Orangtuanya ngga ada di rumah."
"What?" Tristan tak percaya ini.
Dinda berjalan dan Tristan masih membantunya. Setelah tiba di bawah, Tristan pun langsung meminta kursi roda untuk leluasa mendorong Dinda ke lobby.
"Kamu ngapain?"
Dinda menatapnya bingung.
"Duduk saja."
"Ngga ah, nanti di lihatin orang-orang."
"Memangnya kenapa? Ayo, duduk!"
Dinda pun pasrah dan di tuntun duduk di kursi roda.
"Gimana? Masih pusing?"
Gadis itu berdandan nyaman.
"Aku merasa lebih baik. Terimakasih Bos."
"Terimakasihnya nanti saja." Mereka lalu menuju ke pengambilan bagasi. Tristan meminta bantuan pada staf karena Dinda sedang tidak enak badan.
Staf melihat keadaan gadis itu lalu mengangguk. Koper-koper mereka pun di antarkan sampai menuju pintu keluar.
"Bos, maaf menyusahkan."
"Tidak apa-apa, lagipula kamu seperti ini karena ikut denganku ke luar negeri."
Tristan menelpon, dia bicara pada seseorang dan Dinda hanya bisa menyenderkan kepalanya yang terus berdenyut.
"Hay Dinda, akhirnya kita bisa mengobrol juga."
Dinda melihat Angelo berdiri di hadapannya. Dia menoleh pada Tristan tapi bosnya itu sedang sibuk menelpon.
"Kita satu penerbangan, kamu tidur terus sampai Tristan terus menjagamu."
"Apa?"
Raut wajah Dinda tampak bingung.
"Iya, kamu tidur di kelonin sama Tristan. Kalian berada di ranjang yang sama membuat penumpang lain merasa iri."
Tristan datang dan melihat Angelo.
"Hay El?"
"Hay, Tristan. Kalian sedang menunggu jemputan?" sapa El ramah.
"Ya, orangku sedang menuju ke sini. Kamu sendiri sedang menunggu siapa?"
Dinda diam termenung menyimak pembicaraan mereka.
"Aku tidak menunggu siapa-siapa, aku akan pulang dengan taksi agar orang rumah mendapatkan kejutan. Kita tak pernah mengobrol lama, bagaimana kalau lusa nanti, kita makan siang bersama?"
Tristan menatap Dinda yang diam saja sejak tadi.
"Maaf, aku tidak bisa, El." Tristan menolak dengan sopan.
"Ayolah, hanya makan siang."
"Aku berangkat ke Singapura besok pagi."
Mendengar itu, Dinda tertegun.
"Wow, kamu sibuk sekali Tristan. Baru aja pulang dari Paris, sekarang kamu malah mengatur perjalanan menuju ke Singapura. Apa kalian akan berangkat bareng lagi?"
"Tidak, Dinda akan tetap di Jakarta. Tapi sekarang dia sedang sakit jadi tak bisa memenuhi undangan makan siang darimu."
"Aku mengerti, tidak masalah. Selalu ada lain kali, Tristan. Kamu mengerti kan?"
Tristan mengangguk.
"Okey, aku tidak akan mengganggu kalian bye bye!"
"Bye."
Tristan menunggu jemputan dan hujan turun seketika. Tristan menarik kursi roda Dinda agar menjauh dari lobby.
"Jadi, apa benar kamu akan berangkat besok pagi?"
"Ya, aku sudah memesan tiketnya."
Dinda tertunduk dalam.
"Apa ini karena aku?"
Tristan menatapnya lekat.
"Ini karena pekerjaan, bukan karena kamu."
"Bos."
"Udara luar tidak cocok untukmu. Lihat, kamu seperti ini karena tidak terbiasa dengan pergantian cuaca."
Dinda mengakui itu, dia memang tidak cukup kebal soal dingin dan cuaca ekstrem.
"Jangan tanya kapan aku pulang."
"Bos, aku harus mengganti uang untuk belanjaan oleh-oleh yang aku pinjam kemarin."
"Ayolah Dinda, semua itu hadiah untukmu."
"Aku tidak mau menerima hadiahmu."
Tristan menatapnya dalam.
"Kamu tidak mau menerima hadiah ku, tapi memaksaku memakai gelangmu."
"Yang itu beda," ucap Dinda sedih.
"Beda? Lalu mengapa tidak mau menerima cincin dariku? Bukankah benda itu juga sayang jika hilang begitu saja?"
Dinda tak memiliki jawaban. Hatinya tak menentu mendengar ucapan bosnya.
"Terima saja semuanya sebagai oleh-oleh dariku, aku memang ingin membelanjakan barang untukmu tapi aku tidak tahu kamu suka yang mana?"
"Kamu curang." Dinda kesal tanpa alasan yang jelas.
"Itu bukan curang, itu cerdas. Setidaknya kita bisa memakai gelang yang sama kan?"
"Aku akan membayar uang untuk gelangnya. Kamu harus pulang saat gaji pertamaku cair."
Tristan tertawa.
"Oke, sepakat."
Mobil yang ditunggu-tunggu pun datang, Tristan lantas melambaikan tangan dan Pak supir melihatnya.
"Malam ini tidak perlu datang ke rumah Anis, tidurlah di rumahku."
"Hah?"
Dinda terkesiap.
"Tidur di rumahku, kamar di sana banyak dan kita bisa membahas pekerjaan hingga semalaman."
"Anda ingin menyiksaku, iya kan?"
Tristan berdecak. Sang supir membawakan kedua koper ke dalam mobil. Sedang Tristan menuntun Dinda masuk ke dalam mobil dan duduk dengan nyaman.
"Bos, apa kamu yakin tak ingin memberikan libur padaku?"
"Kamu ingin libur di hari terakhir aku bisa membantumu?"
Dinda menghela nafas panjang.
"Ayo, Pak. Jalan!"
****
Kesal, jengah menjadi satu.
Dinda akhirnya kembali lagi ke rumah ini dan kali ini dia datang bersama bosnya.
"Ayo turun." Gadis itu patuh namun juga sedikit ragu.
"Bos, apa ini normal?"
Tristan menatapnya ajaib.
"Kamu bilang apa? Normal?"
Dinda mengangguk polos.
"Oh, jadi jika menginap di sini kamu anggap tidak normal, lalu menginap di rumah teman lelakimu itu normal?"
"Teman lelaki? Sejak kapan aku bilang mau menginap di rumah teman lelaki?"
Tristan menariknya keluar dari mobil.
"Apa sekarang kamu juga pikun? Tadi jelas-jelas kamu bilang bahwa akan menginap di rumah Anis."
Dinda tertawa ngakak.
"Hey, apa yang lucu?"
"Bos, Anis itu cewe."
"Kamu menganggap aku bodoh?" Tristan maju satu langkah hingga Dinda spontan mundur dan terpaku di body mobil.
"Auw, bos jangan buat saya takut." Dinda mengerling kesal.
"Memangnya saya ngapain kamu?"
Dinda menghela nafas panjang.
"Bos, aku memang tidak bohong. Anis itu kepanjangan nama dari Anisa. Aku ngga bohong, kalau ngga percaya, aku bisa telepon orangnya sekarang."
Dinda segera mencari ponselnya dan Tristan memejamkan mata karena kesal.
"Sudahlah lupakan saja, ayo masuk."
Pemuda itu sangat lelah di tambah Dinda seolah sengaja mengerjainya.
"Bos, hari masih sore aku masih bisa pesan taksi untuk ke rumah Anis."
"Diam! Kamu akan di sini sampai saya balik ke Singapura."
lnjut thor
kalau bos mu tak bisa melindungi ya sudah kamu pasang pagar sendiri aja ya
kejar dia, atau justru anda yg akan d tinggalkan lagi
bikin ketawa sendiri, makin rajin upnya ya thor,