NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:784
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Konsekuensi

Bram menatap putrinya dengan tatapan tajam yang tak pernah dilihat Fara sebelumnya. "Fara, cepat katakan," perintahnya.

Fara menelan ludah. Ia melirik ke arah Risa, yang menunduk dalam-dalam. Fara tahu ia tidak bisa lagi mengelak. Ia menarik napas, wajahnya memerah, bukan karena malu, melainkan karena amarah.

"Ya, benar," kata Fara, suaranya bergetar. "Aku yang menyuruh Risa menyebarkan gosip itu dan membuat akun palsu untuk mempermalukan Valeria."

Tiara terkejut. "Fara, kamu..."

"Tutup mulut, Bu!" potong Fara, lalu menatap Damian dan Valeria. "Aku benci kalian! Kalian semua membuatku terlihat buruk!"

"Cukup, Fara!" bentak Bram, suaranya menggema di ruangan. "Kamu sudah keterlaluan!"

Fara menatap Bram dengan mata berkaca-kaca.

"Papa enggak tahu! Aku cuma cemburu. Aku enggak suka Damian dekat-dekat sama Valeria. Dan Revan... dia juga enggak adil. Semua orang memuji Valeria seolah dia yang paling sempurna!"

"Jadi, kamu melakukan semua ini karena cemburu?" tanya Bram, suaranya melembut.

Fara mengangguk. "Ya. Aku cuma ingin Damian kembali," katanya.

"Dan kamu memfitnah Aluna?" tanya Bram.

Fara terdiam, tidak bisa menjawab.

"Fara, kamu menyakiti Aluna dan teman-temanmu. Kamu mempermalukan keluarga. Kamu harus meminta maaf," kata Bram, suaranya kembali mengeras.

Fara menunduk, tidak berani menatap papanya.

Bram menatap Fara dengan mata dingin, tatapan yang tak pernah dilihat Fara sebelumnya. "Minta maaf, Fara. Atau kamu mau Papa kirim ke asrama dan semua fasilitas yang Papa berikan—kartu ATM kamu—Papa tarik?"

Fara terkejut. Tubuhnya menegang. Ancaman itu terasa lebih mengerikan daripada omelan mana pun. Kehilangan kemewahan dan kebebasannya adalah hal yang paling ditakutinya. Ia menelan ludah, menatap Valeria dan Risa secara bergantian.

Ia lalu berbalik dan menatap Valeria. "Maaf," katanya, suaranya sangat pelan, nyaris tak terdengar.

Kemudian ia menatap Risa. "Maaf."

Rex Adrian menatap Fara, senyum sinis di wajahnya. Ia tahu, permintaan maaf itu tidak tulus.

Bram tahu fara tidak benar-benar meminta maaf ia menatap putrinya dengan mata menyala. Ia tidak puas dengan permintaan maaf Fara yang setengah hati.

"Minta maaf dengan benar, Fara!" bentaknya. "Begitu cara kamu meminta maaf?"

Fara terkejut. Air matanya mulai mengalir. Ia tidak pernah melihat ayahnya semarah ini. Ia menelan ludah, melihat Valeria yang menatapnya dengan pandangan dingin. Ia lalu menatap Risa yang menunduk, dan Tiara yang terlihat sangat malu.

Fara tahu ia tidak punya pilihan. Ia memandang Bram, matanya dipenuhi ketakutan. "Aku minta maaf," katanya, suaranya kini terdengar tulus dan penuh penyesalan. "Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku telah menyakiti hati kamu, Valeria. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku minta maaf."

Rex Adrian memperhatikan Fara. Ia melihat ada sedikit kejujuran di balik air matanya. Namun, ia tahu ini belum berakhir.

Bram menghela napas, merasa sedikit lebih lega.

Setelah Fara selesai berbicara, Rex Adrian menatap Tiara dan Risa.

"Bagaimana dengan Risa?" tanya Rex Adrian.

Tiara menoleh ke arah putrinya. "Risa, bangun dan jangan hanya menunduk. Minta maaf."

Risa mengangkat kepalanya perlahan, matanya sudah dipenuhi air mata. Ia melihat ekspresi kecewa mamanya dan tatapan dingin dari Bram. Ia tidak berani menatap Rex Adrian atau Valeria.

"Maaf," bisik Risa, suaranya parau dan bergetar.

"Aku... aku minta maaf. Aku tidak seharusnya melakukan itu."

Rex Adrian mengangguk. Ia melihat ada ketakutan yang tulus di mata Risa. Setelah kedua gadis itu meminta maaf, ia berdeham dan mengalihkan pembicaraan.

"Baik. Permintaan maaf sudah disampaikan," kata Rex Adrian. "Sekarang, kita bisa kembali ke alasan utama kenapa pertemuan ini terjadi. Ini bukan hanya soal gosip dan kekanak-kanakan."

Rex Adrian lalu menyalakan layar laptopnya yang ada di meja. "Ini adalah rencana yang jauh lebih besar," katanya. "Ini adalah konspirasi yang melibatkan bisnis, bukan hanya hubungan pribadi anak-anak kita."

Bram dan Tiara saling menatap, bingung. Tiara menghela nafas, ia menatap Rex Adrian dengan amarah.

"Astaga, Rex! Kenapa kamu selalu mengaitkan tentang bisnis? Berapa kali saya harus bilang tidak ada kaitannya? Kalau saya mau melakukan rencana terhadap kamu, saya akan melakukannya dengan cara lain, misalnya membobol perusahaan kamu dan mengobrak-abrik dari dalam! Bukan dengan cara yang tidak jelas seperti ini!"

"Tiara," kata Bram dengan nada lelah, menginterupsi. "Cukup. Ini bukan tentang bisnis. Ini tentang perbuatan anak-anak kita. Ini tentang bagaimana mereka menyakiti orang lain."

Bram menatap Fara. "Fara sudah mengakui semuanya," katanya. "Dia mengakui bahwa dia yang menyuruh Risa menyebarkan fitnah tentang Valeria, dan memanipulasi Aluna. Ini bukan masalah bisnis. Ini masalah hati nurani."

Tiara terdiam. Ia menatap Risa yang menunduk, lalu kembali menatap Bram. "Jadi... semua ini benar?" bisiknya, tidak percaya.

Risa mengangguk pelan, air matanya jatuh. "Aku... aku minta maaf, Ma," bisiknya.

Tiara menatap Rex Adrian, lalu Tante Kiara. Rasa malu dan kekecewaan membanjiri wajahnya.

"Kita di sini untuk mencari solusi," kata Rex Adrian dengan suara yang tenang. "Anak-anak kita sudah berbuat kesalahan besar. Mereka sudah merusak banyak hal. Sekarang, kita perlu menentukan konsekuensinya."

Ia menoleh ke arah Bram dan Tiara. "Kalianlah yang harus memutuskan apa yang akan terjadi selanjutnya pada putri kalian."

Tiara menatap Rex Adrian dengan penuh tantangan.

"Jadi, maumu apa, Rex?" tanyanya, suaranya tajam.

"Kamu yang memulai pertemuan ini. Apa yang harus kami lakukan?"

Rex Adrian membalas tatapan Tiara dengan tenang.

"Saya tidak menuntut apa pun, Tiara. Saya hanya ingin mereka berdua—Fara dan Risa—menyadari kesalahan mereka dan tidak mengulanginya lagi."

Bram menimpali, "Putri saya sudah mengakui perbuatannya. Saya sudah memutuskan untuk mencabut semua fasilitas yang dia miliki sampai dia bisa belajar menghargai orang lain."

"Dan putri saya juga harus bertanggung jawab," kata Tiara, suaranya melembut. Ia menoleh ke arah Risa. "Kamu juga akan mendapatkan hukuman yang setimpal."

Tante Kiara yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Mereka harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan di sekolah. Mereka sudah merusak reputasi Valeria. Mereka juga sudah membuat Aluna ketakutan."

"Benar," kata Rex Adrian. "Mereka harus meminta maaf kepada semua orang yang telah mereka rugikan. Dan mereka harus membuktikan bahwa mereka benar-benar menyesal."

"Baiklah, kita akan lakukan," kata Bram.

Tiara mengangguk, menunjukkan keseriusannya. "Apa perlu kita buat surat perjanjian, tanda tangan di atas meterai?" tanyanya, menatap Bram dan Rex Adrian.

Rex Adrian tersenyum tipis. "Ide bagus, Tiara. Ini akan menjadi pengingat bagi mereka berdua bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya," jawabnya.

Bram mengangguk setuju. "Surat perjanjian itu akan menjadi bukti bahwa kami serius," katanya.

Mendengar percakapan orang tua mereka, Fara dan Risa terkejut. Ini bukan hanya sekadar hukuman dari orang tua, ini adalah janji yang akan mereka pegang selama hidup. Mereka saling berpandangan, menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi melarikan diri dari konsekuensi perbuatan mereka.

Pertemuan pun berakhir. Dengan perjanjian yang sudah dibuat, setiap orang tua memiliki tanggung jawab untuk memastikan putri mereka menepati janji.

Setelah menandatangani perjanjian, Bram dan Fara kembali ke mobil mereka. Tidak ada yang berbicara. Bram mengemudi dengan wajah datar, sementara Fara hanya menunduk, air matanya tak henti mengalir. Ia tahu hidupnya tidak akan sama lagi.

Di mobil lain, Tiara juga mendiamkan Risa. Risa hanya bisa menatap jalanan yang gelap, takut membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hukuman yang menanti mereka bukan hanya dari orang tua, tetapi juga di hadapan seluruh siswa di sekolah.

Mereka semua tahu, hukuman yang sebenarnya akan dimulai keesokan harinya, di sekolah, tempat di mana semua masalah ini bermula.

Setibanya di rumah Aluna, Bram dan Fara turun dari mobil. Dari dalam rumah, Aluna mendengar suara mobil. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya, melihat Bram dan Fara berdiri di depan. Aluna menyambut mereka.

"Om," sapa Aluna, ragu-ragu. Ia melirik Fara, yang hanya menatap ke arah lain.

Bram tersenyum tipis, tetapi matanya terlihat lelah.

"Aluna, semuanya sudah selesai," katanya, suaranya meyakinkan. "Kami sudah membuat perjanjian. Sekarang, kalian berdua harus belajar untuk berdamai."

Fara hanya diam, mengepalkan tangannya.

"Fara, papa minta tidak ada lagi kebohongan. Papa tidak akan mengampuni kamu jika hal seperti ini terjadi lagi," kata Bram, menatap tajam putrinya. "Mulai sekarang, kamu harus bersikap baik pada Aluna. Papa tidak akan segan untuk menghukum kamu lebih berat lagi jika kamu menyakitinya."

Fara tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan.

"Dan Fara, kamu juga harus minta maaf kepada Aluna sekarang," perintah Bram, suaranya menuntut.

Namun, Fara hanya terdiam, menolak untuk mengucapkan sepatah kata pun.

"Fara! Jangan buat Papa tambah marah! Minta maaf kepada Aluna!" bentak Bram, kesabarannya habis.

Fara menunduk, bahunya bergetar. Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap Aluna, dan dengan suara bergetar, ia berkata, "Aku minta maaf."

Bram menghela napas lega. Ia tahu permintaan maaf itu tidak tulus, tapi setidaknya Fara telah melakukannya.

Fara segera berbalik dan berlari menuju kamarnya, meninggalkan Aluna dan Bram di depan pintu.

Bram menepuk pundak Aluna. "Dia akan baik-baik saja, Nak. Beri dia waktu," katanya. "Sekarang, kamu masuk ke dalam. Besok pagi, kalian berdua akan berangkat sekolah bersama. Om akan pastikan itu."

Aluna hanya mengangguk, merasa lega dan takut pada saat yang sama. Bram melihat wajah Aluna yang ketakutan ia kemudian berkata.

"Aluna," kata Bram, menatapnya dengan lembut. "Apa kamu masih takut jika tinggal dengan Fara? Kamu bilang saja sama Om kalau kamu merasa takut. Om akan mengajak Fara untuk pulang dan tidak tinggal di sini. Om juga akan mengatur orang lain untuk menemanimu di sini dan membantumu. Jadi, katakan saja, Aluna."

Aluna mendengarkan, matanya berkaca-kaca. Ia merasa terharu dengan perhatian Bram. Ia mengingat wajah Fara yang memerah karena amarah, dan ia tahu, Fara pasti tidak ingin pergi. Aluna menarik napas dalam-dalam.

"Tidak, Om," kata Aluna, suaranya pelan tapi mantap. "Aku tidak takut lagi."

Bram terkejut. "Kamu yakin?"

"Aku yakin, Om," jawab Aluna. "Aku percaya Fara bisa berubah. Dia hanya perlu waktu untuk menyadari kesalahannya."

Bram tersenyum, hatinya terasa lega. Ia menepuk pundak Aluna. "Kamu anak yang baik, Aluna. Om bangga padamu."

"Kalau begitu om tinggal dulu, Aluna. Jaga diri baik-baik," kata Bram.

Aluna mengangguk, dan Bram pun pergi.

Setelah Aluna memastikan Bram pergi, ia menutup pintu dan menguncinya. Ia kemudian memutuskan untuk tidur di kamar mamanya saja. Ia merasa lebih aman di sana.

Tepat saat itu, Aluna mendengar teriakan keras dari kamarnya. "Aaah, sialan!"

Aluna memutuskan untuk mengabaikannya dan tetap berjalan menuju kamar mamanya. Samar-samar, teriakan itu masih terdengar.

Di dalam kamarnya, Fara menemukan catatan dari Revan yang ditujukan kepada Aluna. Ia meremasnya, amarahnya meluap-luap.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Sialan! Bajingan kalian semua!" teriak Fara, suaranya menggema di seluruh rumah.

Ia menjatuhkan diri di atas kasur Aluna, mencengkeram erat kertas yang diremasnya. Amarahnya meluap-luap. Ia merasa dikhianati dan dipermainkan.

Di dalam kamar mamanya, Aluna menutup telinganya, tubuhnya bergetar ketakutan. Suara teriakan Fara menusuk hingga ke dalam hatinya. Ia menyesali keputusannya untuk tetap tinggal. Rasa aman yang ia rasakan beberapa jam lalu kini menguap, digantikan oleh ketakutan yang mencekam. Aluna bersembunyi di balik selimut, berharap malam segera berlalu.

Sementara itu, di rumah Risa, Tiara berteriak kepada putrinya.

"Risa, kamu itu ya! Benar-benar membuat Mama malu! Kamu ini apa-apaan, sih?! Kamu dibayar berapa sama Fara sampai kamu mau melakukan itu?! Sampai Mama dituduh melakukan hal yang tidak-tidak! Kamu benar-benar keterlaluan, Risa! Jawab Mama, jangan diam saja! Kamu dibayar berapa sama dia, hah?!"

Namun, Risa hanya diam menunduk. Mamanya kemudian mendekati anaknya dan memegang kedua pundaknya. "Lihat Mama, Risa. Jangan cuma menunduk saja! Lihat Mama!"

...Hanya ilustrasi gambar. ...

Tepat saat itu, Ken, suami Tiara dan juga papa Risa, tiba ia baru datang dari kantor.

"Ada apa ini, Mah?" tanya Ken. "Kenapa Mama teriak-teriak? Suaranya sampai terdengar dari luar."

"Ini dia, anak kamu!" kata Tiara, menunjuk Risa. "Dia sudah bikin Mama malu di depan Rex! Sampai-sampai Rex menuduh Mama mau menghancurkan perusahaannya dengan menggunakan klausa 'Kuda Troya'!"

"Lalu, kamu melakukannya?" tanya Ken.

"Enggak, Pa!" jawab Tiara. "Buat apa melakukan itu? Jika aku mau melakukan itu, aku akan lakukan secara langsung, tidak dengan cara yang seperti kekanak-kanakan ini."

Ken menatap Tiara dan Risa bergantian. "Oke. Jadi, apa masalahnya?" tanyanya, mencoba meredam ketegangan.

Tiara menghela napas panjang, kekesalannya melunak digantikan oleh kelelahan. Ia duduk di sofa, mengisyaratkan Ken untuk duduk di sampingnya. Risa hanya berdiri di sana, menunduk dalam-dalam.

"Baiklah, aku akan ceritakan semuanya," kata Tiara, suaranya parau. "Beberapa waktu lalu, ada gosip tentang Valeria di sekolah. Gosip itu disebarkan oleh Fara dan Risa."

Ken menoleh ke arah Risa, menunggunya untuk berbicara. Risa hanya mengangguk pelan, air matanya menetes.

"Rex mengetahui hal itu," lanjut Tiara. "Dia mengundangku dan Bram ke restoran. Dia bilang, apa yang dilakukan anak-anak kita bukanlah hal yang sepele."

"Kenapa?" tanya Ken.

"Dia menuduhku menggunakan klausa 'Kuda Troya' untuk menyerang Valeria dan menghancurkan perusahaan yang akan diambil alih oleh keluarga Valeria," jawab Tiara, suaranya kembali dipenuhi amarah. "Dia bilang aku menggunakan Risa dan Fara sebagai pion dalam permainan kotor ini."

Ken terdiam, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Ternyata, Rex tidak berbohong," lanjut Tiara. "Fara dan Risa mengakui semua perbuatan mereka. Mereka mengakui semua kebohongan dan fitnah yang telah mereka sebarkan. Kami juga membuat surat perjanjian di atas materai, yang berisi hukuman untuk mereka berdua. Mereka harus meminta maaf kepada semua orang yang telah mereka rugikan."

Ken menatap Tiara, lalu beralih ke Risa. Wajahnya dipenuhi kekecewaan. "Jadi, semua ini benar, Risa?" tanyanya.

Risa hanya mengangguk pelan, tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

"Sekarang jawab Mama, Risa. Kamu dibayar berapa sama Fara sehingga kamu mau melakukannya?" kata Tiara.

Risa menunduk, suaranya pelan dan nyaris tak

terdengar. "100 juta," katanya.

Tiara berdiri, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia memegang pundak Risa dengan gemetar. "Lihat Mama, Risa! Katakan dengan jelas, berapa?"

"100 juta," ulang Risa, suaranya sedikit lebih keras.

"100 juta?! Untuk apa kamu minta uang sebanyak itu, Risa? Apa uang yang Mama dan Papa kasih kurang? Apa kamu merasa kekurangan? Apa yang kami berikan di rumah ini kurang buat kamu?" Tiara bertanya, nada suaranya berubah menjadi putus asa.

"Ma, tenang," kata Ken, mencoba menenangkan istrinya.

Ken mendekat kepada Risa dan memegang tangannya.

"Risa, lihat Papa. Jawab pertanyaan Papa. Kenapa kamu mau melakukannya? Kalau kamu merasa kekurangan uang, kamu bisa bilang sama Papa dan Mama. Bukan dengan cara seperti ini. Kamu tahu, perbuatan kamu ini sudah merugikan orang lain."

Risa mulai menangis. "Aku... aku butuh uang itu untuk... untuk sesuatu," bisiknya. "Fara bilang dia bisa membantuku. Dia bilang aku tidak perlu khawatir."

"Untuk apa?" tanya Ken, suaranya pelan tapi penuh desakan. Ia mendekat, menatap Risa dengan mata yang memohon. "Apa yang kamu maksud dengan 'sesuatu' itu, Nak? Apa?"

Risa menunduk, menangis tersedu-sedu. Ia tahu tidak ada jalan keluar lagi. Ia harus menceritakan semuanya.

"Aku... aku terjerat utang, Pa," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku... aku ketagihan judi online."

Tiara terkejut, ia menutup mulutnya dengan tangan. Ken menarik napas, wajahnya terlihat syok.

Risa melanjutkan, "Awalnya cuma iseng. Tapi, lama-lama aku kalah banyak. Aku sudah coba pinjam uang dari teman-teman, tapi enggak cukup. Fara tahu. Dia janji akan membantuku jika aku mau melakukan apa yang dia suruh. Aku tahu itu salah, tapi aku... aku takut kalau Papa dan Mama tahu, kalian akan marah besar."

Keheningan menyelimuti ruangan. Ken dan Tiara menatap putri mereka, hati mereka hancur. Bukan karena jumlah uangnya, tapi karena fakta bahwa putri mereka terjerat judi online.

Tiara mendekati Risa dengan mata menyala. "Judi online? Kamu benar-benar ya!" serunya, suaranya dipenuhi amarah. Ia mengangkat tangannya, siap menampar Risa.

Namun, Ken dengan cepat mencegatnya. Ia menahan tangan Tiara, matanya dipenuhi peringatan.

"Jangan, Ma," kata Ken, suaranya tegas.

...Hanya ilustrasi gambar. ...

Tiara terengah-engah, air mata mulai mengalir di matanya. "Kenapa dia melakukan ini, Pa? Kita kurang apa? Apa yang salah dengan kita?" Ia menatap Risa dengan tatapan putus asa. "Kamu hancurin semua, Risa. Kamu hancurin nama baik kita, kamu hancurin semuanya!"

Risa hanya bisa menangis, tidak berani mengangkat kepalanya.

Ken melepaskan tangan Tiara. Ia memeluk Risa, yang langsung menangis di pelukannya. "Kita selesaikan masalah ini bersama-sama," bisik Ken kepada Risa.

"Bukan dengan marah-marah.

Ia menatap Tiara. "Kita bicarakan baik-baik. Kita harus membantunya," kata Ken.

"Mama malu punya anak seperti kamu, Risa! Kamu itu contoh yang buruk bagi adik kamu, tahu enggak!" seru Tiara, suaranya bergetar. "Lebih baik kamu tidak usah masuk ke sekolah itu lagi. Mama akan daftarin kamu ke asrama biar kamu dididik lebih baik di sana. Besok kamu enggak perlu masuk ke sekolah, tetap di rumah!"

Setelah mengatakan itu, Tiara berjalan cepat menuju kamarnya, meninggalkan Ken dan Risa sendirian.

Risa terdiam, syok. Kata-kata mamanya terasa seperti tamparan yang lebih sakit daripada pukulan. Ia menatap kepergian Tiara, air matanya mengalir deras.

"Pa..." bisik Risa, suaranya parau.

Ken memeluk putrinya erat. Ia tahu Tiara hanya berkata demikian karena emosi, tapi ia juga tahu, Tiara adalah wanita yang keras kepala. Ia harus mencari cara untuk berbicara dengan Tiara dan mengubah pikirannya.

"Sudah, Nak. Tenang," kata Ken, mengelus punggung Risa. "Papa akan bicara sama Mama kamu. Semua akan baik-baik saja."

Ken menepuk lembut bahu putrinya. "Sudah, Nak. Jangan nangis lagi," bisiknya. "Sekarang, pergi ke kamarmu. Papa mau bicara dengan Mama."

Risa mengangguk pelan, menyeka air matanya. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Ken sendirian di ruang tamu.

Ken menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah. Ia berjalan menuju kamar mereka dan membuka pintu.

Tiara duduk di tepi kasur, membelakangi pintu. Bahunya bergetar, dan Ken tahu ia sedang menangis.

"Ma," panggil Ken lembut.

Tiara tidak menjawab.

Ken berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.

"Aku tahu kamu marah, tapi kata-kata itu... kata-kata itu bisa menghancurkan Risa."

"Aku malu, Pa," isak Tiara. "Aku malu punya anak seperti dia. Dia tidak tahu betapa susahnya Papa dan Mama bekerja. Dia tidak tahu, Pa!"

"Aku tahu, Ma. Aku mengerti," kata Ken. "Tapi mengirimnya ke asrama tidak akan menyelesaikan masalah. Itu hanya akan membuat dia menjauh dari kita. Dia butuh kita sekarang. Dia butuh kita untuk membantunya."

Tiara menatap suaminya, air matanya masih mengalir deras. "Lalu kita harus apa? Papa, dia kecanduan judi. Anak kita, Pa. Apa yang harus kita lakukan?"

"Kita obati dia," kata Ken dengan tenang. "Kita atur dia bertemu dengan psikolog. Semoga itu bisa menghilangkan kecanduannya. Jika tidak berhasil, baru kita masukkan ke asrama milik teman Papa. Di sana sangat lengkap dan ada psikolog yang bisa mengatasinya."

Tiara menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu, kita langsung masukkan saja ke sana. Tidak perlu harus mengatur untuk bertemu psikolog, 'kan di asrama sudah ada psikolognya juga."

"Tapi kita perlu cek keadaan Risa dulu, Ma," kata Ken. "Jika kita tahu masalah apa yang ada pada Risa, dan hasilnya diketahui, itu bisa jadi acuan bagi psikolog yang ada di sana."

Tiara terdiam sejenak, memikirkan perkataan suaminya. Ken benar. Mereka tidak bisa hanya menyerahkan Risa tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia menghela napas, menyerah.

"Baiklah," kata Tiara akhirnya. "Lalu, kapan kita akan melakukannya?"

"Besok pagi," jawab Ken. "Papa akan mengaturnya. Kita akan pergi bersama-sama."

Di saat yang sama rumah Valeria, Tante Kiara merasa senang akhirnya masalah Fara dan Risa selesai. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Tertera nama "Kak Diandra" di layar. Ia menghela napas panjang sebelum mengangkatnya.

"Halo, Mbak," sapa Kiara.

"Halo, Kiara," jawab Diandra, suaranya terdengar dingin. "Mbak dengar hari ini Valeria tidak les. Kenapa? Mbak sudah bilang untuk memastikan jadwal les Valeria, Kiara."

"Saya tahu, Mbak, tapi hari ini ada masalah, jadi saya memutuskan untuk Valeria tidak les dan akan les besok," jawab Kiara, mencoba menjelaskan dengan sabar.

"Masalah? Masalah apa?" tanya Diandra, suaranya terdengar tidak percaya. "Apa yang sudah Valeria lakukan?"

"Bukan Valeria yang melakukannya, justru dia korban, Mbak," kata Kiara, suaranya terdengar frustrasi.

"Korban? Korban apa?" tanya Diandra, nadanya dipenuhi keraguan.

Kiara menghela napas. "Valeria jadi korban gosip dan fitnah yang disebarkan oleh Fara dan Risa di sekolah. Mereka menyebarkan kebohongan yang sangat keji tentangnya," jelas Kiara. "Untungnya, masalahnya sudah selesai. Kami sudah bertemu dengan orang tua Fara dan Risa, dan mereka sudah mengakui semuanya."

Diandra terdiam di seberang telepon. Kiara bisa mendengar hening yang mencekam. Ia tahu, Diandra tidak marah kepada Valeria. Diandra marah karena ada orang yang berani mengganggu kehidupan putrinya yang sudah direncanakan dengan rapi.

"Bagaimana bisa ini terjadi, Kiara?" tanya Diandra, suaranya kini terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Apakah reputasi Valeria rusak? Mbak sudah bilang, Mbak tidak mau ada skandal yang bisa mengganggu masa depannya."

"Tidak, Mbak," jawab Kiara, berusaha meyakinkan. "Kami sudah selesaikan. Masalahnya tidak akan membesar."

"Tidak membesar?" balas Diandra. "Siapa saja yang terlibat dalam pertemuan itu? Katakan pada Mbak siapa saja nama-nama mereka."

Kiara menyebutkan nama-nama yang terlibat, Fara, Risa, Bram, dan Tiara. Diandra mencatat semua nama itu di kepalanya.

"Baiklah, Kiara," kata Diandra. "Mbak rasa, Mbak perlu bicara dengan mereka secara langsung. Mbak tidak percaya kalau mereka bisa menyelesaikan masalah ini. Ini tentang reputasi putriku. Besok, Mbak akan terbang ke sana. Pastikan semuanya sudah diatur."

"Baik, Mbak," kata Kiara, suaranya terdengar lelah.

"Dan satu lagi, Kiara," lanjut Diandra, suaranya dingin dan menusuk. "Bilang kepada Valeria, jangan membuat masalah seperti ini lagi. Suruh dia untuk berteman dengan orang yang bisa memberikan dia keuntungan untuk masa depannya, bukan justru malah merugikannya. Minta dia untuk pintar dalam memilih teman. Ingat itu."

Diandra kemudian mematikan panggilannya. Kiara memegang ponselnya, terdiam. Hatinya terasa berat. Ia tahu, Diandra tidak benar-benar peduli dengan perasaan Valeria. Ia hanya peduli dengan reputasi dan masa depan putrinya.

Kiara berjalan ke kamar Valeria, yang sudah tertidur pulas. Ia menatap wajah keponakannya yang polos, dan rasa kasihan memenuhi hatinya. Bagaimana bisa ia menyampaikan pesan sekejam itu kepada Valeria?

Keesokan paginya, suasana di rumah Aluna terasa sangat dingin. Fara dan Aluna tidak berbicara sepatah kata pun. Mereka hanya bertatapan sekilas, tetapi tidak ada yang berani memulai percakapan. Fara terlihat lelah, matanya bengkak, tetapi ia tetap mengenakan seragamnya dengan sempurna, seolah tidak terjadi apa-apa.

Di mobil, mereka berdua duduk dalam keheningan yang canggung. Fara duduk di depan, sementara Aluna duduk di belakang. Aluna hanya bisa menatap ke luar jendela, memikirkan apa yang akan terjadi di sekolah. Mereka berdua tahu, hari ini adalah hari di mana mereka akan menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka.

Sementara itu, di rumah Valeria, Tante Kiara sudah siap untuk mengantar keponakannya. Ia menatap Valeria, dan ingatannya kembali pada perkataan Diandra tadi malam. Ia bingung, apakah harus menceritakan semuanya atau tidak.

Kiara memikirkan betapa lelahnya Valeria setelah semua yang terjadi. Ia tidak ingin menambah beban di pundak gadis itu dengan kata-kata kejam Diandra. Kiara memutuskan untuk tidak membicarakannya. Ia akan menyembunyikan percakapan itu, setidaknya untuk saat ini.

"Sudah siap?" tanya Kiara, mencoba tersenyum.

"Sudah, Tante," jawab Valeria, suaranya terdengar lebih ringan.

Keduanya berjalan keluar rumah, menuju mobil.

Mereka pun pergi meninggalkan rumah menuju sekolah Valeria.

Di saat yang sama, Tiara dan Ken sudah siap dan mulai mengajak Risa untuk bertemu psikolog. Risa mengenakan pakaian santai, ekspresinya kosong. Ia tidak memberontak, hanya mengikuti orang tuanya dengan patuh.

Perjalanan di dalam mobil terasa hening. Tidak ada yang berbicara. Udara terasa berat, dipenuhi dengan rasa bersalah dan ketidakpastian. Mereka tahu ini adalah langkah pertama yang sulit, tetapi juga merupakan satu-satunya jalan keluar.

Mereka tiba di sebuah gedung tinggi, di mana papan nama kecil bertuliskan "Klinik Konseling dan Psikologi" terlihat di depan pintu. Ken menghela napas, menepuk bahu Risa, dan mengisyaratkan padanya untuk masuk. Risa melihat ke belakang, ke arah orang tuanya, dan mengangguk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi lari.

Bersambung......

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!