Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27. PERGUMULAN
Lorong rumah sakit berbau tajam antiseptik. Lampu-lampu putih menyilaukan berderet panjang, namun bagi Davian, semua terasa suram. Ia duduk di kursi tunggu dengan baju yang masih berlumuran darah Olivia. Tangannya bergetar, matanya kosong menatap lantai, wajahnya lebih pucat daripada biasanya.
Di balik pintu gawat darurat, para dokter sedang berjuang mempertahankan nyawa Olivia. Setiap detik yang lewat terasa seperti pisau yang menggores jantungnya. Ia bisa mendengar suara samar-samar perintah dokter, dentingan peralatan medis, dan bunyi mesin monitor jantung.
Tenggorokannya terkunci. Kata-kata apa pun akan terdengar sia-sia. Ia hanya bisa menunduk, menekan wajah dengan kedua tangannya, mencoba menahan gemuruh dalam dada.
Tiba-tiba, suara langkah tergesa menghentak lantai rumah sakit. Pintu ruang tunggu terbanting, dan sosok Peter muncul dengan wajah panik bercampur murka. Napasnya memburu, matanya menyala penuh emosi. Begitu melihat Davian yang berlumuran darah, Peter membelalak.
"Apa yang kau lakukan padanya?!" bentaknya.
Davian menoleh, sorot matanya sayu namun penuh rasa sakit. "Peter?"
Belum sempat ia melanjutkan, Peter sudah melangkah cepat dan menarik kerah bajunya. Dengan kekuatan amarah yang meledak, Peter menghantamkan kepalan tangannya ke wajah Davian.
BUK!
Tubuh Davian terhuyung, bibirnya pecah mengeluarkan darah, tapi ia tidak melawan. Ia hanya menerima pukulan itu, seolah memang pantas.
"Sudah kubilang! Sudah berkali-kali kubilang keputusanmu itu salah!" Peter berteriak, nadanya parau karena menahan tangis. "Kau kira dengan menjauhkan Olivia dari Cassandra akan menyelamatkannya? Lihat apa hasilnya sekarang! Olivia hampir mati! Mati, Davian!"
Davian hanya terdiam, napasnya berat. Bibirnya bergetar, namun tidak ada kata yang bisa ia keluarkan.
"Dia memang bukan wanita gila! Dia salah karena berbohong, tapi kau menghukumnya terlalu keras! Aku sudah katakan sejak awal! Tapi kau keras kepala, kau menolak mendengar siapa pun! Dan sekarang kita hampir kehilangannya," ucap Peter penuh emosi, namun merasa bersalah karena bagaimana pun ia ikut andil dalam menyudutkan Olivia, atau tidak menghentikan Davian dari keputusan buruknya.
Namun Peter menepisnya, matanya tetap terpaku pada Davian. "Bagaimana kalau dia tidak selamat, Davian? Kau sanggup menanggung itu? Kau sanggup menatap Cassandra tanpa teringat akan Olivia?"
Kata-kata itu menusuk Davian lebih dalam daripada pukulan apa pun. Dadanya bergemuruh, wajahnya menegang menahan rasa sakit emosional.
"Aku ..." suaranya parau, hampir tak terdengar. "Aku tahu ... aku salah ...."
Peter mengepalkan tangan lagi, namun kali ini tidak memukul. Ia justru mengusap wajahnya sendiri dengan kasar, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia hanya tidak menyangka kalau Olivia akan mengambil keputusan bertaruh nyawa seperti ini.
"Olivia selalu mencintai Cassandra. Dia selalu tahu bayi itu bukan miliknya, tapi tetap menerima, tetap melindungi, tetap menyusui, tetap merawat dengan seluruh hidupnya. Dan kau, Davian, yang seharusnya paling mengerti, justru merenggut segalanya darinya," ucap Peter.
Keheningan yang mencekam jatuh di ruang tunggu. Sementara Davian hanya bisa duduk terdiam dengan wajah penuh luka dan darah, tidak hanya dari pukulan Peter, tapi juga dari luka batin yang jauh lebih dalam.
Pintu gawat darurat terbuka. Seorang dokter keluar, wajahnya tegang. Semua orang langsung berdiri, jantung mereka nyaris berhenti.
"Bagaimana Olivia?" tanya Davian cepat, suaranya bergetar.
Dokter itu menghela napas berat, lalu menatap mereka. "Kami berhasil menghentikan pendarahan tapi kondisinya masih kritis. Ia kehilangan banyak darah. Sekarang ia dalam keadaan koma. Kami akan lakukan transfusi dan pemantauan intensif. Semua tergantung pada kekuatannya untuk bertahan."
Peter menunduk, menghela napas panjang sambil mengepalkan tangan.
Davian terhuyung mundur, punggungnya menabrak dinding. Ia menatap kosong ke depan, wajahnya seolah kehilangan jiwa. Kata 'koma' bergema di kepalanya, menghantam keras.
Peter akhirnya menoleh padanya lagi. "Kau dengar itu? Kau hampir membunuhnya. Jika dia tidak bangun, Davian ... aku tidak akan pernah memaafkanmu."
Davian tidak menjawab. Air mata akhirnya jatuh juga dari matanya, menetes di pipi bercampur darah.
Malam itu, di rumah sakit yang dingin, semua orang menunggu dengan doa dan ketakutan. Olivia terbaring di ambang hidup dan mati. Davian dililit penyesalan yang tak terbendung, dan Peter dihantui amarah bercampur rasa takut kehilangan.
Lorong menuju ruang ICU terasa dingin dan panjang. Bau obat-obatan menusuk, bercampur dengan ketegangan yang menggantung di udara. Dari balik kaca tebal, Olivia berbaring tak berdaya di ranjang putih. Wajahnya pucat seolah tersapu semua warna kehidupan, selang-selang medis menempel di tubuhnya, dan monitor jantung memancarkan suara bip pelan dengan ritme yang lemah.
Davian berdiri di depan kaca itu, tubuhnya tegak namun rapuh. Baju masih berlumuran darah, tangannya bergetar, dan matanya kosong menatap wanita yang ia sakiti. Peter duduk di kursi tunggu, menunduk dalam diam, sementara amarahnya belum sepenuhnya reda.
Hening itu pecah oleh getaran ponsel di saku Davian. Ia mengeluarkannya dengan tangan gemetar, melihat nama Emily di layar. Sekilas ia ragu menjawab, tapi akhirnya tombol hijau ditekan.
"Emily?" suaranya parau.
Suara Emily terdengar panik di seberang. "Sir? Cassandra tidak berhenti menangis sejak tadi. Tidak ada yang bisa menenangkannya. Dia menolak susu, menolak digendong."
Davian terdiam, jantungnya kembali digenggam rasa bersalah. Ia bisa mendengar jelas suara tangis bayi itu dari seberang telepon, melengking, putus asa, menusuk sampai ke tulang.
Peter yang duduk di kursi menoleh, menatap Davian tajam. "Itu Cassandra?"
Davian menutup mata sejenak, mendengarkan tangis itu. Dadanya seakan diremas. Ya Tuhan ... bahkan bayi sekecil itu merasakan kehilangan.
"Emily," suaranya berat, serak. "Bertahanlah sedikit. Aku akan segera pulang begitu ada kabar dari dokter."
Emily terisak. "Baik, aku dan yang lain akan berusaha menenangkannya."
Telepon terputus, namun suara tangisan Cassandra masih terngiang di telinga Davian. Ia menatap kembali ke balik kaca ICU. Olivia terbaring tanpa daya, sementara putrinya meraung tanpa henti di rumah, kehilangan separuh jiwanya.
Peter berdiri, menatapnya dingin. "Kau dengar itu? Bayi itu tahu siapa yang benar-benar memeluknya dengan cinta."
Davian menelan ludah, matanya basah. “Aku aku salah, Peter. Maafkan aku."
Peter mendekat, suaranya menekan. "Kalau Olivia bertahan, kau tidak boleh mengulang kesalahan yang sama. Kau harus biarkan mereka bersama. Jika tidak, kau akan kehilangan keduanya sekaligus."
Davian tidak membantah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia hanya bisa terdiam, hancur oleh kenyataan yang tidak lagi bisa ia sangkal.
Malam itu, waktu berjalan begitu lambat. Setiap detik di lorong ICU terasa seperti siksaan. Davian tidak beranjak dari tempatnya. Ia berdiri di depan kaca, menatap tubuh Olivia yang rapuh, sementara di kepalanya masih terngiang-ngiang suara tangisan bayi kecil yang mencari ibunya.
Ia menunduk, menyandarkan dahi pada kaca dingin itu. "Bangunlah, Olivia," bisiknya lirih. "Aku berjanji ... aku tidak akan menjauhkanmu lagi dari Cassandra."
Dan di balik kaca, meski masih dalam koma, jari Olivia tampak sedikit bergerak, halus, nyaris tak terlihat. Tapi cukup untuk menyalakan setitik harapan di hati semua orang yang menyaksikannya.
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi