Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Jangan Nakal, Mas.
Esok harinya, udara pagi terasa hangat dengan sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar Hana. Ia duduk di ranjang, memandangi langit biru dengan perasaan jenuh. Sejak usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, ia jarang sekali keluar rumah. Semua serba diatur, bahkan untuk sekadar membeli kebutuhan kecil pun biasanya diserahkan pada pelayan.
“Mas…” suara Hana lirih ketika Hansel masuk membawa segelas susu hangat.
“Boleh nggak hari ini aku keluar sebentar? Cuma ke Swalayan, aku bosan di rumah terus.”
Hansel sempat terdiam, alisnya berkerut, tampak berpikir keras. Lalu ia menoleh ke arah pintu kamar di mana Jamilah baru saja lewat.
“Kalau begitu, biar ibu ikut juga. Supaya nggak ada yang curiga,” ucap Hansel akhirnya. Hana hanya tersenyum, meski hatinya sedikit kecewa karena Hansel masih khawatir. Namun ia sadar, semua demi menjaga rahasia mereka.
Baru saja keluar dari kamarnya, sebuah suara menegur mereka.
"Mas, kata Mama dia mau adakan acara syukuran di rumah ini ... untuk bayi kita," ujar Laudya, melirik Hana dengan sinis.
"Bayi Hana juga, Sayang. Oke, atur saja. Mas setuju apapun itu yang terbaik untuk bayi ini," Laudya mengangguk.
"Aku hari ini ada pemotretan ..." Laudya kembali melirik Hana.
"Jangan nakal di rumah, Mas. Ingat istrimu ... bentar lagi kita punya anak, udah cukup sandiwara ini," ucap Laudya pelan namun terdengar cukup tegas. Hansel tak menjawab selain berjalan menuju ruang makan, dan kedua wanita itu mengikutinya.
Siang itu, Hansel pulang ke rumah setelah rapat pagi, ketiganya Hansel, Hana, dan Jamilah berada di sebuah swalayan dekat rumah. Hana berjalan pelan menyusuri lorong rak, mengambil beberapa kebutuhan pribadi sambil sesekali tersenyum kecil. Pakaian longgar yang ia kenakan menutupi perut buncitnya, membuat orang tak mudah menyadari kondisinya.
Tiba-tiba, sebuah suara familiar menyapa.
“Hana?”
Hana menoleh, di hadapannya berdiri Rayyan, pria muda yang pernah dia kenal saat bertamu ke keluarga besar Malik. Senyumnya ramah, matanya berbinar seolah baru saja menemukan sesuatu yang sudah lama hilang.
“Halo, Tuan Rayyan…” Hana mencoba tenang.
Hansel yang berdiri tak jauh langsung menghentikan langkahnya. Pandangannya tajam, tubuhnya menegang, seolah siap menghadapi ancaman. Rayyan menatap Hana lama, lalu beralih ke arah Jamilah. “Boleh saya tanya sesuatu, Bu? Apa … saya diizinkan untuk lebih dekat dengan Hana? Saya ingin ta’aruf dengannya, dengan cara baik.”
Jamilah kaget, wajahnya pucat. Lidahnya kelu, bingung harus menjawab apa. Namun, sebelum ibunya sempat membuka mulut, Hana sudah menunduk dan menjawab dengan tenang.
“Maaf, Tuan Rayyan. Aku … sudah punya orang lain di hati,"
Rayyan terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Tidak ada orang yang tidak jatuh cinta padamu, Hana. Kamu cantik, kamu lembut … wajar kalau banyak yang tertarik,"
Darah Hansel mendidih. Dari kejauhan ia menggenggam erat troli belanja, rahangnya mengeras. Ia tidak tahan lagi melihat sorot mata Rayyan pada Hana. Dengan langkah cepat ia mendekat, menepuk lengan Hana. “Sudah, ayo kita pulang,” ucapnya singkat, suaranya menahan emosi.
Rayyan yang melihatnya justru menatap heran.
“Hansel, kenapa kamu di sini? Bukannya harusnya di kantor? Kok malah nemenin Bu Jamilah dan Hana belanja?”
Hansel langsung menoleh, tatapannya tajam menusuk.
“Jangan usik hidupku, Rayyan. Fokus saja pada urusanmu sendiri.”
Suasana seketika tegang. Rayyan terdiam, tidak menyangka respon dingin itu keluar dari mulut Hansel. Hansel tidak memberi kesempatan lagi. Ia berbalik, meraih tangan Hana dengan tegas, lalu menggiringnya keluar dari swalayan. Jamilah hanya bisa mengikuti dari belakang, masih terkejut dengan kejadian barusan.
Rayyan berdiri di tempatnya, pandangan matanya dipenuhi kebingungan. Dalam hati ia bertanya-tanya, 'apa sebenarnya hubungan mereka bertiga?'
Suasana di mobil begitu hening setelah pertemuan singkat dengan Rayyan. Hana duduk di kursi penumpang dengan wajah menunduk, masih bisa merasakan genggaman erat Hansel di tangannya yang belum dilepaskan sejak keluar dari swalayan.
Hansel menyetir dengan rahang mengeras, napasnya terdengar berat, matanya lurus menatap jalan. Urat di pelipisnya menegang, jelas sekali ia berusaha menahan amarah yang menggelegak di dalam dadanya.
Sementara itu, di kursi belakang, Jamilah duduk kaku. Matanya bergantian menatap Hana dan Hansel. Ia masih syok dengan sikap Hansel tadi, juga dengan pengakuan tidak langsung Hana pada Rayyan.
Akhirnya, Hansel tak bisa lagi menahan diri. “Kamu kenapa harus jawab begitu, Hana? Kenapa harus bilang sudah ada orang di hatimu?” suaranya berat, penuh desakan.
Hana menoleh cepat, kaget dengan nada itu. “Mas … aku hanya ingin Tuan Rayyan berhenti berharap. Kalau aku diam, dia pasti akan terus mengejar.”
Hansel menekan pedal rem mendadak, mobil berhenti di tepi jalan. Tangannya terlepas dari setir, kini beralih menggenggam tangan Hana lebih kuat.
“Kamu sadar nggak apa yang kamu bilang barusan? Kamu sudah mengakui di depan orang lain … kalau hatimu punya seseorang. Itu bisa jadi masalah besar!” suaranya meninggi, namun matanya menatap Hana dengan luka sekaligus takut kehilangan.
Hana menggigit bibirnya, tak mampu membalas. Matanya berkaca-kaca. “Aku cuma jujur, Mas … hatiku memang sudah terisi, dan orang itu … adalah kamu.”
Hansel terdiam, kata-kata itu menghantam hatinya lebih keras daripada apa pun. Napasnya tercekat, genggamannya di tangan Hana semakin erat. Jamilah yang duduk di belakang sontak menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya melebar, hatinya terguncang mendengar pengakuan itu. Ia baru sadar sejauh apa perasaan anaknya pada menantunya sendiri.
“Hana…” suara Hansel merendah, kali ini bergetar. “Kamu nggak tahu betapa aku … betapa aku takut kehilanganmu. Tadi, lihat Rayyan berdiri di depanmu, tersenyum begitu … rasanya aku ingin langsung menyingkirkannya dari hidupmu.”
Mobil kembali hening. Hanya ada suara napas berat Hansel dan isakan kecil Hana yang tak bisa ditahan. Jamilah akhirnya bersuara, dengan nada pelan tapi tajam. “Astaghfirullah … Hana, Tuan Hansel … kalian … apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian? Jangan buat Ibu tambah terkejut.”
Hansel menoleh lewat kaca spion, sorot matanya bertemu dengan Jamilah. Ia tahu rahasia besar itu sudah terlalu jelas untuk ditutupi. Namun, membisunya Hansel membuat Jamilah dapat mengerti jika anaknya mungkin telah jatuh cinta pada Hansel, dan melanggar janji mereka.
Tiba di rumah, Jamilah segera turun. Setelah menurunkan Jamilah dan Hana, Hansel pergi ke kantor setelah menerima panggilan dari asistennya. Di dalam kamar, Hana terlihat memeriksa belanjaannya.
"Hana," lirih Jamilah, wanita itu tak menoleh tapi hanya mengangguk singkat.
"Apa yang terjadi? Kamu jatuh cinta pada Tuanmu? Pada majikan ibu? Hana ... jawab, ibu!" Jamilah berdiri di depan Hana, wanita itu tertunduk menyembunyikan wajahnya dari sang ibu.
"Hana, jawab ibu." pinta Jamilah lagi, namun masih sama, Hana membisu.
"Hana?! Kau dengar? Jawab ibu! Kau jatuh cinta sama Tuan Hansel, kan?" bentak Jamilah mengguncangkan kedua bahu Hana, dalam diam Hana terisak tak bisa mengatakan apa yang tengah iya rasakan.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊