Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 27
Zia bangkit dari kursi bar dan saat akan pergi dari sana, Azka tiba-tiba memegang tangannya. Sentuhan itu membuat langkah Zia terhenti. Ia menoleh dengan tatapan sedikit heran, alisnya terangkat.
“Ada apa, kak?” ucap Zia, bingung dengan sikap Azka yang tiba-tiba.
Azka menarik napas pelan, lalu menatap Zia dengan raut wajah yang jarang terlihat—sedikit ragu tapi juga tulus. “Maaf… untuk yang kemarin,” ucapnya akhirnya, suaranya terdengar rendah.
Zia hanya diam, menunggu penjelasan.
“kemarin Gue… nggak bisa ngendaliin diri gue, dan tanpa sadar bicara gitu sama lo,” lanjut Azka, kali ini nadanya terdengar benar-benar menyesal.
Zia tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Udah nggak papa, Zia udah maafin Kak Azka kok. Zia juga yang salah… pulang malam kemarin.”
Azka menatap Zia sejenak, seakan ingin memastikan bahwa gadis itu benar-benar tidak menyimpan dendam. Zia kemudian melepaskan genggaman tangan Azka dengan hati-hati, lalu melangkah menuju ruang tamu.
Ruang tamu mansion itu terasa sepi, hanya terdengar suara hujan yang masih menetes deras di luar jendela. Zia duduk di sofa empuk berwarna krem, tangannya memeluk bantal kecil. Ia menatap jam dinding, berharap Aksa segera pulang.
Hatinya masih diliputi rasa khawatir, meski Aksa tadi sempat mengatakan bahwa ia aman di rumah temannya. Bagi Zia, tanggung jawab itu bukan sekadar titipan dari Oma Ririn, tapi juga bentuk rasa peduli.
Sambil menunggu, Zia memainkan ponselnya, mencoba mengalihkan pikiran. Tapi entah kenapa, matanya terus melirik ke arah pintu. Setiap kali mendengar suara kendaraan di luar, ia langsung menegakkan tubuh, berharap itu Aksa
Lalu tak lama terdengar suara motor yang berhenti di depan garasi mansion. Suara itu cukup keras, sampai-sampai Zia yang tadinya sedang fokus memandang layar ponselnya langsung menoleh. Ia mengenali suara itu.
“Pasti Aksa…” gumamnya, nada suaranya terdengar sedikit lega.
Tak lama, pintu utama terbuka. Udara malam yang sedikit dingin ikut masuk bersamaan dengan langkah Aksa yang masuk sambil membawa sebuah kotak kertas berwarna cokelat muda.
“Nih, pesenan lo,” ucap Aksa sambil sedikit mengangkat kotak donat itu, lalu menaruhnya di meja ruang tamu. Jaket yang ia kenakan terlihat basah di bagian bahu dan punggungnya.
“Kamu belum ganti baju?” tanya Zia sambil menatap seragam yang masih menempel di tubuh Aksa. Ada sedikit noda air hujan di ujung celana panjangnya.
“Kan tadi gue langsung pergi,” jawab Aksa sambil menjatuhkan diri ke sofa, seperti orang yang baru saja selesai melakukan perjalanan panjang. Ia menyandarkan punggungnya dan menghela napas dalam-dalam.
Azka yang duduk di sisi lain sofa menoleh. Tatapannya agak ragu, tapi akhirnya ia bicara. “Maaf tadi Abang nggak bisa ngendaliin amarah Abang,” ucapnya sambil menepuk pelan bahu Aksa.
Aksa menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Iya, gak papa. Gue tau Abang khawatir.” Nada suaranya terdengar tulus, tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun.
Untuk mencairkan suasana, Zia segera meraih kotak donat dan membukanya. Aroma manis langsung menyebar ke seluruh ruangan. “Makan donat ini yuk sambil nonton TV,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
“Boleh tuh,” jawab Aksa. Tapi ia belum langsung mengambilnya.
“Tapi kamu ganti baju dulu, takut masuk angin. Aku udah siapin di kamar,” ucap Zia sambil menunjuk ke arah lorong menuju kamar Aksa.
“Oke,” jawab Aksa singkat. Ia bangkit, mengambil jaketnya yang basah, lalu berjalan ke arah kamar.
Begitu Aksa menghilang di balik lorong, suasana di ruang tamu berubah sedikit hening. Azka memiringkan tubuhnya, duduk lebih dekat ke arah Zia. Ia menatap gadis itu dari samping, matanya memperhatikan setiap gerakan Zia saat memilih donat yang akan dimakan.
“Kamu mau?” tanya Zia akhirnya, merasa tatapan Azka terlalu lama tertuju padanya. Ia mengangkat satu donat berlumur coklat, mengulurkannya ke arah Azka.
Bukannya mengambil, Azka justru mencondongkan badan dan menggigit langsung donat itu dari tangan Zia.
Refleks Zia membelalakkan mata. “Eh?!” ucapnya kaget, tangannya langsung ditarik sedikit. Pipinya memanas tanpa ia sadari.
Senyum tipis muncul di bibir Azka, tapi ia tak mengatakan apa-apa.
Di detik berikutnya, suara seseorang terdengar dari arah belakang mereka. “Ehem…” suara itu berat, seperti ingin memberi isyarat bahwa ia melihat sesuatu yang tak seharusnya.
Zia dan Azka sama-sama menoleh. Ternyata Aksa sudah berdiri di sana, kini memakai hoodie hitam dan celana pendek. Rambutnya masih sedikit basah, tanda ia baru saja mencuci muka atau mengibas air dari kepalanya.
Tatapan Aksa bergeser dari Zia ke Azka. Ada sedikit ketegangan di matanya, tapi ia tetap berjalan mendekat.
“Gue nggak tau kalian sedeket itu,” ucap Aksa sambil mengambil donat dari kotak, lalu duduk di sofa sebelah Zia.
Zia yang merasa suasana mulai aneh, buru-buru mencoba mencairkan keadaan. “Eh… ini cuma gak sengaja, Lagian donatnya enak banget, jadi—”
"iya gue tau, gak usah tenggang juga kali."
"aku nggak tegang kok." ucap Zia
Mereka pun duduk bertiga di ruang tamu. TV menyala menayangkan acara komedi yang cukup kocak. Sesekali Zia tertawa sampai memegangi perut, dan Aksa ikut terbahak melihat ekspresinya. Azka sendiri hanya tersenyum tipis, matanya lebih sering memperhatikan kedua orang itu daripada acara TV.
“Eh liat tuh! Lucu banget!” seru Zia sambil menunjuk layar.
Aksa mencondongkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas. “dia langganan kepeleset” komentarnya, membuat Zia tertawa lagi.
Azka menatap mereka, lalu ikut tertawa kecil meski tak sepenuhnya paham bagian mana yang lucu. Suasana jadi hangat, seolah ketegangan kemarin benar-benar sudah hilang.
Setelah beberapa menit, Aksa tiba-tiba bersandar dan berkata, “Eh, gimana kalau besok kita liburan ke pantai? Mumpung hari Minggu.”
Zia langsung menoleh dengan mata berbinar. “Serius? Udah lama banget aku nggak ke pantai.”
Azka sedikit mengernyit. “Pantai? Pagi-pagi banget perginya”
“Iya dong,” jawab Aksa santai. “Biar dapet sunrise. Kita berangkat subuh.”
Zia langsung mengangguk cepat. “Setuju! Pasti seru.”
Azka hanya menghela napas, tapi sudut bibirnya terangkat tipis. “Ya udah, terserah kalian. Gue ikut aja.”
Aksa tersenyum puas. “Sip! Besok siap-siap ya. Jangan ada yang bangun kesiangan.”
Mereka kembali menikmati donat sambil menonton TV. Suasana malam itu terasa berbeda—hangat, akrab, dan tanpa rasa canggung. Bahkan Azka yang biasanya pendiam, kali ini lebih banyak tersenyum.
Zia diam-diam merasa bersyukur. Setidaknya, untuk malam ini, tidak ada kemarahan atau teguran. Hanya tawa yang mengisi ruang tamu mansion itu.
★
...I've been looking for another man who can replace you, but I just realized that the winner is only you"I've been looking for another man who can replace you, but I just realized that the winner is only you"...
...★...
...babay~...