Lama menghilang bak tertelan bumi, rupanya Jesica, janda dari Bastian itu, kini dipersunting oleh pengusaha matang bernama Rasyid Faturahman.
Sama-sama bertemu dalam keadaan terpuruk di Madinah, Jesica mau menerima tunangan dari Rasyid. Hingga, tak ingin menunggu lama. Hanya berselisih 1 minggu, Rasyid mengitbah Jesica dipelataran Masjidil Haram.
Namun, siapa sangka jika Jesica hanya dijadikan Rasyid sebagai yang kedua.
Rasyid berhasil merobohkan dinding kepercayaan Jesica, dengan pemalsuan jatidiri yang sesungguhnya.
"Aku terpaksa menikahi Jesica, supaya dia dapat memberikan kita putra, Andini!" tekan Rasyid Faturahman.
"Aku tidak rela kamu madu, Mas!" Andini Maysaroh.
*
*
Lagi-lagi, Jesica kembali ketanah Surabaya. Tanah yang tak pernah ingin ia injak semenjak kejadian masa lalunya. Namun, takdir kembali membawanya kesana.
Pergi dalam keadaan berbadan dua, takdir malah mempertemukanya dengan seorang putra Kiyai. Pria yang pernah mengaguminya waktu lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Dan kini, mereka bertiga sudah duduk dilesehan karpet luas. Jesica ingin bercerita, namun ia kembali menatap Yusuf seakan canggung dengan kehadiran pria itu.
Umi Khadijah paham akan hal itu. Ia kini menatap Yusuf, memberi isyarat putranya untuk menyingkir terlebih dulu.
Yusuf mendesah dalam, lalu segera bangkit dari sana. Pria tampan itu, kini beranjak menuju kamarnya untuk membersihkan diri.
"Nak, apa yang sebetulnya terjadi? Mengapa kamu pergi membawa koper?" Umi Khadijah masih terlihat bingung saat ini.
"Umi, maaf sebelumnya. Tadi saya tidak sengaja bertemu putranya Umi, sewaktu saya hampir saja tertabrak olehnya!" kata Jesica mengingat kejadian tadi.
Umi Khadijah tersentak. Refleknya, ia langsung memegang lengan Jesica, "Apa ada yang terluka, Nak? Ya Allah ... Umi minta maaf atas ulah Yusuf!"
Jesica tersenyum, "Nggak papa, Umi! Putra Umi juga sudah berbaik hati membawa saya ke sini. Karena jujur saja, saya ...." Jesica tiba-tiba menjeda ucapanya beberapa detik, begitu wajahnya kini tertunduk menjadi sendu.
"Apa yang terjadi, Nak? Bilang saja sama Umi!" Umi Khadijah merasa tidak enak hati. Ia kembali melirik kearah koper Jesica yang masih berdiri menantang disebrang tempatnya. Pasti ... Ada sesuatu yang menyebabkan wanita blesteran itu pergi.
"Umi ...." Jesica perlahan mengangkat pandanganya sambil mengerjab. Kedua netranya memanas seketika. Ia menggapai tangan Umi Khadijah, "Jesica terpaksa pergi dari rumah suami Jesica. Umi ... Saat ini saya telah megandung! Saya terpaksa pergi, sebab ...."
Jesica mulai menceritakan semuanya dengan rinci, dan tak ada yang ia tutupi lagi. Dan Ia juga meminta tolong kepada pihak pesantren, supaya menjaga rahasia keberadaanya.
Umi Khadijah tersentak kedua kalinya. Ia menutup mulutnya dengan dua tangan. Malang sekali nasib wanita didepanya kini. Dulu, Umi Khadijah saksi perjuangan Jesica ketika wanita cantik itu memantabkan diri mengikuti agama yang sama dengannya. Namun begitu, ia hanya diacuhkan suaminya yang dulu. Dan kini, untuk kedua kalinya Jesica harus menelan pit pahit yang tak berkesudahan.
Umi Khadijah langsung memeluk tubuh lemah Jesica begitu wanita cantik itu terisak dalam tangisnya.
"Nak, yang sabar ya! Umi doakan, semoga kamu kuat menjalani ujianmu ini! Dan, jangan berlarut dalam kesedihanmu, karena ada janin yang harus kamu pikirkan!" suara lembut sang Umi benar-benat sedikit menenangkan perasaan Jesica.
Baru saja Yusuf keluar dari dalam, namun ia urungkan lagi. Netranya menatap kearah Jesica, yang saat ini menangis pilu sambil mengusap kembali perutnya. Hal itu semakin membuat Yusuf penasaran setengah mati.
"Umi, bolehkan Jesica tinggal di pesantren Umi? Mungkin, nanti setelah Jesica menemukan perumahan yang pas, baru Jesica akan pindah!" lirih Jesica menatap dengan sorot mata memohon.
"Jangan pindah, Nak! Rumah ini terlalu besar jika hanya untuk Umi dan Abah tempati sendiri." tolak Umi khadijah melarang.
"Lalu, bagaimana dengan putra putri Umi? Jesica nggak papa jika harus tinggal bersama santriwati lainnya Umi! Saya nggak enak dengan anak Umi," Jesica tidak ingin merepotkan wanita sebaik Umi Khadijah.
"Anak Umi cuma dua, Nak! Huda dan adiknya~Yusuf. Huda tinggal di Surabaya, sudah memiliki kediaman sendiri. Sementara Yusuf, anak itu paling lama tinggal cuma 2 minggu, lamanya 1 bulan! Dan, Umi dan Abahmu hanya tinggal sendiri di rumah ini. Dengan kehadiranmu ... Umi akan anggap itu sebuah anugrah dari Allah, karena sudah menurunkan seorang putri cantik. Anggap saja kami ini sebagai keluargamu, Nak! Jangan pernah merasa sendiri, ya!" Umi Khadijah kembali merengkuh pundak Jesica.
Jesica semakin terisak. Disaat ia kini jauh dari orang tuanya, ia masih dipertemukan dengan beberapa orang baik.
*
*
Kediaman Faturahman siang ini digemparkan dengan kepergian Jesica siang ini.
Setelah kedatangan Rasyid kesana bersama Tuan Gio untuk mengecek CCTV dan memang benar, sebelum Jesica bersitegang dengan Andini, wanita hamil itu sudah mendengar semua percakapan suami dan mertuanya.
Bik Ulfa yang sedang menemani Oma menikmati santai didepan televisi, kini tampak termenung memikirkan nasib istri muda Tuan Mudanya.
Melihat Bu Hilma yang baru saja turun dari tangga, sudah rapi sambil menjinjing tas bermerknya, kini Bik Ulfa sontak bangkit. "Maaf, Nyonya ... Apa Non Jesica sudah ketemu? Saya turut prihatin," ucapnya mantap sang Majikan.
Bu Hilma dua langkah lebih dekat. Ia menatap mertuanya sekilas, yang kini tampak asik menyulam kain. "Ingat Ulfa! Jangan beritahu wanita tua itu, jika Jesica pergi. Saya sudah pusing, dan jangan biarkan wanita tua itu menambah beban pikiran saya! Heh ...." tekannya seraya mendesah kasar.
Setelah itu Bu Hilma melanjutkan jalannya kembali. Siang ini ia harus mengurus butiknya, karena Bu Hilma mengelola bisnisnya pada fashion, terutama mendesain busana.
Butik megah itu, ia beri nama~Hilma Butik~
Dulunya, mendesain itu menjadi pelampiasan, mana kala keadilan tidak berlaku untuknya. Semenjak terang-terangan Tuan Gio menolak perjodohan dengannya, namun Bu Hilma tetap menang, karena pada saat itu Mertuanya-Tuan Faturahman memaksa putranya untuk tetap menikah.
Hingga, ujian pahit menimpa rumah tangganya. Sudah dicampakan, dan lagi ia di vonis tidak akan dapat memiliki anak, karena kandunganya telah diangkat.
Dan dengan mendesain itu, Bu Hilma hingga dapat mendirikan Butik megah itu hingga sukses. Akan tetapi, semua yang terjadi tidak luput dari sokongan mertuanya, dan juga orang tuanya dulu.
Bu Hilma menjatuhkan tubuhnya diatas kursi ruangan pribadinya. Ia benar-benar pusing menghadapi rumah tangga putranya-Rasyid.
'Dimana perginya anak itu?! Sejujurnya ada baiknya juga dia pergi, karena dengan begitu Rasyid akan terpuruk menderita. Dan dengan itu, Fatiya juga akan meratap melihat putranya hancur perlahan!' Bu Hilma menarik sudut bibirnya, mengulas senyum sinis setipis mungkin.
'Semua tekanan, hancur, menderita, sudah aku rasakan pada saat dulu. Dan sekarang, putramu yang akan menuai rasa sakit hatiku, Fatiya! Kamu jangan merasa bahagia dulu, jika pada kenyatanya ... Kamulah sebab bencana itu!'
Ceklek!
"Maaf, Bu Hilma. Anda di tunggu seseorang di bawah. Namanya, Bu Fatiya!" ucap Karyawan Hilma begitu membuka pintu.
"Suruh dia keatas, Rina!"
Karyawan itu turun kembali, untuk meberitahu tamu Bosnya.
"Mari, Bu saya antar ke ruangan Bu Hilma!" Rina mengarahkan tanganya keatas, dan berjalan terlebih dahulu.
Bu Fatiya dengan wajah datarnya, hanya mengikuti langkah kaki gadis muda itu, hingga mereka berdua tiba diruangan Hilma.
Bu Hilma juga bangkit, begitu melihat madunya sudah masuk kedalam ruangannya. Sama-sama bersikap dingin, kini Bu Hilma membuka suara, "Ada perlu apa kamu datang kesini?"
"Aku yakin, gara-gara tuntutanmu yang tidak bermutu itu, menantuku jadi pergi dari rumah! Sekarang, sudah puaskah kamu melihat Rasyid menderita?!" sentak Bu Fatiya sambil menuding kearah madunya.
Bu Hilma tersenyum remeh. Ia bersedekap dada, sambil beranjak dibalik meja kerjanya.
"Benar! Aku hanya menjadikan putramu sebagai bahan balas dendamku padamu, Fatiya! Aku tidak terima, kamu merebut Mas Gio dariku!" tekan Bu Hilma melempar tatapan tajam.
"Mimpi apa kamu, Hilma! Aku bukan wanita murahan, yang tega menghalalkan segala cara sepertimu! Perlu kamu garis bawahi, bahwa dulu ... Aku dan Mas Gio sudah akan menikah! Namun, karena kesirikan keluargamu, hingga mertuaku menentang pernikahan kita, dan menjodohkan mas Gio padamu! Biar mata dunia terbuka, jika kamulah PELAKOR yang sesungguhnya! Apa kamu tidak merasa terhina ... Karena Mas Gio tidak pernah menyentuhmu sama sekali?!"
"FATIYA ... LANCANG SEKALI KAMU?!!!" Bu Hilma berniat untuk menampar wajah Bu Fatiya, namun dicegah oleh tangan Bu Fatiya sendiri.
"Aku tidak akan membiarkan kamu menang untuk kali ini, Hilma!" Bu Fatiya dengan cepat mendorong tangan Bu Hilma, hingga tubuhnya terhuyung kebelakang.
"Dan satu lagi ... Aku kira, kamu sudah berdamai dengan karmamu sendiri! Namun apa, kau malah semakin menjadi, hingga merenggut kebahagiaan putraku ... Demi ambisi gilamu itu!"
Setelah mengatakan itu, Bu Fatiya langsung melenggang keluar begitu saja.
Sementara Bu Hilma ... Kini wajahnya memerah, merasa kalah telak menghadapi madunya itu. Kedua tanganya terkepal kuat, hingga rahangnya tampal menggeretak. Sorot matanya penuh kobaran api yang menyala. Kali ini, emosinya benar-benar tak terkendali.
***
jangan lupa mampir dan react balik yaaa. thank you