Seorang wanita miskin bernama Kirana secara tidak sengaja mengandung anak dari Tuan Muda Alvaro, pria tampan, dingin, dan pewaris keluarga konglomerat yang kejam dan sudah memiliki tunangan.
Peristiwa itu terjadi saat Kirana dipaksa menggantikan posisi anak majikannya dalam sebuah pesta elite yang berujung tragedi. Kirana pun dibuang, dihina, dan dianggap wanita murahan.
Namun, takdir berkata lain. Saat Alvaro mengetahui Kirana mengandung anaknya. Keduanya pun menikah di atas kertas surat perjanjian.
Apa yang akan terjadi kepada Kirana selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 - Hanya bayangan
Pagi itu cahaya matahari masuk melalui tirai tipis, memberi kehangatan pada kamar yang masih terasa tenang. Kirana bangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, memperhatikan Alvaro yang baru saja selesai merapikan kemejanya di depan cermin.
Sejak tadi, pertanyaan itu mengganjal di benaknya. Semalam ia mendengar sesuatu yang membuatnya penasaran.
Ragu, akhirnya ia membuka suara.
“Alvaro… " Serunya.
"semalam, kamu mengigau.”
Alvaro yang sedang mengenakan jam tangannya terhenti sejenak, lalu menoleh sekilas. “Mengigau?” suaranya datar, sebelah alisnya terangkat ke atas.
Kirana mengangguk, “Kamu menyebut nama… Elena. Siapa dia?” tanya Kirana.
Alvaro langsung menegang saat mendengar nama itu disebutkan oleh Kirana. Tatapannya berubah dingin. Ia berdiri tegak, meraih jasnya dengan gerakan kasar.
“Itu bukan urusanmu.”
Kirana terdiam, matanya membulat kaget dengan nada tajam yang keluar dari bibir pria itu. Ia mencoba menjelaskan, suaranya lirih.
“Aku hanya ingin tahu… aku pikir—”
Alvaro langsung menyela, dengan suara meninggi.
“Aku bilang, jangan campuri urusan yang bukan bagianmu! Kirana!”
Kirana terdiam, jemarinya mengepal di atas lutut. Hatinya terasa perih, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis.
Alvaro menatapnya sebentar—ada sesuatu yang bergejolak di matanya, entah amarah atau justru rasa sakit—namun ia segera berbalik, melangkah keluar kamar dengan langkah lebar meninggalkan Kirana disana.
Pintu tertutup keras.
Kirana hanya bisa duduk sendiri di tepi ranjang, terdiam.
“Kenapa… kamu marah, Alvaro?” lirih Kirana.
...----------------...
Ruang kerja Alvaro pagi itu dipenuhi cahaya matahari yang masuk dari jendela besar. Namun suasana di dalam terasa suram. Pria itu berdiri di depan meja kerjanya, jas masih tersampir di kursi, kemeja putihnya terbuka dua kancing seolah ia tidak peduli pada kerapian.
Tangannya menggenggam gelas berisi whisky—padahal masih pagi. Cairan itu hanya disentuh bibirnya sebentar lalu diletakkan kembali dengan kasar di atas meja.
Ia menarik napas panjang, menatap kosong pada bingkai foto yang terselip di laci kecil, hanya setengah terlihat. Gambar seorang wanita tersenyum samar—wajah dari masa lalunya. Elena.
“Elena… sampai kapan bayanganmu menghantui aku?” gumam Alvaro lirih.
Ia menutup wajahnya dengan satu tangan. Ingatan lama datang begitu saja—saat-saat penuh amarah, kehilangan, dan rasa bersalah yang tidak pernah benar-benar hilang dalam ingatannya.
Tadi pagi, saat Kirana menyebut nama itu… hatinya seolah ditusuk. Bukan karena Kirana bersalah, tapi karena ia sendiri belum bisa berdamai dengan masa lalu.
Alvaro mendesis, suaranya serak.
“Aku bahkan tidak bisa mengucapkan namamu tanpa rasa sakit… lalu bagaimana aku harus menjelaskan pada dia?” ucapnya putus asa.
Ia menepis foto itu dengan kasar, membuat bingkai terjatuh ke lantai. Gelas whisky di tangannya pun ikut terguncang, sebagian isinya tumpah.
Alvaro berdiri kaku, matanya memerah, lalu menutup rapat kedua kelopak matanya. Wajah dingin yang biasa ia tunjukkan di depan semua orang seakan runtuh ketika sendirian.
Hening.......Yang tersisa hanya suara napasnya yang berat.
Tiba-tiba. Pintu ruang kerja berderit pelan. Clarissa masuk tanpa mengetuk, seolah sudah terbiasa merasa berhak. Matanya langsung menangkap pemandangan: bingkai foto terjatuh di lantai, minuman berantakan di meja, dan Alvaro yang berdiri dengan wajah muram, dan kemeja acak-acakan.
Alvaro menoleh sekilas, wajahnya dingin kembali, berusaha menutupi kekacauan batinnya.
“Kau tidak tahu cara mengetuk, Clarissa?” ujar Alvaro dingin.
Clarissa tersenyum tipis, langkahnya pelan mendekat.
“Bagaimana aku bisa mengetuk, kalau aku melihatmu seperti ini? Kau… kacau, Alvaro. Aku khawatir.”
Ia menunduk, memungut bingkai foto yang jatuh. Clarissa menatap sebentar gambar wanita di dalamnya, lalu menaruh kembali di meja dengan hati-hati. Ada kilatan cemburu di matanya, tapi cepat ia sembunyikan dengan ekspresi iba.
“Kau tidak perlu menyiksa dirimu seperti ini. Aku ada di sini untukmu. Aku bisa jadi tempat kau bersandar, kalau kau mau…” ucap Clarissa dengan suara lembut dibuat-buat.
“Jangan pernah mencoba menggantikan siapa pun di hidupku, Clarissa. Kau tidak mengerti apa pun.” tegas Alvaro dingin.
Clarissa terdiam sejenak, tapi matanya menyala dengan kilat ambisi. Ia mendekat satu langkah, lalu menunduk sedikit seakan ingin menyentuh lengan Alvaro, namun pria itu segera menjauh, menolak sentuhan itu.
Clarissa pura-pura terluka oleh sikap Alvaro.
“Kau selalu menolakku… sampai kapan? Apakah karena perempuan itu? Kirana?” terka Clarissa.
Ucapan itu membuat atmosfer ruangan semakin tegang. Alvaro menoleh tajam, sorot matanya seperti pisau.
“Keluar, Clarissa. Sekarang. Siapa pun yang ada di hatiku, itu bukan urusanmu.”
Suara itu rendah, tapi penuh ancaman. Clarissa tahu ia tidak bisa memaksa lebih jauh.
Clarissa menahan napasnya ketika tatapan Alvaro menusuk begitu tajam. Ruang kerja itu hening, hanya terdengar detak jam dinding yang lambat seakan ikut menekan suasana.
“Dengarkan baik-baik, Clarissa. Sejak awal aku tidak pernah menjanjikan apa pun padamu. Kau hanyalah… tunangan pura-pura. Peranmu ada hanya untuk menutup mata semua orang, supaya mereka percaya aku punya arah hidup. Sementara tujuan sebenarnya…” ucap Alvaro dingin, namun getir.
Ia berhenti sejenak, menelan emosinya yang mendesak ke tenggorokan. Tatapannya melayang ke arah bingkai foto yang baru saja diangkat Clarissa. Sorot matanya meredup, getir, penuh kehilangan.
“Aku tidak pernah ingin memiliki wanita lain. Aku hanya ingin Elena. Dia satu-satunya… dan tidak ada yang bisa menggantikannya.”
Kata-kata itu menghantam Clarissa seperti cambuk. Wajahnya menegang, jemarinya mencengkeram erat sisi gaunnya. Meski ia mencoba tersenyum tipis, matanya bergetar tak mampu menutupi rasa tersinggung dan marah yang membara.
Clarissa menjawab pelan, hampir berbisik, “Jadi… aku selama ini hanya bayangan? Sekadar alat?” ada perasaan kecewa yang sulit ia ungkapkan.
Alvaro menatapnya lurus, tanpa ragu.
“Ya. Dan jangan pernah lupa itu. Jangan pernah mencoba melewati batas. Tempatmu… hanya sampai di sana.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Clarissa tersenyum tipis, getir, kali ini dingin dan menusuk, sebelum akhirnya ia melangkah mundur. Namun sebelum pergi, ia sempat menoleh sekali lagi, menatap Alvaro dengan sorot mata penuh dendam yang tak tersamarkan.
“Kalau Elena yang kau cintai… maka Kirana hanyalah penghalang. Dan aku akan memastikan dia tidak bertahan lama di sisimu.” ucap Clarissa getir di dalam hati.
Clarissa pun meninggalkan ruangan dengan langkah anggun namun penuh bara, sementara Alvaro menunduk lagi ke meja, kedua tangannya menutupi wajah. Luka masa lalunya kembali terbuka, dan nama itu… Elena… terus menghantui dirinya.
.
.
.
Bersambung.