"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Toilet sebagai saksi.
‘I love you too, Sora.’
Kalimat itu kembali terngiang dalam benak Sora yang sedang bermain badminton di lapangan. Dia tidak bisa fokus. Padahal di seberang sudah ada Julian yang siap-siap mengalahkan dirinya. Ngomong-ngomong, kalau Sora yang kalah, mereka belum membahas apa ganjarannya. Namun perempuan itu yakin dia akan bisa mengalahkan Julian.
“Huuuuu.” Sorakan penonton terdengar karena barusan Sora kembali gagal menangkis kok yang barusan melintasi net. Benda putih itu terjatuh tepat di depan kakinya. Setidaknya itu sudah terjadi empat kali.
“What happened, Ibu Sora? Come on! Performa lo nggak sebaik tadi malam.” Fabian memberi support dari sisi lapangan.
Sora tertawa sambil menggeleng. Kacau! Sejak tadi wajah Tama dan semua yang terjadi tadi siang mengganggu konsentrasinya. Mimpi yang terasa nyata, wajah tampan Tama, aroma tubuhnya dan tak ketinggalan, ciuman mereka.
Sshhh, Sora menyesal sudah membuat laki-laki itu marah akibat pertanyaannya yang sedikit kelewatan. Karena setelah itu, Tama benar-benar diam sampai mereka tiba di kantor. Bahkan tidak menunggunya turun dari mobil agar masuk bareng ke dalam gedung. Dia sungguh marah.
“Ra, yakin masih sanggup? Kalau lo kalah taruhannya nggak main-main loh.” Julian berjalan mendekati net dan berbicara sebentar.
“Apaan, Jul, taruhannya?” Axel kepo. Laki-laki yang duduk di tribun itu ingin tau ganjaran yang akan diterima Sora kalau dia kalah. Senada dengan dirinya, Kayla, Jo, Friska dan yang lainnya ternyata ikut penasaran juga.
“Kalau gue kalah, gue akan traktir dia selama yang dia mau. Tapi kalau dia yang kalah...” Julian berhenti sebentar seperti mendramatisir. Di depannya ada Sora yang ikut mendengar dari jarak yang tidak terlalu jauh.
“Dia harus jadi pacar gue selama satu bulan.” Julian berucap dengan lantang sambil tersenyum usil. Melihat itu Sora berkacak pinggang karena speechless. Sebenarnya dia sudah bisa menebak ini sih.
“Haaaaaaaaa!!” Semua orang bersorak.
“AYO SORA! KALAH MENANG DUA-DUANYA TETAP ENAK!” Friska dengan semangat berteriak. Maksudnya, kalah menang Sora akan tetap bersama Julian.
“Benar, Ra! Nggak ada ruginya!” Kayla menambahi. Menggoda Sora adalah kesenangan tersendiri bagi perempuan itu. Ingat 'kan slogannya? Dia akan mendukung Sora dengan siapapun, asal sang sahabat bahagia.
Julian tertawa senang mendengar seru-seruan mereka sambil menatap Sora yang berdiri kebingungan. Perempuan itu menggaruk leher, salah tingkah.
“Gue kebelet pipis. Boleh ke toilet bentar nggak? Habis ini gue akan pastikan bisa main dengan baik!” Rasa grogi sepertinya berdampak pada kandung kemih Sora yang mendadak penuh. Apa karna tidak ikhlas kalau dia kalah?
“Huuuuuuuu.” Teman-temannya bersorak. Tapi Sora sudah tidak tahan. Dia berlari ke tepi dan meletakkan raketnya di kursi khusus pemain. Julian juga ikut menepi dan mengambil botol minuman yang sudah tersedia.
Sesampainya di luar, Sora langsung berlari mencari kamar mandi yang seingatnya tidak jauh dari gedung aula. Dia harus gerak cepat. Jangan sampai berlama-lama dan menimbulkan kecurigaan bagi yang lain.
Setelah ketemu, dia masuk ke salah satu bilik dan menuntaskan tujuannya. Ahhhh, legaa. Sekarang dia sudah jauh lebih tenang. Setelah ini dia yakin akan bisa mengalahkan Julian. Semoga saja bayang-bayang Tama tidak menghantuinya lagi. Dia tidak mau kalah! Huftt!
Sora keluar dari bilik dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Namun alangkah terkejutnya dia saat mendapati pintu kamar mandi sudah tertutup dan kini dia tidak sendirian di dalam sana.
“Astaga! L—lo!” Sora kaget bukan main.
Tama?!
Ngapain dia ada di sini? Bukankah dia seharusnya mengantar Giselle? Dan… dan ngapain masuk ke kamar mandi perempuan?
Tama yang tadinya bersandar di pintu, bergerak mendekati Sora. Perempuan itu sama sekali tidak menjauh atau sejenisnya.
“Lo tau apa yang harus lo lakukan, Ra. Atau gue akan patahin tangan lo sekalian, supaya lo nggak perlu main badminton sialan ini.”
Napas Sora tercekat. Maksudnya apa? Kenapa Tama menatapnya dengan kesal seperti ini? Ah sial! Sora kembali mengingat mimpi aneh itu. Tolong enyahlah!
“Maksud lo apa?” Sora memang tidak mengerti.
“Lo harus menang dari Julian. Kalau sampai lo kalah, lo akan tau akibatnya.”
Glek! Tama tau tentang taruhan itu? How? Apa dia ada di dalam aula tadi? Tapi kenapa Sora tidak melihatnya di tempat duduk manapun? Eh… lupakan itu. Karena sekarang Sora mendadak panas dingin karena Tama meletakkan satu tangan di atas kepalanya. Seperti gestur memberi restu untuk apa yang akan dia lakukan nanti. Lidah Sora tentu saja berubah kelu.
“Ngerti?” Tama kembali menekankan.
“Lo… nggak ngantar Giselle pulang? Kenapa ada di sini?” Sora malah membahas hal lain. Dia gugup. Padahal seharusnya dia punya power lebih untuk menentang Tama. Namun sampai sekarang tangan laki-laki itu belum meninggalkan kepalanya. Seluruh energinya seakan diserap tangan besar itu.
“Urusan kita belum selesai.” Tama menurunkan tangannya dan berpindah ke dagu lancip Sora. “Pulang bareng gue malam ini. Tapi pastikan lo ngalahin si brengsek itu.”
Sisanya Sora tidak mengingat apa-apa lagi karena ciuman Tama langsung mendarat di bibirnya yang sejak tadi sedikit terbuka. Tidak tanggung-tanggung, pinggangnya ditarik dan dipeluk begitu erat hingga Sora merasa sesak.
Pelukan itu terasa begitu posesif. Kedua telapak tangan Tama menyusuri punggungnya naik dan turun. Membuat ciuman itu semakin panas. Dan setelah empat bulan lamanya, baru kali ini Sora berkenan membalas ciuman dari Tama. Bahkan kedua tangannya dengan tidak tau diri melingkari leher laki-laki itu.
Rasa ini terlalu membakar. Seluruh sel-sel darah Sora seakan naik ke seluruh wajah. Sekarang permukaan kulit itu berubah merah dan panas. Tama bisa merasakannya. Karena diapun sedang mengalami hal yang sama.
Akhirnya… Sora tidak menolak ciuman itu, seperti yang sudah-sudah. Tama sangat bahagia. Rindunya sedikit terobati. Tama berharap ini bukanlah sebuah mimpi.
"Gue kangen lo, Ra. Kangen banget." Tama menggumam di sela-sela ciuman mereka.
Hampir dua menit ciuman panas itu berlangsung dengan sangat maksimal. Seperti Tama dan Sora yang dulu. Yang sama-sama napsuan dan bergairah. Tapi, setelah Sora tersadar, dia menepuk pundak Tama dan meminta laki-laki itu berhenti menarik bibirnya.
Napas yang tersengal, kedua pasang mata yang sama-sama berkabut, adalah tanda kalau ciuman ini bukanlah ciuman biasa. Ada dua hati yang tarik menarik saling melepas rindu. Mungkin juga saling menyampaikan cinta yang tak pernah terungkap. Karena, sekalipun Tama melepaskan tautan bibir mereka, dada Sora masih menempel di dadanya.
“Lo gila, Tam!” Sora kalang kabut karena merasa berdosa pada Giselle. Kenapa dia bisa terlena?
“Lo yang gila. Lo masih utang maaf atas omongan lo tadi siang. Lo kira gue mau dengan mudahnya tidur dengan semua perempuan?” Tama berucap serius. Sora refleks menyentuh kening yang barusan dia sentil. Benar ‘kan? Tama tersinggung dengan tuduhan yang tidak beralasan.
“Sori. Gue nggak bermaksud.” Sora menundukkan kepala. “By the way, gue harus balik ke aula.” Ingin menghindari obrolan serius yang sepertinya sudah dirancang oleh Tama. Takut baper tapi berujung sakit. Namun laki-laki itu masih mengunci pinggangnya dengan kuat.
“Malam ini balik apartemen. Ini perintah.”
Permintaan yang terkesan sangat posesif itu lagi-lagi membuat seluruh darah Sora berdesir hebat. Kali ini hatinya mendua. Antara tersanjung, atau akan tetap menutup diri. Suara berat Tama bagaikan alunan musik yang berhasil merasuk ke dalam gendang telinganya dan turun sampai ke hati.
“Lo mau apa sih, Tammmmm?” Sora balik bertanya dengan suara yang begitu pelan. Tatapan laki-laki itu seperti menghipnotis dirinya.
“Gue mau lo, Sora.”
“Mau gue untuk apa? Lo mau tidur sama gue lagi? Giselle lo kemanain?” Entah ini pertanyaan untuk menolak perintah, atau memang penasaran akan maksud Tama yang sebenarnya. Kenapa mimpi tadi jadi terasa semakin nyata dengan sikap pria itu sekarang?
“Nggak ada penolakan. Kalau malam ini lo masih pulang ke rumah Kayla, gue akan jemput lo sendiri ke sana. Paham?”
“Posesif nggak jelas. Udah nggak jaman, Tam!” tolak Sora tidak suka. Untuk apa sih Tama bersikap seperti ini? Membuat Sora galau saja. Giselle mau dia kemanakan?
“Nggak jelas ? Kurang jelas apa pengakuan gue ke elo tadi siang?”
Kedua mata Sora membuka lebar. “Ma—maksud lo?”
“I love you too… Sora. Lo sama sekali nggak dengar?” Dahi laki-laki itu berkerut. Apakah tadi Sora tidak mendengarnya? Ah, pantas saja sikapnya masih jutek setelah dia bangun. Jangan-jangan dia tidak mengingat apapun, karena memang dia lagi setengah sadar.
“Jadi… tadi itu… gue nggak lagi mimpi?”
Benar ‘kan? Tama mengusap wajahnya frustasi. “Ya ampun. Pantesan habis bangun lo masih jutek aja. Jadi, apa aja yang lo ingat? Jangan bilang kalau gue udah sia-sia ngucapin kata-kata manis yang begitu panjang.” Dirga menunjukkan raut wajah kesal.
Sora berusaha mengingat semuanya, tapi tidak berhasil. Dia menggeleng. “Hanya yang terakhir aja,” jawabnya. “Memangnya, lo bilang apa lagi, Tam?”
“Penasaran?”
“Nggg… dikit," jawab Sora ragu.
“Gue akan kasih tau kalau lo balik apartemen.”
"Tam!" Sora tidak puas.
"Apa, sayangku?"
Blush!
***