Sebuah kisah cinta rumit dan menimbulkan banyak pertanyaan yang dapat menyesakan hari nurani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ericka Kano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa lagi yang akan bersuara (2018)
2018 akhir adalah tahun paling buruk dalam sejarah marketing cabang kami. Ide Bu Tri untuk kerjasama sekolah tidak berjalan mulus. Karena tahun di tahun 2014 Bu Tri melakukan kegiatan marketing over budget maka empat tahun berturut-turut budget business plan kami tidak di ACC pusat berdasarkan pengajuan, melainkan di bawah angka pengajuan. Akibatnya kami harus berpikir keras mengadakan kegiatan marketing dengan budget sangat pas-pasan. Hasilnya pun sangat tidak maksimal. Bukannya naik, perolehan kami semakin menurun.
Aku memegang kepalaku usai membaca data penerimaan dari Stella dan laporan resume marketing dari Riva.
"Kacau. Kita sangat kacau sekarang," gumam ku
"Laporan kantor cabang lebih kacau, Bu. Tadi telpon-telponan dengan Millytia katanya setengah lebih jumlah keras mereka sebenarnya tidak khoroum dan pembayaran menunggak," lugas Stella
"Kegiatan marketing kantor cabang juga makin hari makin kurang, Bu. Minggu lalu saja mereka hanya kegiatan di satu sekolah, itu pun tidak maksimal karena cuma dapat kelas minor," Riva menambahkan
Hhmm, aku membuang napas kesal.
"Tahun ini kita terancam tidak dapat dana marketing kalau pencapaian kita kacau begini. Kalau tidak ada dana marketing, lalu kita akan berkegiatan pake apa," keluhku
"Dari Bu Tri sendiri gimana, Bu?," tanya Riva
Aku menggelengkan kepala,
"Sulit. Dia itu keras kepala. Dia hanya mau kita mengerjakan apa yang dia inginkan. Dia gak mau dengar masukan. Dia gak pernah mau ikut business plan,"
"Kenapa sih Bu, harus si Ibu Dora itu yang jadi kepala cabang kita," keluh Stella
"Yah mau gimana, orang pusat yang tunjuk," lanjut ku, "Gimana penagihan di sekolah, La?,"
"Kurang lancar, Bu seperti di laporan itu. Susah nagihnya. Aku harus ke sekolah berulang kali," jawab Stella
"Trus hari ini siapa yang ke sekolah untuk nagih?," tanyaku
"Yuli udah kasian mungkin Bu sama saya, jadi dia menawarkan diri untuk melakukan penagihan," jawab Stella
"Kuitansi dan cap juga dibawanya?," tanyaku lagi
"Iya, Bu. Tadi sudah ku kasihkan juga,"
"Teliti ya, La. Jangan sampai ada penyimpangan. Itu tugas kamu sebenarnya. Karena kalau Yuli ada penyimpangan, kita berdua yang akan dikuliti pusat," aku memperingatkan Stella
"Siap, Bu. Saya tetap kontrol,"
Hari demi hari begitu berat untuk dilalui. Tekanan demi tekanan dari pusat begitu kuat seolah-olah kami ini adalah sasaran empuk pusat untuk disalahkan.
"Tapi kita gak bisa membiarkan ini terjadi, Bu," bantahku
"Lah tapi kan kita masih ada kerjasama antar sekolah, Bu. Itu aja yang ditingkatkan," suara Bu Tri terdengar mulai menguat. Kami terlibat percekcokan karena perbedaan pandangan.
"Manager BSD kan sudah ikut memberi saran bahwa kita tidak boleh hanya berharap pada program kerjasama antar sekolah, sedangkan internal kita kosong, Bu. Benefitnya cukup jauh," aku tidak kalah sengit
"Nah sekarang maunya apa? Saya rasa keadaan ekonomi sekarang juga sedang tidak baik-baik saja, Bu. Yah kalau keadaan tidak baik-baik saja kita bisa apa?,"
"Masalahnya Bu, cabang harus mencapai target. Kalau tahun ini kita di bawah target lagi maka kita tidak akan ada dana marketing tahun depan. Tidak ada dana, tidak ada kegiatan. Tidak ada kegiatan, tidak ada pemasukan,"
"Bu Christy, saya paling tidak suka dibantah. Anak buah saya di Semarang pada manut semua sama saya. Ibu jangan coba-coba membantah saya,"
"Saya tidak bermaksud kurang ajar, Bu. Saya hanya tidak mau cabang kita hancur. Kalau ibu merasa tidak dihargai di sini, yah sudah, balik Semarang saja, Bu," ujarku lalu ke luar ruangan.
Bu Tri mengepalkan tangannya,
"Tunggu kamu yah," gumam nya
Itu adalah puncak pertengkaran kami. Biasanya juga kami selalu berbeda pandangan. Aku harus bersuara, kalau tidak, siapa lagi yang akan bersuara.